MEMBANGUN ANAK BERPRESTASI
dari:
http://www.indomedia.com/intisari/1999/maret/prestasi.htm
Mendidik anak di zaman serba kompleks nilai macam sekarang memang
gampang-gampang susah. Ditangani dengan tangan besi, bisa-bisa ngambek.
Kalau serba boleh, anak jadi manja dan semau gue. Lewat disertasinya, Dr.
M. Enoch Markum membuktikan, pola asuh otoritatif sangat efektif untuk
menunjang anak berprestasi tinggi. Apa kelebihan pola asuh ini?
Sejak menikah, Anna (bukan nama sebenarnya) punya obsesi mempunyai anak
yang cerdas. Maka, ketika hamil, ia sangat memanjakan janin dalam
kandungannya. Setiap hari ia mengkonsumsi makanan bergizi, bervariasi, dan
seimbang plus melahap berbagai makanan tambahan.
Sementara itu Ibu Siska merasa cemas, anak perempuannya yang duduk di kelas
I SD sering kedodoran dan selalu mendapat angka merah untuk setiap mata
pelajaran ilmu pasti yang banyak dihantui murid itu. Maka ia pun
mendatangkan guru di rumah untuk memberikan pelajaran tambahan demi
mendongkrak nilai-nilai ilmu pasti anaknya yang hampir selalu jeblok.
Kedua ibu itu hanya sedikit contoh dari hampir setiap orang tua yang
memiliki keinginan dan harapan yang besar agar anak-anaknya tumbuh menjadi
anak cerdas dan berprestasi tinggi di sekolah. Dalam contoh, ibu yang satu
melakukan pendekatan dengan menekankan asupan gizi yang baik sejak dini.
Sedangkan ibu yang lain dengan menambah porsi belajar melalui pemberian
pelajaran tambahan.
Namun, hal yang juga patut dicatat, prestasi di sekolah, juga yang lebih
penting nantinya prestasi dalam karir ataupun dalam kehidupan
bermasyarakat, sangat tergantung pada bagaimana orang tua menerapkan pola
asuh yang tepat buat anak-anaknya.
Melalui disertasinya untuk meraih gelar doktor, M. Enoch Markum melakukan
studi tentang pola asuh pendukung prestasi tinggi. Atas dasar hasil studi
yang pernah dilakukan oleh D. Baumrind, staf pengajar pada Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia ini menggolongkan pola asuh anak menjadi
tiga: pola asuh otoriter, permisif, dan otoritatif.
Secara umum dalam pola asuh otoriter orang tua sangat menanamkan disiplin
dan menuntut prestasi tinggi pada anaknya. Hanya sayang orangtua tidak
memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapat, sekaligus
menomorduakan kebutuhan anak.
Kebalikan dari pola asuh otoriter adalah permisif. Dalam golongan ini orang
tua bersikap demokratis dan penuh kasih sayang. Namun, di sisi lain kendali
orang tua dan tuntutan berprestasi terhadap anak itu rendah. Anak dibiarkan
berbuat sesukanya tanpa beban kewajiban atau target apa pun.
Sementara itu pola asuh otoritatif muncul bila orang tua menerapkan kendali
yang tinggi pada anak. Ia pun menuntut prestasi tinggi, tapi dibarengi
sikap demokratis dan kasih sayang yang tinggi pula. Pola asuh model ini
kuat dalam kontrol dan pengawasan, tetapi tetap memberi tempat bagi
pendapat anak.
"Peran ibu amat besar," kata Dr. M. Enoch Markum
Untuk sampai pada kesimpulan akhir pola asuh mana yang paling efektif,
Enoch yang mantan ketua Jurusan Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UI,
1984 - 1986, itu mengumpulkan subjek penelitian dan membaginya ke dalam dua
kategori. Kelompok pertama adalah mahasiswa berprestasi tinggi. Golongan
ini adalah mahasiswa yang dinyatakan sebagai juara I dan atau juara II
dalam pemilihan mahasiswa berprestasi utama tingkat nasional tahun 1996 dan
1997. Ia paling tidak duduk di semester VI dengan minimal indeks prestasi
kumulatif 2,75.
Kelompok kedua adalah mahasiswa berprestasi rendah. Di dalam kategori ini
adalah mahasiswa yang tercatat tidak mengikuti pemilihan mahasiswa
berprestasi utama tingkat perguruan tinggi, karena indeks prestasi
kumulatif mereka pada semester VI kurang atau sama dengan 2,00.
Hasil penelitian itu akhirnya ia tuangkan dalam disertasinya "Sifat
Sumberdaya Manusia Indonesia Penunjang Pembangunan; Suatu Studi Tentang
Prasyarat Sifat, Latar Belakang Keluarga dan Sekolah dari Individu
Berprestasi Tinggi". Suami dari Judiawati Markum ini akhirnya sampai pada
kesimpulan, pola asuh otoritatif yang dilakukan di rumah dan di sekolah
merupakan lahan subur bagi munculnya individu berprestasi.
Disertasi yang ia pertahankan dengan predikat cum laude di hadapan Senat
Guru Besar Universitas Indonesia pada Desember 1998 lalu itu juga
menyimpulkan, pola asuh otoritatif akan mendorong pembentukan sifat kerja
keras, disiplin, komitmen, prestatif, mandiri, dan realistis pada individu.
Sementara sifat yang paling besar kontribusinya bagi tinggi- rendahnya
prestasi adalah sifat disiplin.
Ruang tawar-menawar
Lalu, bagaimana menerapkan pola asuh yang prospektif itu? Menurut mantan
Direktur Kemahasiswaan Ditjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
ini, pola asuh otoritatif bisa dilakukan sejak dini. Misalnya saja dengan
memberi target belajar. Taruhlah dua atau tiga jam setiap hari. Kalau ini
sudah disepakati antara orang tua dan anak, maka penerapannya terserah pada
anak. Mau dihabiskan dua jam sekaligus atau dibagi dua menjadi sejam-sejam.
Atau barangkali anak mau menonton dulu acara TV kesukaannya. Bisa juga anak
ingin pergi berenang sore hari dan baru mengerjakan PR malam harinya.
"Dalam hal ini orang tua pun bisa memenuhi keinginannya asalkan janji anak
untuk belajar dan mengerjakan PR tetap dilakukan," katanya.
Dalam ilustrasi itu tampak bahwa pola ototritatif memberi ruang
tawar-menawar antara orang tua dan anak. Orang tua bersedia mendengarkan
keinginan anak, sementara anak tetap diberi suatu target yaitu belajar.
Pada praktiknya, pola asuh ini juga memberikan "pendidikan" pada orang tua,
misalnya mereka yang mendidik secara otoriter. Soalnya, ia harus belajar
mengendalikan diri untuk tidak memaksakan kehendak dan siap bertukar
pikiran dengan anak. Begitu pun orangtua yang selama ini permisif. Ia harus
berani memberi batasan dan target yang realistis.
Cuma perlu diingat, penerapan berbagai aturan itu tidak bisa disamaratakan.
Aturan keluarga yang satu tidak bisa diterapkan begitu saja pada keluarga
lain. Karena itu segala aturan yang akan diberlakukan sebaiknya dibicarakan
dan disepakati lebih dulu antara orang tua dan anak. Kepekaan orang tua
terhadap kebutuhan dan perasaan anak menjadi salah satu unsur sentral dalam
pola asuh otoritatif. "Jangan sampai terjadi semua orang ada di rumah,
tetapi tak ada komunikasi dan sibuk dengan dunianya sendiri. Ayah baca
koran, ibu sibuk di dapur, sementara anak diam menonton televisi," tandas
Enoch. Karena itu, menurut dia, kegiatan bersama menjadi teramat penting.
Misalnya, makan malam bersama atau nonton TV bareng. Di situlah orang tua
bisa menyerap keinginan si anak.
Untuk melatih kepekaan tehadap kebutuhan orang lain, Enoch menyarankan para
orangtua mengikuti pelatihan kepekaan (sensitiveness training) seperti yang
kini tengah digalakkan di New York. Di banyak kota besar di Amerika orang
merasa hanya berupa "nomor", tanpa sentuhan kemanusiaan yang memadai.
Dalam kacamata Enoch untuk bisa menerapkan pola asuh ini idealnya orang tua
memiliki latar belakang pendidikan yang memadai. Pasalnya, pola asuh model
ini membutuhkan penalaran tertentu. Tidak bisa asal larang. Orang tua harus
bisa menjelaskan mengapa ia melarang sesuatu atau memberi target tertentu
secara rasional. Ini untuk menghindarkan debat kusir atau anggapan anak
bahwa orang tuanya cerewet lantaran asal larang. Enoch pun menepis anggapan
bahwa anak belum bisa menerima penjelasan yang masuk akal. "Justru itu
persepsi orang tua yang salah lantaran selalu menganggap anak masih kecil
sehingga tidak perlu diajak berembug soal apa pun," katanya.
Pun keberhasilan pola asuh otoritatif harus pula ditunjang oleh peranan
para guru di sekolah. Idealnya, pola asuh di rumah dan pembinaan para guru
di sekolah tidak jauh berbeda. Sebab, sekolah merupakan lingkungan kedua
setelah rumah, yang dapat membentuk sifat seseorang.
Enoch memberi contoh, Dr. H. Arief Rachman, M.Pd., kepala sekolah SMU IKIP
Jakarta (Lab School), sekaligus dosen luar biasa di Fakultas Psikologi UI,
ia anggap sebagai guru "ideal". "Beliau tahu persis siapa muridnya,"
katanya. Menurut Enoch, Arief Rachman tahu jika si A, misalnya, suka
dijemput ibunya sepulang sekolah. Ketika dilihatnya si A belum pulang, ia
akan bertanya, "Belum dijemput ibu, ya?" Atau si B yang pernah mengeluh
kesulitan dalam matematika. Saat bertemu, ia akan bertanya, "Bagaimana
dengan masalah matematikanya?"
Ibu pegang peranan
Agaknya, bila pola asuh otoritatif ini dilakukan, peranan ibu sangatlah
besar dalam menanamkan kebiasaan yang baik. "Bukannya ayah tidak berperanan
tetapi peran ibu lebih nyata," jelas bapak tiga putri yang semuanya sarjana
sastra itu.
Coba perhatikan saja betapa ibu lebih peduli dengan tetek-bengek
sehari-hari. Mulai dari soal gosok gigi, ganti baju, menaruh sepatu di rak,
kemudian makan sepulang sekolah. Jadi, ibulah yang lebih banyak peranannya
dalam menanamkan segala tindakan yang nyata sehari-hari, termasuk juga cuci
tangan sebelum makan, cuci kaki sebelum tidur, dan kebiasaan lain.
Kalau kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti gosok gigi, cuci tangan sebelum
makan, cuci kaki sebelum tidur terus-menerus ditanamkan lama-kelamaan akan
terbentuk sifat bersih. Sifat ini akan melekat, bahkan bisa menjadi aktif
dalam bentuk mengoreksi atau paling tidak mempertanyakan mengapa orang lain
tidak melakukan hal seperti dia dalam soal kebersihan.
Lewat penanaman kebiasaan ini pun kedisiplinan bisa ditanamkan karena
kedisiplinan juga merupakan produk kebiasaan. Misalnya, kebiasaan
menyeberang jalan pada tempatnya, tepat waktu dalam berjanji, atau antre
ketika membeli karcis di loket.
Berhubung pembentukan sifat itu merupakan proses yang memerlukan waktu,
maka kebiasaan-kebiasaan baik itu idealnya mulai ditanamkan sejak dini.
Dengan bertambahnya umur dan penalaran, anak akan makin menyadari, misalnya
manfaat gosok gigi pada waktunya, mencuci kaki sebelum tidur, mencuci
tangan sebelum makan.
Bagaimana besarnya peranan ibu, penyandang Satya Lencana Penegak '66 itu
mengambil contoh kesuksesan negara Jepang. Menurut dia, sukses Negeri
Sakura itu adalah sukses anak-anak di bawah didikan ibu Jepang yang amat
peduli pada pendidikan anak. Kaum ibu di Jepang bukan hanya sibuk di dapur,
tetapi mereka juga aktif terlibat dalam proses pendidikan anak-anaknya.
Demikian besar pelibatan diri ibu di Jepang sampai-sampai mereka rela tidak
menonton TV. Tetapi justru ikut bersekolah pada "sekolah untuk ibu",
membantu pekerjaan rumah anaknya, dan bila diperlukan mencari pekerjaan
paruh waktu untuk membiayai les tambahan anaknya. Ibu yang seperti ini di
sana dijuluki sebagai kayoiku mama, ibu pendidik.
Ibu yang bekerja atau berkarir, menurut Enoch, pun tidak ada masalah. "Yang
penting harus ada komunikasi. Ibu bisa saja mencek kebutuhan anak lewat
telepon. Bukankah sekarang eranya komunikasi canggih, ada handphone?" jelas
pria kelahiran Cirebon tahun 1942 ini.
Enoch Markum mengakui beratnya tantangan yang harus dihadapi para orang tua
di zaman sekarang lebih-lebih di kota-kota besar. Karena itu tak ada
salahnya bila orang tua juga ikut "belajar" dan mengembangkan diri secara
informal dengan bertukar pikiran dan pengalaman antarsesama orang tua, atau
secara formal mengikuti Parent Effectivness Training. (Anglingsari SI SK/G.
Sujayanto)
Tabel Pola Asuh Orang Tua menurut D. Baumrind
( maaf format tabel sulit ditampilkan, harap langsung dilihat pada
homepage: http://www.indomedia.com/intisari/1999/maret/prestasi.htm)
Kunjungi: http://www.balita-anda.indoglobal.com
"Untuk mereka yang mendambakan anak balitanya tumbuh sehat & cerdas"
-= Dual T3 Webhosting on Dual Pentium III 450 - www.indoglobal.com =-
Etika berinternet, kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
Berhenti berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
EMERGENCY ONLY! Jika kesulitan unsubscribe, email: [EMAIL PROTECTED]
Panduan Menulis Email yang Efektif http://hhh.indoglobal.com/email/
http://pencarian-informasi.or.id/ - Solusi Pencarian Informasi di Internet