mohon maaf untuk yang non-muslim. Sri Wardhani K. (dhani) ph. 54387082/7083 fax. 5451748/54387221 [EMAIL PROTECTED] > ---------- > From: Nenny Malisyah Herti > Sent: Friday, October 20, 2000 8:54 AM > To: KMS - Keputrian DM > Cc: Ade Nurshanty; Neni Sukaesih; Nanang Salahuddin; Rachmad Sugiarto; > Ismu Hasyim; M. Nur El Farabi; R. Mumuh Muhammad; Hari Suryanto > Subject: FW: [annida] Air Mata Ibu > > Assalamuálaikum Wr.W b. > > Semoga bermanfaat, > > Bantulah orang tua kita untuk meringankan beban mereka kelak ketika > diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas apa yang telah diamanatkan > kepada mereka. > Dan didiklah anak-anak kita (kelak) sehingga mereka dapat meringankan > beban kita ketika diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas apa yang > telah diamanatkan kepada kita. > > Maaf bila ada yang tidak berkenan.... > Wassalam, > -nmh- > > ---------- > From: Zihans[SMTP:[EMAIL PROTECTED]] > Reply To: [EMAIL PROTECTED] > Sent: Friday, October 20, 2000 3:46 AM > To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED] > Subject: [annida] Air Mata Ibu > > Air Mata Ibu > oleh: Mairi Nandarson > > > Ibu menangis. Air mata mengucur di pipinya yang cekung. Ketika itu aku > baru selesai berdzikir setelah mengimaminya. Tasbih di tangannya terus > berputar, bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk > dalam isak dan deraian air mata. > "Kenapa Ibu menangis?" pertanyaan itu terpaksa kusimpan. Aku tidak akan > mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai > kemungkinan penyebab menangisnya Ibu. Mungkinkah kematian Bapak? Tapi, > bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah lima tahun. Atau karena > tanah kuburan Bapak yang tidak mendapat izin untuk dibeton dan hanya boleh > didirikan batu nisan. Hal itu tidak akan membuat Ibu menangis. Aku sangat > mengenal Ibu. Ibu paling tidak menyukai hal-hal yang berbau kemewahan. Ibu > selalu ingin menginginkan kesederhanaan. > Kenapa Ibu menangis? Sayang aku sangat jarang pulang dan tidak bertemu Ibu > setiap hari. Hingga aku kurang mengetahui keadaan Ibu belakangan ini. > Mungkin ada suatu persoalan yang membebaninya.... > > Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya > musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu > lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar > dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu. > Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga selesai berdzikir. Aku sudah > selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdoa, mohonkan ampun atas dosa > Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga usai. > > Aku berdiri dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang shalat dengan tetap > menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di ruang makan. > Bukankah Ibu selalu khusyuk dalam shalat? Kembali aku dibayang berbagai > kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat, mengaji dan > berdzikir? Bukankah Ibu paling senang mendengarkan ceramah di masjid? > Bukankah Ibu juga tidak melewatkan acara wirid? Bukankah Ibu sudah cukup > punya bekal untuk menghadapi segala cobaan... > > Tapi kenapa Ibu sampai menangis? > Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami > Ibu. Sudah berulang kali. > Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat > shalat maghrib dan isya. > Ibu sudah berumur tujuhpuluh tahun lebih. Tujuh orang anak merupakan > berkah yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah besar. Aku yang > bungsu sudah duduk di perguruan tinggi. Aneh rasanya kalau Ibu masih > bersedih hati diusianya yang senja ini. Seharusnya Ibu banyak tertawa dan > bercanda bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalalu bersamanya > setiap hari? > "Sudah makan Yung?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum > mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus. > > "Belum Bu, Ayung menunggu Ibu." > "Ibu sudah makan." > "Kapan? Bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun? Ayolah Bu, Ayung > sudah rindu ingin makan bersama Ibu." > "Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai menyanduk nasi > dan mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja tidak makan > nasi. Ia hanya mengambil panganan dan memakannya."Bagaimana kuliahmu?" > "Alhamdulillah Bu, berkat doa Ibu." > "Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah kuinginkan ini > selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan > dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan bekerja keras > untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Uang kost, transport dan kebutuhan > kuliah. Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat, kadang tidak. > Ketika dapat alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan lain. > Jika tidak, maka mau tidak mau aku aku harus puasa. Hal ini yang sering > aku alami. Tapi persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepada siapapun, > termasuk Ibu dan saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak mengeluh. > "Alhamdulillah, Tuhan masih memberikan rejeki Bu," selalu kujawab begitu. > Biasanya Ibu tidak akan bertanya lagi setelah itu. > "Bu!" sapaku ketika Ibu terdiam. > "Mmm," jawab Ibu. > "Kenapa seusai shalat tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam mendengar > pertanyaanku. > "Ayung cemas melihat Ibu menangis. > Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu membasuh tangan > dan melapnya dengan serbet. > Ibu masih diam, tapi di matanya kulihat airmata mulai berlinang. > Setelah itu berceritalah Ibu. > Seminggu yang lalu di surau Balenggek tempat Ibu selalu sembahyang > berjama'ah, ada ceramah agama mingguan. Ketika itu penceramahnya datang > dari luar daerah. Ibu mengikuti ceramah tentang anak yang berbakti kepada > orang tua dan anak yang shalih.. > > "Anak-anak yang shalihlah yang menyelamatkan orang tuanya dari api neraka, > karena doa anak yang shalih sangat didengar oleh Allah swt," kata ustad. " > Tapi sebaliknya orang tua tidak selamat dari api neraka jika anak yang > dididiknya tidak mampu menjalankan ibadah dan tidak pandai membaca > Alquran. > "Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu waktu itu. > "Ya, apa artinya kita taat tapi tidak membuat anak taat kepada Tuhannya. > Apalagi sampai tidak bisa sembahyang dan mengaji, anak yang jauh dari > perintah Allah dan mendekati laranganNya. Maka orang tuanya di akhirat > akan ditanya tentang anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan orang tua jika > di akhirat nanti anak mengakui dirinya tidak dididik oleh orang tuanya > untuk taat beribadah. Tidak pernah menegur, memukul bahkan menamparnya, > jika lalai menjalankan perintah agama." > Ketika itu Ibu menyadari apa yang sudah dilakukannya selama ini. Ibu ingat > Jai, Jou, Han dan Fai. Saat itulah Ibu merasa hidup dan ketaatannya selama > ini tak berarti sama sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan melamun. > Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Alquran di rumah dan > jarang sembahyang, bahkan tidak pernah sama sekali. Ibu merasa bersalah > setelah mendengar ceramah itu. Ibu menyadari bahwa ia tidak mendidik > anak-anaknya sesuai ajaran agama. Ibu selalu tidak tega memarahi anaknya, > dan melihat anaknya menangis, apalagi kalau ada yang murung dan kesal. > > Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat membaca > Alquran Ibu tidak pernah tega memaksa mereka untuk belajar Ibupun tidak > marah. Bukankah ini berarti Ibu tidak sanggup mendidik anak. Bukankah Ibu > gagal menjadi orang tua? > "Tapi Bu, bukankah Ayung selalu taat sembahyang dan membaca Alquran? Dan > Ayung selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya usaha Ayung > selama ini Bu?" kataku kepada Ibu. > "Terima kasih Yung, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu mampu > menjadi imam untuk Ibu. Ibu pun selalu berdoa untukmu. Yang Ibu pikirkan > adalah kakak-kakakmu yang tidak mampu membaca Alquran dan tidak > menjalankan shalat." > Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat berjama'ah, > walaupun sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di ruamh. Mereka lebih > suka duduk di lapau dan sepertinya tidak menghiraukan panggilan azan yang > berkumandang dari masjid. Dan Ibu tidak pernah menegur hal itu. Aku pun > tidak pernah mempersoalkan mereka. Sementara aku merasa takut, selain > karena lebih kecil juga karena aku takut menca > mpuri urusan mereka. > > "Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu yang taat, > yang mengimami Ibu, walaupun kamu yang terkecil. Entahlah.. Ibu sudah > semakin tua, ajal sudah di ambang pintu. Ternyata Ibu masih meninggalkan > banyak pekerjaan yang tidak selesai, ternyata Ibu tidak mampu mendidik > kalian dan kalian ternyata tidak bisa mendidik diri sendiri," kata Ibu > terisak. > Air mataku mengalir tanpa terasa. > "Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu Yung! Kamu tidak > henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu bahwa membuat > orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Han kakakku yang nomor > tiga datang dan memarahiku. > "Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu, itu cengeng > namanya. Lihat tuh di lepau orang-orang ramai. Duduklah di sana biar orang > tahu bahwa kita bermasyarakat. Bukan dalam rumah," > katanya lagi sambil menekan kepalaku. > "Jangan kasar begitu pada adikmu Han. Ia kan baru sele...," > "Kalau tidak seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu, yang > duduknya cuma di dapur." > "Tapi ia kan masih kuliah." > "Aah. Ibu selalu membelanya, mentang-mentang ia kuliah. Walaupun Han tidak > pernah kuliah, Han ini anak Ibu. Sekurang ajar apapun aku yang melahirkan > Han adalah Ibu. Tapi kenapa dia, Ibu perlakukan berbeda dengan Han?" Han > menunjuk-nunjuk diriku. > Mendapat serangan kata-kata seperti itu, Ibu menangis lagi. Aku hanya > terdiam terpana ketika Han kemudian berlalu dan tidak menghiraukan tangis > Ibu. > Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku menghapusnya, tapi bagamana dengan > kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma, kamarabbayana > saghiraa. Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan.* > > (Ummi Edisi 9_11) > > > > eGroups Sponsor > > > > To unsubscribe from this group, send an email to: > [EMAIL PROTECTED] > > > > > >>>> 2.5 Mbps InternetShop >> InternetZone << Margonda Raya 340 <<<< >> Kirim bunga ke-20 kota di Indonesia? Klik, http://www.indokado.com >> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED] Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]