Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
 
Rekan Netters, Saya dapat cerita dibawah yang benar-benar bikin Saya nangis
(ingat si kecil di rumah).  Mudah-mudahan ada hikmahnya.  Maaf kalau udah
pernah baca.
 
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.
Anna Dwiyana
 
-----Original Message-----
From: Rish Triyati 
Sent: Thursday, March 23, 2000 11:20 AM
Subject: FW: Mandikan aku Bunda


U/ dibaca dan sebagai bahan renungan bagi para orang tua.
 
Wass
 
Rish


Subject: MANDIKAN AKU, BUNDA

Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya.Sebut saja Rani
namanya.  Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki
idealisme yang  tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas :
meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi
yang akan digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari
Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip,
beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan
pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan.
Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara " dengan dirinya,
sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. 

Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf
Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama
putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf
terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi
yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula. 

Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani
semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan
dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya pernah bertanya ,
"Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?"Dengan sigap Rani menjawab
: " Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok." Dan itu
betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih
banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh
menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. 

Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu
tentang ibu-bapaknya. " Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti."
Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang
tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu
yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3
tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya
menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum
memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah
kecil ini "dapat memahami" orang tuanya.

Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua
orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu
menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat
kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua
sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan
anak seperti Alif.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak
dimandikan baby-sitternya. " Alif ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan
saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi
gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante
Mien, baby-sitternya. Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan," Bunda,
mandikan Alif " begitu setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin
karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta
perhatian.

 Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. " Bu dokter,
Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency". Setengah terbang, saya
pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain.
Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.

Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor
barunya,shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil
terbaring kaku. " Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif." Ucapnya lirih, namun
teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri
mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, " Ini sudah
takdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah
saatnya, dia pergi juga kan ? ". Saya diam saja mendengarkan. " Ini
konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat.
Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk.
" Aku ibunya !" serunya kemudian, " Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif.
Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan itu begitu menyayat.
Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah merah

Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian
tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut :"
Mandikan aku, Bunda ." Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu sampai
terlambat ? 

Wassalam,

> 

Denna Raning Tanur 
PT. MOTOROLA Indonesia 
Phone : 62 21 251 3050 
Fax :    62 21 571 9064 

 

Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Kirim bunga untuk handaitaulan & relasi di jakarta http://www.indokado.com 
Situs sulap pertama di Indonesia http://www.impact.or.id/dmc-sulap/
Etika berinternet, kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
Berhenti berlangganan, e-mail ke:  [EMAIL PROTECTED]










Kirim email ke