-----Original Message-----
From: Kris Yarismal 
----- Original Message ----- 
From: Dalian Nasution To: Alumni BNN Sent: Thursday, February 15, 2001 9:42
AM
 
LET US BE A BETTER FATHER TO OUR KIDS

Bill Cosby memang berharga. Ketika beberapa tahun silam, anaknya, Bill Cosby
Jr diterjang peluru, hampir sebagian  warga dunia berguncang. Seorang ayah
'ideal'  kehilangan anaknya. Puluhan pertanyaan berhamburan dibalik kejadian
itu. Orang-orang tidak membayangkan, Bill Cosby Jr punya masalah dengan
bandit-bandit pengedar obat terlarang. Bukankah Bill Cosby seorang ayah
ideal, humoris, sabar, pengertian, enak dan perlu. Tidaklah berlebihan,
kalau Alvin F. Poussaint M.D, seorang Asisten Profesor dari Harvard Medical
School, membutuhkan 10 halaman untuk menjelaskan kehebatan sang tokoh.

Namun ada satu pertanyaan inti yang tidak mampu dijawab secara
transparanoleh Bill. Yaitu, 'Where has Bill gone'? Kemanakah Bill pergi
selama ini.Apakah yang ia lakukan sepanjang hari dengan anaknya. Kenapa, ?
Bill tidak mengetahui sedikitpun tentang sepak terjang anaknya?

Malam, ketika tulisan ini sedang dirampungkan, telpon rumah saya
berdering.Interlokal dari kampung saya di sebuah dusun pedalaman Sumatra.
Suara gagap dan ragu-ragu kakak perempuan saya mengabarkan, dua orang
keponakan kami masuk penjara. Satu orang tertangkap sebagai pengedar Narkoba
dan satu lagi sebagai pemakai Narkoba kronis.

Sama seperti Bill Cosby, tiba-tiba puluhan pertanyaan menyergap dan
mengepung ruang dalam otak kanan saya. Semua pertanyaan itu berputar-putar
dan akhirnya berpilin pada sebuah pertanyaan, 'Where has  their father
gone'? Kemanakah ayah mereka pergi selama ini?

Sehari sebelum saya terima kabar dari kampung, dalam sebuah dialog antara
pemerhati pecandu Narkoba, seorang ibu bercerita.  Katanya, tak ada
kesakitan yang lebih mencekam ketimbang cengkraman Narkoba  padaanaknya.

Dengan menahan tangis dan sedikit dendam, ia mengatakan  anaknya adalah
korban dari hilangnya lelaki dewasa (ayah) dalam putaran  kehidupan rumah
tangganya."Where has the father gone?"

Dimana sih ayah-ayah mereka?

Anak-anak yang ditakdirkan menjadi pelaku sejarah di atas hanyalah  sebagian
kecil di antara berjuta anak yang sebenarnya tidak membutuhkan konseling
psikologi. Apa yang mereka butuhkan, namun seringkali tidak  mereka miliki
adalah ayah yang peduli padanya dan punya waktu untuk bersama.

Anak-anak itu tidak butuh tenaga psikiater tapi dia butuh seseorang yang
bisa dipercaya.

Lalu dimanakah ayah-ayah mereka? Ada dua jawaban. Pertama, ayah yang ada
tapi suka membolos. Tipe ini kita temukan dimana-mana. Di lapangan  golf,
tenis, bulu tangkis, kantor dan tempat lainnya. Ada ayah yang dinas
luar(tugas kantor atau dakwah) ke daerah-daerah hampir setiap bulan.

Ada   ayah yang bekerja, berangkat sesudah subuh dan pulang larut malam. Ada
juga ayah yang nongkrong, tidur-tiduran di tempat tertentu hanya untuk
melegitimasi bahwa ia sibuk sepanjang hari. Sehingga seolah-olah hanya ada
waktu sisa buat anak-anaknya. Kesimpulannya, ayah-ayah ini ada di
mana-mana, tapi mereka sering membolos dari waktu bersama anaknya.

Mereka (ayah-ayah ini) sulit ditemukan di rapat-rapat POMG (Persatuan Orang
Tua Murid dan Guru), karena ada peninggalan purba yang menyatakan bahwa
urusan sekolah adalah hak mutlak sang ibu. Kita jarang menemukan ayah di
tempat praktek dokter menggendong anaknya yang sakit. Kita juga tidak
melihatnya di kantor kepolisian mengurus anaknya yang melakukan tindakan
kriminal.

Ayah-ayah ini apabila ditanyakan pada mereka: apakah yang penting dalam
hidupmu? Biasanya mereka menjawab: keluarga dan anak-anak. Naifnya, jawaban
ini sering tidak tercermin dalam kehidupan sehari-hari, khususnya bagaimana
mereka mengatur waktu dan tenaga mereka sehari-hari antara pekerjaan dan
anak. Simaklah dialog berikut ini:

Sang Anak :     "Ayah, Yah main bola yuk?" 

Sang Ayah :     "O, ya. Ayah baca koran dulu!"

                        "O, ya. Ayah nonton berita dulu !"

                       "O, ya. Ayah janji main bola hari Sabtu!"

                        "O, ya. Ayah ada acara nih"

                        "O, ya. Ayah lagi cape ? "

                        "O, ya. Ayah lagi banyak kerjaan"

                        "O, ya. Ayah mau tapi ? "

Mungkin ayah seperti inilah yang dimaksudkan oleh hasil need assesment dari
Lembaga Demografi salah satu universitas negeri di Jakarta. Jajak pendapat
itu menerangkan empat ciri menonjol ayah tipe pertama ini.  Cepat marah,
jarang ada waktu ngobrol dengan anak, ditakuti anak dan selalu  menakar
seluruh pekerjaan dengan uang.

Kedua, ayah yang ada (fisik) dan rajin tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Kita menemukan ayah-ayah ini sering berada di rumah. Mereka mengerjakan
banyak hal, tapi tidak terlalu mengerti apa yang dikerjakannya. Sebuah
gelombang rutinitas menjebak dan membawanya berputar-putar ke dalam
pekerjaan yang memiliki kualitas rendah.

Anak-anak menjumpai tokoh ini sepanjang waktu di rumah, namun sayangnya
lambat laun sang tokoh menjadi tidak berarti dalam kehidupan mereka. Tidak
ada lagi kejutan-kejutan psikologis yang biasa ditunggu-tunggu anak dari
seorang ayah yang normal. Ritme komunikasi berjalan tanpa greget dan hambar.

Sebagian besar korban Narkoba dan pelecehan seksual di kalangan remaja
memiliki ayah tipe kedua ini.

Bukan Superman tapi Superstar

Benar, ayah bukanlah superman, tapi ia adalah superstar. Ia bintang di
tengah keluarga. Ia pembawa dan penentu model sekaligus agen sosial. Lewat
aksi panggungnya yang memikat, ia menggemuruhkan keceriaan keluarga.

Tapi, sebagai seorang bintang, ia tidak lahir dengan sendirinya. Ia
membutuhkan dukungan. Norma Tarazi dalam bukunya The Child in Islam
menerangkan ini dengan baik. Katanya, peran ayah dalam Islam  itu
digambarkan dengan jelas. Bahkan lebih jelas dari peran ibu (seperti
digambarkan peran Ayah dalam diri Rasul-rasul Allah dan Luqman as) karena
bagi lelaki peran ayah bukanlah peran instingtif.

Peran ini lebih membutuhkan bimbingan sosial daripada wanita dengan perannya
sebagai ibu.

Sebelum dukungan datang dari luar, maka sang ayah harus mencari dukungan
dari dirinya sendiri. Mereka haruslah secara kontinyu merangsang dialog
dengan hati nurani secara intens dan apresiatif.

Dialog-dialog ini harus mampu meyakinkan bahwa ia tidaklah satu-satunya ayah
yang sedang belajar menjadi superstar. Bahwa anak-anak membutuhkan cinta,
dukungan, dorongan dan perlindungannya. Bahwa melalui anak-anak para orang
tua diajarkan makna hidup, cinta, kesucian, kesabaran dan sebagainya. Bahwa
anak-anak melihat dunia luar dengan perantara jendela sang superstar.

Dukungan dalam diri tidak akan berarti tanpa tekun dan sabar berlatih.

Sampai suatu saat hilangnya kekakuan dalam berhadapan dengan  anak-anak.
Muncullah ayah yang dengan ikhlas membantu anaknya mengerjakan PR,
memandikan anak, mencuci baju dan belanja. Ayah yang  membacakan buku
cerita untuk anaknya, mengantar anak les komputer.

Ayah-ayah inilah yang akan membuat dunia ini berputar dan menjawab
pertanyaan "where have all the fathers gone?" dengan "Here I am. Now and
forever!"

Kirim email ke