ini saya forward, sepertinya bagus untuk pendidikan anak. ----- Original Message ----- From: Tjoek Lianto <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Friday, August 11, 2000 3:40 PM Subject: [bumi-serpong] FW: SEPASANG SEPATU > > > > SEPASANG SEPATU > > > > Menjadi sama dan serupa dengan remaja lain" merupakan keinginan dari semua > > remaja. Saya ingat benar bagaimana sebagai soorang remaja dalam tahun 1963 > > saya rnerasa harus memiliki sepasang sepatu sport mutakhir yang sedang > > "in". Persoalannya, bulan lalu saya baru saja membeli sepasang sepatu > > kulit. Tapi, sepatu sport benar benar sedang mode, oleh sebab itu saya > > datang kepada ayah minta bantuannya. > > > > "Saya perlu sedikit uang untuk sepatu sport", ujar saya suatu petang di > > bengkel di mana ayah saya bekerja sebagai montir. > > > > "Willie" ayah kelihatannya terkejut. "Sepatumu baru berumur satu bulan. > > Mengapa kini kauperlukan sepatu baru?" > > > > "Setiap orang memakai sepatu sport, ayah" > > > > "Sangat boieh jadi nak, Namun hal tersebut tidak menjadikan ayah mudah > > membayar sepatu sport "Gaji ayah adalah kecil dan sering tidak cukup untuk > > memenuhi kebutuhan sehari hari. > > > > "Ayah, saya tampaknya bloon memakai sepatu jenis ini "kataku sambil > > menunjuk kepada sepasang sepatu oxford baru. > > > > Ayah memandang dalam dalam ke mataku. Kemudian ia menjawab: "Begini saja, > > Kau pakai sepatu ini satu hari lagi. Besok, di sekolah, perhatikan semua > > sepatu dari kawan-kawanmu. Bila seusai sekolah kau masih berkeyakinan > > bahwa sepatumu paling butut dibandingkan sepatu kawan kawanmu, ayah akan > > memotong uang belanja ibumu dan membelikanmu sepasang sepatu sports" > > > > Dengan gembira saya pergi ke sekolah, keesokan paginya, penuh keyakinan > > bahwa hari itu merupakan hari terakhir bagiku mamakai sepatu oxford yang > > ketinggalan jaman ini. Saya lakukan apa yang ayah perintahkan saya > lakukan, > > namun tidak, saya ceritakan apa yang saya lihat secara teliti. Sepatu > > coklat, sepatu hitam, sepatu tennis yang sudah kusam, semua menjadi pusat > > perhatianku. Pada petang hari, saya memiliki perbendaharaan dalam > > ingatanku betapa banyaknya teman teman di sekolah yang juga memakai sepatu > > bukan sport , bahkan sepatu-sepatu rusak, berlobang, menganga dan lain > lain > > bentuk yang sudah mendekati kepunahan sebagai alat pelindung kaki. Namun > > banyak sekali yang memakai sepatu sport yang gagah, yang senantiasa > > berdetak detik penuh gaya bila si pemiliknya menghentakkannya dengan gagah > > perkasa. Setelah sekolah usai, saya berjalan cepat ke bengkel di mana ayah > > bekerja. Saya hampir yakin bahwa Senin depan saya juga akan masuk > kelompok > > yang sedang "in" Setiap saya menghentakkan tumit saya di jalan, saya > > membayangkan telah memakai sepatu sport idaman saya. > > > > Bengkel sepi sekali saat itu. Suara yang terdengar hanya denting denting > > metal dari kolong sebuah chevy tua buatan tahun 1956. Udara berbau oli, > > namun pada hemat penciuman saya, asyik sekali. Hanya seorang langganan > > sedang menunggu ayah yang sedang bergulat di kolong chevy tua itu. > > > > "Pak Alva" tanya saya kepada langganan yang sedang menunggu,"masih > > lamakah?" > > > > "Entah Will. Kau tahu sifat ayahmu. Ia sedang membongkar persneling, > namun > > bila ia mendapatkan adanya bagian lain yang tidak beres, ia akan > > menyelesaikannya juga." > > > > Saya bersandar pada mobil abu abu itu. Apa yang bisa saya lihat hanyalah > > sepasang kaki ayah yang menjulur keluar dari kolong mobil. Sambil > menjentik > > jentik lampu belakang chevy, secara tidak sadar saya menatap kepada kaki > > ayah. Celana kerjanya berwarna biru tua, kusam dan lengket terkena oli. > > Lusuh pula. Sepatunya, berwarna putih tua....ah bukan hitam muda, tua, > dan > > sungguh sungguh butut, sebagaimana mestinya > > sepatu seorang montir. Sepatu kirinya sudah tidak bersol, dan bagian kanan > > masih memiliki sepotong kecil kulit tipis, yang dahulu bernama sol. Di > > ujungnya, sebaris staples menggigit kedua belah kulit kencang kencang, > > mencegah jempol > > kakinya mengintip keluar. Tali sepatunya beriap riap, dan sebuah lubang > > memperlihatkan sebagian dari jari kelingkingnya yang terbalut kaus katun. > > > > "Sudah pulang nak? "ayah keluar dari kolong mobil. > > > > "Yes sir" kataku. > > > > "Kau lakukan apa yang kuperintahkan hari ini?" > > > > "Yes sir" > > > > "Nah, ape jawabmu ?" la memandangku, seolah olah tahu apa yang akan saya > > ucapkan. > > > > "Saya tetap ingin sepatu sport "Saya berkata tegas, dan berusaha setengah > > mati untuk tidak memandang kepada sepatu ayah. > > > > "Kalau begitu, ayah harus potong uang belanja ibumu. -- > > > > "Mengapa tidak pergi den membeli sekarang?" Ayah mengeluarkan selembar $ > > 10. dan memancing uang receh untuk mencari 30 sen guna membayar 3% pajak > > penjualannya. Saya menerima uang itu dan segera berangkat ke pusat > > pertokoan, dua blok dari bengkel di mana ayah bekerja. > > > > Di depan sebuah etalase, saya berhenti untuk melihat apakah sepatu sportku > > masih dipajang disana. Ternyata masih.! $.9.95. Namun uang saya tidak > akan > > cukup bila saya harus membeli paku paku yang akan dipakukan pada solnya > dan > > menimbulkan suara klik klak yang gagah. Saya pikir, untuk lari ke rumah > dan > > minta bantuan dana dari mama, sebab tidak mungkin kembali kepada ayah dan > > minta kekurangannya. > > > > Pada saat saya teringat kepada ayah, sepatu tuanya tampak membayang > > melintasi kedua mataku. Jelas tampak kebututannya, sisinya yang compang > > camping, paku paku yang telah mengintip keluar dan sebaris staples yang > > umumnya dipakai untuk menjepit kertas. Sepatu kulit usang yang dipakainya > > untuk menghidupi keluarganya. Pada musim yang > > menggigit, sepatu yang sama dipakainya melintasi jalan jalan yang dingin, > > menuju kepada mobil mobil yang mogok. Namun ayah tidak pernah mengeluh. > > Terpikir olehku, betapa banyaknya benda benda yang seharusnya dibutuhkan > > ayah, namun tidak dimilikinya, semata mata agar saya mendapatkan apa yang > > saya ingini. Dan kementerengan sepatu sport yang ada di balik kaca etelase > > di hadapanku mulai memudar. > > > > Apa jadinya bila ayah bersikap sepertiku. Sepatu jenis apa yang saat ini > > kupakai, bila ayahku bersikap seperti saya bersikap. Saya masuk ke dalam > > toko sepatu itu. Sebuah rak besar terpampang megah, penuh berisikan sepatu > > sport yang sungguh keren. Di sampingnya, terdapat sebuah rak lain, dengan > > sebingkai tulisan "obral besar. 50% discount". > > > > Dibawah bingkai itu tergeletak sepatu sepatu semodel sepatu ayah, beberapa > > generasi lebih muda, tentunya. Otakku bermain ping pong. Mula mula sepatu > > ayah yang butut. Dan sekarang sepatu baru. Pikiran tentang: menjadi "in" > > dan seirama dengan remaja lain di sekolah. Dan kemudian pikiran tentang > > ayah, > > lelah mengalah... > > Saya mengambil sepatu ukuran 42 dari rak yang berdiscount. Dengan segera > > berjalan ke arah meja kasir, ditambah pajak, jadilah bilangan $ 6.13. > > > > Saya kembali ke bengkel dan meletakkan sepatu baru ayah di atas kursi di > > mobilnya. Saya mendapatkan ayah dan mengembalikan uang kembalian yang > > masih tersisa. > > > > "Saya pikir harganya $ 9.95" kata ayah. > > > > "Obral" kataku pendek. Saya mengambil sapu, dan mulai membantu ayah > > membersihkan bengkel. Pukul lima sore, ia memberi tanda bahwa bengkel > > harus ditutup dan kami harus pulang. > > > > Ayah mengangkat kotak sepatu ketika kami masuk ke dalam mobilnya. Ketika > ia > > membuka kotak itu, ia hanya dapat memandang tanpa mengucapkan sepatah > > katapun. Ia memandang kepada sepatu itu lama-lama, kemudian kepadaku. > > > > "Saya pikir kau membeli sepatu sport", katanya pelan. > > > > "Sebetulnya ayah, ... tapi .... Saya tak sanggup meneruskannya. > > Bagaimana saya harus menjelaskannya bahwa saya sungguh ingin menjadi > > seperti ayah? Dan bila saya tumbuh menjadi dewasa, saya sungguh ingin > > menjadi seperti orang baik ini, yang Allah berikan kepada saya sebagai > ayah > > saya. Ayah meletakkan tangannya pada bahu saya, dan kami saling memandang > > untuk waktu sesaat. Tidak ada kata kata yang perlu dikatakan. Ayah > > menstarter mobil, dan kami pulang. > > > > > > To Post a message, send it to: [EMAIL PROTECTED] > To Unsubscribe, send a blank message to: [EMAIL PROTECTED] > > >> www.jajak.com >> Pilih jawabannya dan rebut hadiahnya << >> Kirim bunga ke-20 kota di Indonesia? Klik, http://www.indokado.com >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED] Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]