Sebagai anak seorang (pensiunan)  kepala sekolah, saya menyambut gembira berita 
di bawah ini walaupun sekarang anak2nya udh ga ada yg sekolah lagi alias udh 
pada gede..
:-)

rgrd

Jumat, 11 Nopember 2005

Anak Guru dan Dosen Bebas Uang Sekolah 

Pembebasan biaya, berlaku di seluruh jenjang pendidikan (SD sampai perguruan 
tinggi). 


JAKARTA -- Bukan cuma mengklausulkan kenaikan gaji guru hingga dua kali lipat, 
Rancangan Undang-undang (RUU) Guru dan Dosen juga mengusung wacana tentang 
pendidikan gratis bagi seluruh anak guru dan dosen. Fasilitas istimewa ini 
berlaku bagi guru-guru pegawai negeri sipil (PNS) maupun swasta. Pembebasan 
biaya, berlaku di seluruh jenjang pendidikan (SD sampai perguruan tinggi). 

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Anwar Arifin, menyatakan langkah ini sebagai upaya 
meningkatkan dan menjamin kesejahteraan tenaga pendidik. Ini juga merupakan 
keistimewaan guru dan dosen sebagai stakholder utama di bidang pendidikan. 
''Karyawan Garuda saja boleh naik pesawat gratis,'' kata Anwar, Kamis (10/11). 

Secara eksplisit, klausul sekolah gratis ini tercantum dalam pasal 12 ayat 1 
RUU yang menyebutkan,'' guru, dosen, dan atau putra-putrinya berhak memperoleh 
pendidikan pada satuan pendidikan dan atau satuan pendidikan yang memperoleh 
dana dari APBD atau APBN tanpa dipungut biaya,''. 

Kata Anwar, pemerintah dan DPR telah sepakat soal ketentuan sekolah gratis ini, 
artinya klausul itu tak akan diubah. Anwar bahkan menyatakan RUU Guru dan Dosen 
telah dijadwalkan untuk disyahkan 22 November atau pada 25 November 2005, 
bertepatan dengan Hari Guru Nasional. 

Nantinya, lanjut Anwar, mekanisme sekolah gratis ini akan diatur lebih rinci 
dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Namun apa pun rincian, tak akan ada 
pengecualian. ''Seluruh anak guru dan dosen, baik PNS maupun swasta, bisa 
sekolah tanpa pungutan sepeser pun,'' kata Anwar yang ketua panitia kerja RUU 
Guru dan Dosen. 

Hanya saja, lanjut Anwar, fasilitas istimewa ini pada tahap awal hanya 
diberikan kepada guru dan dosen yang sudah memiliki sertifikat profesi. Yakni, 
guru dan dosen yang sudah memenuhi kualifikasi akademik, memiliki kompetensi 
memadai, serta sudah lulus uji mutu oleh lembaga sertifikasi pemerintah. 

Kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana 
atau program diploma empat (pasal 7 ayat 1). Sementara kompetensi guru meliputi 
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang diperoleh 
melalui pendidikan profesi guru sekurang-kurangnya 36 sistem kredit semester 
(pasal 7 ayat 2). 

Menanggapi hal itu, Pembantu Rektor I Bidang Akademik Institut Teknologi 
Bandung (ITB), Adang Surachman, menyatakan institusinya siap untuk 
merealisasikan ketentuan sekolah gratis ini. ''Paling tidak, anak guru atau 
dosen bisa bebas uang SPP'' tutur dia, kemarin. 

Menurut Adang, pembebasan uang kuliah diperkirakan tak akan mengganggu biaya 
operasional kuliah, meski ITB banyak melibatkan praktik laboratorium pada 
perkuliahannya. Alasannya, jumlah anak guru dan dosen tidak banyak. Hanya saja, 
kebijakan ini dinilai Adang bakal menimbulkan ketimpangan. ''Bagaimana dengan 
pegawai non-guru atau non-dosen yang keadaan ekonominya lebih rendah? Kalau 
anak seorang guru di satu SMA bisa sekolah gratis, sementara anak tukang sapu 
di SMA tersebut tak bisa gratis, kan lucu. Padahal keadaan ekonomi guru itu 
jauh lebih baik,'' tutur dia. 

Pengamat pendidikan dari Center for Better Education Reform, Darmaningtyas, 
meragukan kemampuan pendanaan pemerintah untuk membebaskan biaya sekolah 
anak-anak guru dan dosen. ''Memang darimana uangnya,'' tanya dia pesimistis. 

Sekolah gratis bagi anak guru dan dosen, berarti pemerintah harus mensubsidi 
mereka lewat APBN. Menurut dia, jika klausul tersebut disyahkan sementara 
anggaran pemerintah tak memadai, maka RUU tersebut nantinya hanya akan menjadi 
UU 'macan ompong'.

Menanggapi hal tersebut, Anwar Arifin menyatakan bahwa sekolah gratis bagi guru 
dan dosen bisa diwujudkan secara bertahap, terutama setelah anggaran pendidikan 
mencapai 20 persen dari APBN (Rp 90 triliunan). ''Pada dasarnya bisa kita 
upayakan,'' papar Anwar. Meski demikian, Darmaningtyas menilai fasilitas 
istimewa ini berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial. Terutama bagi pegawai 
negeri sipil nonguru lainnya. 

(imy ) 
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=220624&kat_id=13

Kirim email ke