Yth. Rekan Erik dan Brahm,

Berikut ini jawaban saya atas tanggapan rekan Brahm (yang terdapat pada
milis [doctors-l] dan [idi-l])  mengenai artikel saya (Dr. Rudy Sutadi, SpA)
di surat kabar/harian Republika, Minggu 11 Maret 2001 tentang "Hubungan
vaksin MMR dengan Autisme".

=====Butir 1.=====
Butir 1.1. Dari Brahm: Si penulis memiliki bias yang kuat, mungkin sekali
karena pengalaman pribadi dan posisi organisatorisnya.

Jawaban Rudy:
Tanggapan Brahm mengenai bias dari Rudy sama sekali tidak beralasan. Dasar
pemikiran Brahm karena a.) Pengalaman pribadi, b.) Posisi organisatorisnya.

a.) Mengenai pengalaman pribadi: Justru penulis adalah orangtua yang nota
bene adalah dokter spesialis anak. Sehingga mempunyai catatan yang lengkap
serta terinci mengenai riwayat tumbuh-kembang anak penulis dari
bulan-ke-bulan, dari waktu-ke-waktu. Juga tentunya riwayat imunisasi,
riwayat penyakit, dlsb. Selain data tertulis, juga terdapat rekaman video
sejak lahir beserta foto-fotonya.
Pengalaman pribadi tidak kemudian serta merta menyebabkan bias seseorang.
Banyak contoh, antara lain Augusto Odone yang menemukan Lorenzo's oil (yaitu
campuran dengan komposisi tertentu antara oleic acid + euric acid) untuk
pengobatan ALD (adrenoleukodystrophy). Augusto Odone bukanlah seorang
dokter, dia hanyalah seorang biasa, orangtua dari Lorenzo, anaknya yang
menderita ALD.
Justru pengalaman pribadi sering memacu seseorang untuk lebih giat lagi
memperdalam/menyelidiki sesuatu, tanpa menjadi bias.

b.) Posisi Organisatoris: Adalah aneh bila Brahm mempersoalkan hal ini.
Apakah bila Wakil Ketua LBH membahas soal hukuman mati, maka menjadi bias?
Apakah bila Wakil Ketua Kontras membahas soal tindak kekerasan aparat
keamanan, maka menjadi bias? Samasekali tidak! Justru memang kompetensi
mereka membahas hal tersebut. Sama halnya dengan Rudy yang Wakil Ketua
Yayasan Autisme Indonesia serta Yayasan Peduli Autisme, membahas mengenai
hubungan vaksin MMR dengan autisme. Samasekali tidak jadi bias! Justru
penulis sangat berkompeten membahas hal itu.

Butir 1.2. Dari Brahm: Paper ini sangat sepihak sifatnya. Hanya dua ahli
yang dikutip, Wakefield dan Singh, tanpa secara kritis membahas kesahihan
studi mereka berdua.

Jawaban Rudy:
Perlu Brahm ketahui bahwa adalah sangat berbeda bila kita membuat naskah
untuk jurnal ilmiah kedokteran dengan naskah untuk koran.
Walaupun hanya ada nama Wakefield dan Singh di artikel koran, tidak kemudian
berarti sumber tulisan hanya 2. Karena di koran, kita tidak dicantumkan
"Daftar Pustaka", sehingga Brahm tidak tahu bahwa Rudy tidak hanya mempunyai
reference 2 saja. Kalau di jurnal ilmiah kedokteran, tentunya ada daftar
pustakanya.
Di samping itu, apakah kalau hanya 2 saja, maka serta-merta berarti itu
tidak benar? Ingat: "Yang banyak itu belum tentu berarti benar. Tetapi, yang
benar itu pasti mempunyai arti banyak".

Banyak contohnya. Misalnya, Copernicus yang pada tahun 1533 mengemukakan
teori bahwa bumi yang mengelilingi matahari. Sedangkan pendapat "semua-ahli"
saat itu bahwa matahari beserta alam semesta yang mengelilingi bumi. Sampai
akhirnya Copernicus dihukum bakar (dibakar sampai mati) 10 tahun kemudian
(1543), karena tetap bersikeras mempertahankan teorinya. Baru pada tahun
1992, secara resmi Vatikan mengakui kesalahannya.
Perlu waktu 460 tahun untuk suatu pengakuan!

Contoh lain. Columbus pada tahun 1492 mengatakan bahwa bumi itu bulat,
sehingga bila anda pergi terus ke Barat maka anda akan tiba di tempat semula
dari arah Timur. Sedangkan pendapat banyak orang umumnya saat itu, bahwa
bumi itu ceper (seperti sebuah piring) sehingga bila anda sampai ke tepinya
maka akan jatuh ke dalam jurang tanpa dasar.
Dan banyak lagi contoh lainnya.

Perlu Brahm ketahui juga, penelitian Wakefield saja berdasarkan penelusuran
500 lebih peer-reviewed papers, dan lebih dari 1000 abstracts. Semuanya
dipublikasi pada jurnal ilmiah bereputasi.
Di samping itu, naskah asli dari Rudy berisi lebih dari 25.000 karakter,
sedangkan ruangan yang tersedia hanya 10.000 karakter. Itu berarti
lebih dari setengah naskah dibabat habis (sekitar 3/5 nya).

Kesahihan studi Wakefield sering diserang. Lucunya antara lain oleh Brahm
yang menurut pengakuannya sendiri, belum pernah membaca naskah asli studi
Wakefield. Padahal studi ini telah diakui kesahihannya (dari dasar,
rancangan, hasil, kesimpulan, dan diskusi). Justru studi-studi yang
menyatakan tidak ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme yang
amburadul, semata-mata memang hanya mau membenarkan judulnya saja, sedangkan
rancangannya tidak sahih, hasilnya dengan kesimpulan dan diskusi sangat
dipaksakan walau tidak ada benang merahnya. Misalnya penelitian yang
dilakukan oleh Taylor. Namun justru oleh kalangan industri farmasi dan
lembaga resmi pemerintah, penelitian Taylor dianggap sebagai kata akhir.
Kita tahulah kenapa.

Butir 1.3. Dari Brahm: Minim sekali argumen pro-MMR dan disodorkan dengan
kata-kata yang bersifat negatif ("Lembaga resmi milik pemerintah, tentunya
berpikir dengan skala nasional. Sehingga mungkin terjadinya beberapa kasus
autisme pasca MMR dari sekian ribu anak, bagi mereka mungkin tidak berarti
apa-apa."

Jawaban Rudy:
Memang begitulah adanya. Ingin bukti?
Menurut ceritera Dr. Jose Batubara, SpAK, Ketua IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia), saat bertemu di La Moda Kafe saat siaran di Metro TV.
Selain membahas MMR, pertemuan IDAI dan Depkes, POM, dihadiri
pula oleh pihak Biofarma (penghasil vaksin) juga membahas thimerosal
(ethyl-mercury) yang terdapat di dalam vaksin DPT dan Hepatitis B.
Namun pernyataan yang keluar hanya mengenai MMR dan Autisme. Kenapa mengenai
thimerosal dan Autisme tidak dikeluarkan pernyataan aman/tidaknya? Karena
kalau thimerosal (ethyl-mercury) sangat telak, tidak bisa berkelit lagi,
sudah jelas dan sama diketahui bahayanya. Sedangkan kalau MMR masih ada
celah untuk berkelit. Nah itu kan berarti mereka-mereka telah menyembunyikan
fakta dan informasi!

Contoh lain. Tembakau (dengan segala produknya) serta alkohol (dengan segala
produknya). Dunia kedokteran sudah mengetahui bahayanya. Pemerintahpun sudah
jelas. Namun kan kedua bahan beracun ini tetap dibiarkan beredar. "Demi
kepentingan yang lebih besar". Lebih besar bagi siapa bung?!
Selain itu, rupanya Brahm tidak tahu bahwa memang lembaga pemerintah seperti
halnya Depkes, memang mempunyai skala prioritas dalam upaya pencegahan,
pemeliharaan, dan penanggulangan kesehatan. Jadi, karena autisme ini mereka
pikir bukan masalah nasional, maka tidak dijadikan prioritas. Bagaimana
menentukan prioritas? Ya dengan angka-angka statistik. Benar kan, kalau
hanya sedikit, ya egp (emangnye gue pikirin, autisme uuuaja khoqh
rueeepot.....)
Sering pemerintah "mengutamakan kepentingan yang lebih besar". Lebih besar
bagi siapa dan apanya, tidak jelas.


=====Butir 2.=====
Dari Brahm: Meski saya pribadi belum membaca penelitian Wakefield dan Singh
beberapa rekan korespondensi menyatakan.....dst.

Jawaban Rudy:
Nah kan, orang buta diceritain oleh orang buta yang lain mengenai gajah.
Jadinya begini inilah.
Saya sudah membaca sangat banyak paper dari kedua versi (yang menyatakan ada
hubungan maupun yang menyatakan tidak ada hubungan) beserta pembahasannya
(peer-reviewed).


=====Butir 3=====
Dari Brahm: 3. (a) Apakah peningkatan autism di berbagai negara
selalu berhubungan dengan MMR? (b) Kenyataannya, MMR untuk bayi hanya
tersedia di negara maju, (c) sementara peningkatan autism terjadi di seluruh
dunia. dst.

Jawaban Rudy:
Butir 3.a. Memang diketahui peningkatan autisme tidak hanya berhubungan
dengan MMR. Tapi logikanya jangan terbalik, itu tidak berarti bahwa tidak
ada hubungan antara autisme dengan MMR.
Peningkatan kejadian autisme disebabkan oleh berbagai faktor polutan. Antara
lain merkuri yang diperoleh dari limbah pabrik serta pertambangan (emas),
dari ikan (methyl-mercury), dari preservatif vaksin DPT serta Hepatitis B
(thimerosal=ethyl-mercury). Di samping timah hitam (lead, pb/plumbum) dari
sisa pembakaran bahan bakar fosil (bensin), dari plastik/pralon/cat/dlsb.
Juga dari MMR yang paling tidak melalui jalur tak langsung (leaky gut
syndrome, hiperpermeabilitas usus) berhubungan dengan studi Wakefield, dan
melalui jalur langsung yaitu proses autoimmune yaitu terbentuknya anti-MBP
(myelin basic protein). Dan banyak teori lainnya, misalnya G protein
deffect.

Butir 3.b. Brahm katakan MMR hanya ada di negara maju.
Saya mau tanya, apakah Indonesia termasuk negara maju? Sehingga MMR tersedia
di Indonesia?
Brahm tidak tahu bahwa per capita GNP Indonesia saat 1USD=2.500Rp adalah
USD660-880 (tergantung sumbernya). Sehingga setelah 1USD=10.000Rp, maka
berarti per capita GNP Indonesia adalah USD165-220. Menggunakan standar
manapun (S&P, IMF, dll.), Indonesia termasuk negara *miskin*, bahasa
kerennya developing country.
Jadi teori Brahm bahwa MMR hanya ada di negara maju, sama sekali omong
kosong!

Butir 3.c. Brahm sendiri katakan bahwa peningkatan autisme terjadi di
seluruh dunia.
Berarti ada satu faktor yang sama yang memicu terjadinya wabah autisme ini.
Apa faktor yang sama itu? Yaitu MMR. Terbukti di Amerika setelah tahun 1978
MMR diberikan, kejadian autisme meningkat drastis. Sepuluh tahun kemudian
(1988), di Inggris terjadi hal yang sama, yaitu kejadian autisme meroket
setelah pemberian MMR.


=====Butir 4.=====
Butir 4.a. Dari Brahm: Senada dengan (3), apakah benar autisme anak penulis
berhubungan dengan MMR yang diterimanya?
Butir 4.b. Dari Brahm: Banyak sekali "kesaksian" bahwa seorang anak/bayi
tadinya normal, lalu disuntik MMR dan booom... tahu-tahu autistik. Butir
Butir 4.c. Dari Brahm: Asal tahu saja, onset autisme memang sering demikian,
tadinya tidak apa-apa tahu-tahu jadi autistik.
Butir 4.d. Dari Brahm: Pernahkah ada studi tentang pengalaman orang tua yang
anaknya autistik tanpa menerima MMR?
Butir 4.e. Dari Brahm: Menurut saya ada kemungkinan mereka akan mengisahkan
cerita yang sama, yaitu anaknya tiba-tiba berubah.
Butir 4.f. Dari Brahm: Ada unsur probabilitas di sini, yaitu "kebetulan"
saja kedua peristiwa itu (MMR dan onset autism) terjadi berdekatan, dan
sekali lagi terlalu dini untuk mengatakan bahwa ini adalah suatu
sebab-akibat.


Jawaban Rudy:
Butir 4.a. Seperti jawaban saya pada butir 1. Penulis adalah dokter
spesialis anak, mempunyai catatan yang lengkap serta terinci mengenai data
kehamilan, kelahiran, riwayat tumbuh-kembang, riwayat imunisasi, riwayat
penyakit, dll. Juga dilengkapi dengan rekaman video sejak lahir serta
foto-foto.

Butir 4.b. Sekali lagi ini omong kosong dari Brahm. Tanpa suatu bukti.
Berapa banyak kesaksian yang Brahm pernah baca/dengar kemudian dia buktikan?

Butir 4.c. Memang semua ahli yang berkecimpung di dunia autisme tahu bahwa
ada autisme yang sudah menunjukkan gejala-gejalanya sejak anak masih bayi,
dan ada yang baru menampakkan gejala setelah berumur 18-24 tahun. Yang
terakhir ini disebut sebagai late onset autism. Dulu orang menduga-duga
bahwa late onset autism karena terjadinya arrest di otak. Kenapa terjadi
arrest? Nah kemudian diketahui antara lain oleh MMR ini.

Butir 4.d. Tanpa dilakukan studipun saya bisa jawab. Anak juga bisa autistik
walau tidak mendapat MMR.
Seperti yang telah saya terangkan di atas, selain disebabkan oleh MMR,
autisme bisa karena thimerosal (dalam vaksin DPT, Hepatitis B, beberapa
HIB), lead/Pb/plumbum/timah-hitam, dll. Bahkan susu dan terigu, belum pernah
tahu khan...? Dlsb.
Tapi sekali lagi, jangan dibalik bahwa MMR tidak menyebabkan autisme.

Butir 4.e. Spekulasi yang menyesatkan serta melecehkan. Kalau di film,
pengacara akan bilang "objection" kemudian abang hakim bilang "over rule".

Butir 4.f. Rupanya Brahm tidak tahu sama sekali mengenai
probabilitas/kebetulan. Silahkan buka kembali buku pelajaran statistiknya.
Untuk membuktikan segala sesuatu memang digunakan teori probabilitas.


=====Butir 5.=====
Butir 5.a. Akhirnya, mari kita lihat situasi di Indonesia. Berapa sih harga
MMR? Siapa yang sanggup mem-vaksinasi bayinya dengan MMR? MAYORITAS penduduk
Indonesia tidak mampu membeli vaksin ini.
Butir 5.b. Dari segi Kesehatan Masyarakat, kita masih punya banyak sekali
prioritas lain yang lebih penting daripada berlarut-larut mendebatkan topik
yang hanya melibatkan sejumlah kecil masyarakat Indonesia.

Jawaban Rudy :
Butir 5.a. Orang yang berkecimpung di dunia per-autisme-an di Indonesia,
tidak jarang mendengar kesan seseorang bahwa autisme itu umumnya anak dari
orang dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke atas (walau kesan ini tidak
seratus persen benar).
Brahm juga tidak tahu bahwa banyak orang dari sosial ekonomi menengah ke
bawah ditanggung oleh perusahaannya (langsung/asuransi) untuk mendapat
vaksinasi, antara lain vaksin MMR ini.

Butir 5.b. Ha...haa.....haaaaa..............
Saya tertawa panjang sampai hampir kehabisan nafas.
Ini kan yang saya bahas di artikel saya di Republika. Tapi Brahm sanggah
(lihat butir 1.3). Kemudian saya jawab (lihat di atas). Tapi di sini
kemudian Brahm secara tidak langsung membenarkan pemikiran saya. Jadinya
pemikiran Brahm sangat kontradiktif.
Ya, itulah, dari segi kesehatan masyarakat, pemerintah punya prioritas
sendiri. Kalimat langsung saya pada artikel di Republika "Lembaga resmi
milik pemerintah, tentunya berpikir dengan skala nasional. Sehingga mungkin
terjadinya beberapa kasus autisme pasca MMR dari sekian ribu anak, bagi
mereka mungkin tidak berarti apa-apa. Tetapi lain halnya bila kita berbicara
tentang suatu keluarga. Satu anak saja yang autisme dalam satu keluarga akan
merupakan beban yang sangat berat bagi kedua orangtuanya."

Itulah, Brahm juga bilang "ah, ini kan hanya sejumlah kecil".
Saya kan juga bilang, pemerintah bilang "ah, emangnye gue pikirin, autisme
uuuaja khoqh rueeepot...."
"Demi kepentingan yang lebih besar" Lebih besar apanya? Untuk siapa?

Namun, jangan dianggap enteng. Semakin meningkatnya angka kejadian baru
penyandang autisme dari tahun ke tahun sudah merupakan national alarming di
Amerika. Yah, namanya di Indonesia, selaluuu saja terlambat.....


=====Pendapat dan anjuran Brahm=====
Butir x1. Lihatlah seobjektif mungkin dari sudut pandang kedua belah pihak.
Butir x2.a. Mumps dan Rubella .................... TIDAK HARUS diberikan
sejak bayi.
Butir x2.b. Saya sarankan pemberian MMR ditunda dulu sampai usia anak sudah
agak besar (misalnya SD)

Jawaban Rudy:
Butir x1. Tulisan yang kontradiksi lagi dari Brahm. Sekarang bilang perlu
objektif, dua belah pihak. Sedangkan di butir 5.b., Brahm hanya melihat dari
sudut kesehatan masyarakat, sehingga Brahm bilang "engga usah repot-repot
mikirin jumlah autisme yang hanya secuil, masih ada prioritas lain". Mana
yang benar Brahm? Sungguh pemikiranmu selalu bertolak belakang. Mungkin
seperti contoh seorang dokter anak senior yang mengatakan tidak ada hubungan
antara DPT/Hepatitis-B (thimerosalnya) serta MMR dengan autisme, tapi dia
sendiri melarang cucunya diberi DPT/Hepatitis yang mengandung thimerosal.

Butir x2.a. Pendapat yang kacau. Kapannya sih vaksin mumps dan rubella
diberikan sejak bayi?

Butir x2.b. Ini pendapat yang asal-asalan, asbun. Kalau sudah usia SD
(artinya 6 tahun ke atas), ya tidak perlu lagi diberi MMR.
Di samping itu, ada kasus-kasus, di mana regresi autistik terjadi pada anak
usia 4 tahun setelah divaksinasi MMR.
Berdasarkan fenomena compound effect, Wakefield menyarankan pemberian MMR
secara terpisah, yaitu measles tersendiri saja, mumps tersendiri saja, dan
rubella tersendiri saja, dengan selang waktu beberapa minggu. Seperti juga
dilakukan oleh Jepang, salah satu negara maju (Ini benar-benar negara maju
Brahm, bukan pendapat asbun-mu yang mengatakan MMR hanya ada di negara maju,
lihat butir 3.b. di atas beserta jawabannya).
Lebih jauh lagi, mohon dibaca artikel saya bahwa masih banyak faktor
predisposisi yang memungkinkan terjadinya autisme oleh sebab vaksinasi MMR.
Semakin besar anak, ataupun sudah dewasa, tidak lantas aman mendapat vaksin
MMR, bahkan mungkin lebih berbahaya atau membahayakan calon anaknya (baik
peningkatan risiko maupun beratnya autisme).


Demikian sementara, semoga bermanfaat. Mohon maaf bila ada kata-kata yang
tidak berkenan, samasekali tidak bermaksud tidak sopan, hanya sekedar untuk
menekankan arti/kalimat.

Dr. Rudy Sutadi, SpA



----- Original Message -----
From: Erik Tapan <[EMAIL PROTECTED]>
To: doctors <[EMAIL PROTECTED]>
Cc: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: 15 Maret 2001 17:31
Subject: [doctors-l] Kontroversi MMR dan Autisme


> Salam,
> Berikut disampaikan salah satu komentar sejawat kita yang mengomentari
> tulisan
> Dr Rudy Sutadi Sp A., di surat kabar Republika. Semoga berguna.
>
> ===
>
> Dear All,
>
> Seperti saya sudah tulis terdahulu, kita perlu berhati-hati dalam
menyikapi
> debat autisme-MMR ini. Forward dari Dr Erik saya lihat memiliki beberapa
> kelemahan sebagai berikut:
>
> 1. Si penulis memiliki bias yang kuat, mungkin sekali karena pengalaman
> pribadi dan posisi organisatorisnya. Paper ini sangat sepihak sifatnya.
> Hanya dua ahli yang dikutip, Wakefield dan Singh, tanpa secara kritis
> membahas kesahihan studi mereka berdua. Minim sekali argumen pro-MMR dan
> disodorkan dengan kata-kata yang bersifat negatif ("Lembaga resmi milik
> pemerintah, tentunya berpikir dengan skala nasional. Sehingga mungkin
> terjadinya beberapa kasus autisme pasca MMR dari sekian ribu anak, bagi
> mereka mungkin tidak berarti apa-apa.")
>
> 2. Meski saya pribadi belum membaca penelitian Wakefield dan Singh,
beberapa
> rekan korespondensi menyatakan bahwa metode dan data mereka tidak sahih.
> Patofisiologi yang dikemukakan Wakefield sama sekali belum terbukti
> kebenarannya. Meski penderita autism menunjukkan protein tertentu dalam
> CSF-nya, belum terbukti yang mana menyebabkan yang mana (apakah otak
> keracunan protein itu ataukah otak yang terganggu kemudian memproduksi
> protein tersebut). Dalam Epidemiologi fenomena ini sudah dikenal baik:
> hubungan sebab-akibat praktis tidak bisa ditelusuri dengan penelitian
> cross-sectional, melainkan memerlukan randomised controlled trial atau
> setidaknya cohort study atau (lebih lemah lagi) case-control.
>
> 3. Apakah peningkatan autism di berbagai negara selalu berhubungan dengan
> MMR? Kenyataannya, MMR untuk bayi hanya tersedia di negara maju, sementara
> peningkatan autism terjadi di seluruh dunia. Lagi-lagi ini adalah
kelemahan
> Epidemiologis: hanya karena dua peristiwa terjadi bersamaan tidak berarti
> yang satu menyebabkan yang lain!
>
> 4. Senada dengan (3), apakah benar autisme anak penulis berhubungan dengan
> MMR yang diterimanya? Banyak sekali "kesaksian" bahwa seorang anak/bayi
> tadinya normal, lalu disuntik MMR dan booom... tahu-tahu autistik. Asal
tahu
> saja, onset autisme memang sering demikian, tadinya tidak apa-apa
tahu-tahu
> jadi autistik. Pernahkah ada studi tentang pengalaman orang tua yang
anaknya
> autistik tanpa menerima MMR? Menurut saya ada kemungkinan mereka akan
> mengisahkan cerita yang sama, yaitu anaknya tiba-tiba berubah. Ada unsur
> probabilitas di sini, yaitu "kebetulan" saja kedua peristiwa itu (MMR dan
> onset autism) terjadi berdekatan, dan sekali lagi terlalu dini untuk
> mengatakan bahwa ini adalah suatu sebab-akibat.
>
> 5. Akhirnya, mari kita lihat situasi di Indonesia. Berapa sih harga MMR?
> Siapa yang sanggup mem-vaksinasi bayinya dengan MMR? MAYORITAS penduduk
> Indonesia tidak mampu membeli vaksin ini. Dari segi Kesehatan Masyarakat,
> kita masih punya banyak sekali prioritas lain yang lebih penting daripada
> berlarut-larut mendebatkan topik yang hanya melibatkan sejumlah kecil
> masyarakat Indonesia.
>
> PENDAPAT DAN ANJURAN SAYA:
> 1. Sekali lagi, berhati-hatilah dalam menanggapi debat MMR-autisme atau
> debat medik apa pun, apalagi yang nadanya emosional. Lihatlah seobjektif
> mungkin dari sudut pandang kedua belah pihak.
> 2. Mumps dan Rubella relatif tidak begitu berbahaya sehingga TIDAK HARUS
> diberikan sejak bayi. Saya sarankan pemberian MMR ditunda dulu sampai usia
> anak sudah agak besar (misalnya SD) di mana kalau ada bibit autisme
> kemungkinan besar sudah akan tampak tanda dan gejalanya.  Ini perlu
> dilakukan sambil menunggu hasil penelitian yang lebih sahih.
>
>
> Salam,
> Brahm.






>> kirim bunga, pesan cake & balon ulangtahun? klik, http://www.indokado.com  
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]




















Kirim email ke