Bertemankan Kedamaian Selamanya
Posted Minggu, 8 April 2001 by gedeprama:
Oleh : Gede Prama

         Di tempat-tempat umum seperti bandara, mall, bioskop, atau sekolah dan
universitas, di mana banyak orang berkumpul, sering saya memperhatikan wajah
orang. Bila diamati secara agak mendalam, ada semacam kelangkaan orang yang
berwajah penuh kedamaian. Cirinya, sinar muka yang segar, murah senyum, sorot
mata yang bersahabat, serta kesediaan yang mudah untuk berkomunikasi. Di Jakarta
dan kota besar lainnya, mayoritas mata menunjukkan sinar curiga. Senyum
disamping mengundang curiga orang lain, juga menjadi barang yang teramat langka.
Wajah-wajah kota besar banyak terdiri dari wajah yang lesu, kusam dan tidak
bersemangat. Apa lagi berkomunikasi dengan orang yang tidak kita kenal.
Salah-salah kita menjadi korban tidak perlu.

         Maka jadilah wajah kota besar sebagai wajah sepi dalam keramaian. Dalam
arti        kehadiran suara, di mana-mana hadir keramaian. Dari suara mobil,
orang jualan, kondektur bus kota, sampai orang berkelahi. Namun dalam arti
kedamaian, inilah sebuah wilayah yang amat  dan teramat sepi.

         Sebagai pembicara publik yang bertemu ribuan orang, saya sering
dihadang pertanyaan-pertanyaan yang mengindikasikan keringnya jiwa banyak orang.
Sebagai eksekutif puncak perusahaan, tidak jarang harus berhadapan dengan
bawahan dan lingkungan kerja yang mirip manusia-manusia di tempat umum tadi.
Sebagai konsultan, bukan lagi menjadi pengalaman baru kalau bertemu dinamika
manusia di puncak piramida, yang miskin kebahagiaan dan kedamaian.

         Dengan latar belakang seperti ini, banyak orang menduga kalau kedamaian
itu tidak berada di kota. Ia berada jauh di tempat sepi sana. Dan larilah banyak
orang kota setiap minggu, dan setiap libur ke tempat-tempat sepi tadi. Ada yang
ketemu kedamaian di sana - kendatipun hanya sesaat. Ada juga yang memindahkan
kekeringan jiwa ala kota ke tempat sepi. Dan kalau benar tempat sepi tadi
bersemayam kedamaian dan kebahagiaan hidup, semua orang akan ramai-ramai pindah
ke sana.

         Akan tetapi sebagaimana ditunjukkan pengalaman banyak orang kaya dengan
banyak vilanya di tempat sepi, teramat sedikit orang yang menemukan kedamaian
permanen di sana. Perubahan suasana sementara tentu ada. Namun, perubahan
kedamaian ? Tidak ada satupun orang kaya dengan vilanya yang berhasil
membuktikannya ke saya.

         Dengan sedikit kejernihan ingin saya bertutur ke Anda, kedamaian
sedikit sekali hubungannya dengan tempat. Ia lebih banyak terkait dengan
kemampuan kita mengelola fikiran kita sendiri.

         Berkaitan dengan fikiran terakhir, seorang sahabat intelektual asli
India, pernah punya cerita menarik. Pada suatu hari ada seorang petani yang
berdoa amat husuk, sampai-sampai mengganggu ketenteraman Tuhan. Untuk itu, maka
Tuhan memberikan kesempatan kepada petani tadi untuk mengajukan permintaan
sebanyak tiga kali. Dan Tuhan berjanji pasti akan memenuhinya.

         Teringat dengan ayahnya yang terbaring sakit di rumah dengan umur yang
tua renta, langsung saja petani tadi minta agar ayahnya dipanggil. Dan sore itu
langsung saja sang ayah wafat. Maka berceritalah semua penduduk desa tentang
almarhum. Ada yang menyebutnya dengan ayah penyabar, murah hati, suka membantu,
sampai dengan pencinta anak dan isteri. Mendengar semua cerita ini, petani tadi
merasa berdosa sudah membunuh orang tua yang demikian baik. Maka kembali ia
meminta ke Tuhan agar ayahnya dihidupkan kembali dalam keadaan sembuh.

         Menyadari bahwa kesempatannya meminta hanya tinggal sekali lagi, maka
bertanyalah dia ke semua orang, apa yang sebaiknya dia minta kepada Tuhan. Ada
yang menyuruhnya meminta uang, memohon hidup tanpa pernah mati, dikasi isteri
baru, sampai dengan rumah serta mobil mewah. Bingung dengan semua ini akhirnya
petani tadi diam dan pasrah. Setahun, dua tahun sampai sepuluh tahun berlalu,
dia tidak juga meminta sesuatu. Maka kini giliran Tuhan yang bertanya : 'kenapa
Anda tidak menagih janji saya yang terakhir ?'.

         Merasa diri bingung, kemudian petani tadi bertanya balik ke Tuhan :
'apa yang sebaiknya saya minta ?'. Dengan ekspresi amat tenang Tuhan menjawab :
"mintalah hati yang penuh dengan rasa syukur".

          Cerita ini memang cerita imajiner, namun siapapun yang memiliki hati
yang penuh dengan rasa syukur, ia akan bertemankan kedamaian selamanya. Entah di
kamar hotel berbintang lima plus atau di kandang kerbau. Entah di sebelahnya
bintang film tercantik, atau wanita berwajah terburuk. Entah makan makanan
terenak, atau hanya makan nasi putih. Tidak ada tempat, waktu dan suasana yang
bisa mendiktekan kedamaian atau penderitaan.

         Kembali ke cerita semula tentang langkanya wajah-wajah yang penuh
kedamaian. Kita manusia tidak sedikit yang hidup seperti  ikan yang kehausan di
dalam air. Di mana-mana ada air yang melimpah, dan tinggal meminumnya. Namun,
toh meminta-minta air karena haus tidak tertahankan.

         Demikian juga dengan mereka yang merasa tidak pernah menemukan
kedamaian dan kebahagiaan. Kedamaian ada di mana-mana. Dan bisa diambil oleh
siapa saja dan kapan saja. Dan syaratnyapun dimiliki oleh semua orang.
Persoalannya, maukah kita membuka pintu hati untuk senantiasa bersukur, bersukur
dan bersukur ?



>> kirim bunga ke negara2 di Asia? klik, http://www.indokado.com  
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke