artikel tsb sangat menyentuh hati yah.. memang benar sekalipun kita
bekerja.. sepulang kerja walaupun cape seharusnya kita yang ambil alih semua
pekerjaan baby sitter, supaya si anak juga mengenal mama dan papanya.. Ada
saudara saya yang menyerahkan semuanya ke tangan baby sitter, sehingga
ketika mamanya mau mengendong dia tidak mau, karena yang ia kenal hanyalah
baby sitter tsb.. Gimana ibu-ibu bapa-bapa...?

-----Original Message-----
From: Susan Sumali <[EMAIL PROTECTED]>
To: [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]>
Date: 05 April 2001 18:26
Subject: [balita-anda] FW: MANDIKAN AKU, BUNDA


>
>
>
>Teman,
>Ini ada cerita bagus, mungkin bisa kita ambil hikmahnya...........
>
>
>
>> "MANDIKAN AKU, BUNDA......"
>>
>> Sebagian orang menganggap tugas wanita lebih sebagai manajer di
>rumahnya
>> tanpa perlu dipusingkan urusan dapur dan  merawat anak yang lebih
>pantas
>> dilakukan oleh para bawahan, alias pembantu ataupun baby-sitter.
>>
>> Peran sosial dan aktualisasi diri menjadi lebih utama. Di sisi lain,
>tidak
>> sedikit wanita yang tetap "teguh" dan bangga dengan kesibukan seputar
>> urusan dapur. Mereka cukup puas dengan imbalan surga untuk jerih
>payahnya
>> membenamkan muka di asap "sauna" minyak goreng dan berparfumkan aroma
>> popok bayi.
>>
>> Saya tidak hendak membahas kekurangan dan kelebihan kedua sisi ini.
>Saya
>> hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya.  Sebut saja Rani
>> namanya.
>> Semasa kuliah ia tergolong  berotak cemerlang dan memiliki idealisme
>yang
>> tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang
>> terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang
>akan
>> digelutinya.
>>
>> Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional
>di
>> Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus
>> melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan
>kedokteran
>> dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula,
>> Rani mendapat pendamping yang "setara " dengan dirinya, sama-sama
>> berprestasi, meski berbeda profesi.
>>
>> Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru  saja diangkat
>sebagai
>> staf
>> Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama
>> putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah alif" dan huruf
>> terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya
>filosofi
>> yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula. Ketika Alif,
>> panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin
>> menggila saja. Frekuensi terbang  dari satu kota ke kota lain dan dari
>> satu negara ke negara lain makin meninggi.
>>
>> Saya pernah bertanya , " Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk
>ditinggal?"
>> Dengan sigap Rani menjawab : " Saya sudah mempersiapkan segala
>sesuatunya.
>> Everything is ok."
>> Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya
>walaupun
>> lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan.
>> Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek
>> neneknya
>> selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang
>> ibu-bapaknya.
>> " Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu
>nenek
>> Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya.
>Tidak
>> salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang
>berhasil
>> dalam bidang  akademis dan pekerjaannya.
>>
>> Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik.
>Waktu
>> itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa
>kesibukan
>> mereka
>> belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif.
>Lagi-lagi
>> bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya. Mengagumkan memang.
>Alif
>> bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya  pulang
>> larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya
>> dengan penuh kebahagiaan.
>> Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia,
>> pikir
>> saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta.
>> Diam-diam
>> hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif.
>>
>> Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif
>menolak
>> dimandikan baby-sitternya.
>> "Alif ingin dimandikan oleh Bunda" Ujarnya.
>> Karuan saja Rani yang  dari detik ke detik waktunya sangat
>diperhitungkan,
>> menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi
>> dengan tante Mien, baby-sitternya. Peristiwa ini berulang sampai
>hampir
>> sepekan,
>> "Bunda, mandikan Alif " begitu setiap pagi, berulang dan berulang
>> kali........
>> Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa
>> peralihan
>> ke masa sekolah, jadinya agak minta perhatian.
>>
>> Sampai pada suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby
>sitter.
>> " Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency".
>> Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah
>sudah
>> punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil
>pemiliknya.
>> Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan
>kantor
>> barunya,shock  berat.
>> Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan
>anaknya.
>> Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh sikecil terbaring kaku.
>>
>> " Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif ya?" Ucapnya lirih, namun
>teramat
>> sangat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami
>masih
>> berdiri
>> mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, " Ini
>sudah
>> takdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau
>> sudah saatnya, dia akan pergi juga kan ? ".
>>
>> Saya diam saja mendengarkan.
>> " Ini konsekuensi dari sebuah pilihan."lanjutnya lagi, tetap tegar dan
>> kuat.
>> Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja.
>> Tiba-tiba Rani tertunduk, dan berteriak........
>> " Aku ibunya !" serunya  kemudian, "Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan
>> Alif.
>> Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif, untuk memandikan Alif".
>> Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil
>> mengais-kais tanah merah.....
>>
>> Sekali lagi, saya tidak ingin membahas  perbedaan sudut pandang
>pembagian
>> tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga
>bergelayut :
>> "Mandikan aku, Bunda"  Akankah kita menolak?
>>
>> Ataukah menunggu sampai terlambat ?
>> Beri sedikit waktu untuk bermain, mendengarkan, mencium, atau memeluk
>anak
>> kita. Karena bagaimanapun mahluk kecil itu masih memerlukan kehadiran
>> kita, kasih sayang kita dan pelukan kita. Meskipun sedikit namun itu
>> sangat berarti buat mereka.
>> Bukan dengan barang ataupun uang yang mereka perluka, namun perhatian
>> kita, ibunya, ayahnya, saudaranya itu yang mereka inginkan......
>> Mereka ada karena buah cinta kita, haruskah mereka kita sia-siakan???
>> Setiap detik begitu berharga untuk mereka.
>>
>> Sayangilah buah hati kita, saya rasa ini sebuah pengalaman bagi kita
>yang
>> sibuk bekerja dan melupakan 1 hal : Perhatian!!
>
>
>>> kirim bunga ke negara2 di Asia? klik, http://www.indokado.com
>>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
>Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
>Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
>
>


>> kirim bunga ke negara2 di Asia? klik, http://www.indokado.com  
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke