Republika, Selasa, 15 Nopember 2005 ** Puisi Murid SD Kelas V Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Tanggal 28 Oktober 2005, bertepatan dengan tanggal Sumpah Pemuda, lagi saya menerima SMS dari seorang pengusaha pribumi yang lain, Muhammad Deddy Julianto. Isinya adalah puisi Nurjannah, murid SD kelas V Inpres dari sebuah sekolah di Jawa Tengah. Bagi saya isinya sangat menyengat dan tajam sekali menggambarkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Tentu kita tidak boleh membuat generalisasi tentang kondisi yang pincang itu, tetapi sebagai gejala umum puisi itu telah membidik sasarannya dengan jitu sekali. Saya turunkan secara utuh dengan sedikit modifikasi tata letak, tanpa mengubah isinya sama sekali. *RAKYAT KECIL Pasti kecil orangnya karena kurang gizi. Pasti kecil dapat duitnya, pasti kecil tempat tinggalnya, pasti kecil keinginannya, pasti kecil bohongnya, pasti besar imannya, dan besar di mata Tuhan. Beda dengan * *PEMBESAR Pasti besar orangnya, pasti besar dapat duitnya, pasti besar rumahnya, pasti besar keinginannya, pasti besar kantong bajunya, pasti besar bohongnya, pasti kecil imannya, dan kecil di mata Tuhan.* *Dan aku lapar sekali.* Baris terakhir 'aku lapar sekali' sungguh menusuk. Bukankah sudah ada di antara temannya di SD yang lain yang menggantung diri karena tidak mampu bayar SPP? Bukankah pula jumlah rakyat yang busung lapar sekarang sudah mencapai angka 663 ribu, dibandingkan dengan 175 ribu di akhir tahun 2003? Bagi saya seorang anak SD dengan tembusan mata batinnya yang luar biasa seperti terbaca dalam puisinya itu, apakah belum cukup juga mampu menggugah nurani kita semua? Dalam sebuah forum saya memang pernah menuturkan: *Yang lumpuh adalah hati nurani Yang lumpuh adalah akal sehat* Jika kondisi moral dan mental bangsa ini pada umumnya memang sudah demikian parah dan batin kita sudah tidak bisa lagi menangkap gelombang jeritan rakyat kecil, maka upaya perbaikan bangsa ini tidak bisa lagi dengan angka-angka APBN yang diotak-atik melalui kenaikan BBM. Kita harus terjun ke akar-umbi budaya Indonesia modern yang tampaknya telah kehilangan kepekaan nurani. Betul, orang baik masih kita temui di mana-mana, tetapi jumlahnya sudah semakin menyusut. Para idealis masih kita jumpai di berbagai unit kerja, tetapi untuk sebagian besar, sekali posisi basah dipegang, idealismenya langsung mati suri. Oleh sebab itu, semboyan SBY-Kalla dalam Pemilu 2004: "Bersama kita bisa", harus dibawa turun ke bumi dengan kesediaan berjibaku memperbaiki keadaan, jangan dibiarkan menggantung di awang-awang, sebab risikonya akan sangat berbahaya bagi eksistensi bangsa secara keseluruhan. Tunjukkanlah pola hidup sederhana kepada rakyat ini secara jujur, terbuka, dan tanpa basa-basi. Kita malu, sebab Indonesia adalah sebuah bangsa Muslim terbesar di muka bumi, tetapi inilah pulalah realitas pahit yang terpampang di koran, diberitakan di radio dan tv, hampir setiap hari, setiap malam. Salah satu surat Alquran yang diturunkan di Makkah yang pernah sangat meresahkan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, adalah kritik telak Kitab Suci itu terhadap sikap hidup para elite kota itu, sekalipun dikemas dalam bentuk mufrad; kita kutip artinya: "Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Itulah dia yang menghardik anak yatim [membiarkannya terlantar]. Dan tidak menganjurkan [berupaya melalui kebijakan negara misalnya] untuk memberi makan orang miskin." (S 107: 1-3). Jadi, pendusta itu boleh jadi dialamatkan kepada kita ini semua, kita yang tidak hirau dengan nasib rakyat kecil, seperti yang terlukis dengan amat gamblang dalam puisi di atas. Jumlah masyarakat miskin di Indonesia bahkan bertambah dari hari ke hari. Tentu bukan semata-mata karena kelalaian manusia, sekalipun faktor itu jelas lebih dominan. Ada bencana alam bertubi-tubi yang melanda, di samping konflik sosial yang masih saja meledak sewaktu-waktu. Ada pula perbuatan teror yang dilakukan oleh mereka yang telah mati rasa, mati kemanusiaannya. Semuanya ini adalah tantangan yang datang silih berganti, sementara aparat kita belum juga berhasil menangkap otak pengebom. Paling-paling dikatakan: "Oh, sianu baru saja berada di desa anu." Jadi, yang ditangkap adalah jejaknya, bukan orangnya. Intel kita telah dimainkan penjahat dengan cara-cara yang sangat memalukan. Sinisme mengatakan: "Inilah sebuah negeri yang tidak bertuan." Sebuah negeri yang elok, terletak di ikat pinggang khatulistiwa, tetapi dihuni para penjahat berdasi, sebagiannya mengaku sebagai wakil rakyat via pemilu yang dikatakan bagus itu. Apakah kondisi Indonesia ini memang sudah "beyond help" (tidak bisa ditolong), sebagaimana alm S Tasrif pernah menyemburkan? Saya rasa masih bisa, tetapi harus bergerak sekarang juga, dipimpin oleh SBY-Kalla. Terlambat berarti malapeta. -- Best Regards, Abahnya Surya & Akmal