http://www.eramoslem.com/

Hukuman Fisik Bagi Anak, Perlukah?

Publikasi: 16/11/2001 11:05

eramuslim - Melihat anak berbuat salah, orang tua ataupun guru sering
tak kuasa untuk tidak memberikan hukuman badan (fisik) pada si anak.
Padahal, hukuman fisik itu belum tentu perlu. Sebab, hukuman macam ini
justru sering berdampak buruk. Ada cara lain yang lebih baik dan patut
dianut.

Kita masih ingat, pada tahun 1960-an atau 1970-an, masih banyak orang
tua yang menghukum anak dengan sabetan gagang kemoceng atau sapu, hanya
gara-gara anak memecahkan piring murahan, tidak mau disuruh ke warung
atau mengerjakan PR. Atau kalau di sekolah, ada guru yang menghukum anak
push up sampai pucat pasi lantaran terlambat datang. Pikir mereka, si
anak bakal jera melakukan kesalahan yang sama. Kini, hukuman badan
justru sering digugat efektivitasnya oleh kalangan orang tua, para
pendidik, maupun psikolog. Hukuman badan ada kalanya memang berdampak
positif. Namun, terbuka pula peluang untuk melahirkan dampak negatif.

Secara filosofis, orang tua merasa bertanggung jawab untuk
mendisiplinkan dan menghukum anak demi kebaikan si anak sekarang dan
kelak. Bahkan, secara tradisional pun, hukuman badan telah diterima
sebagai salah satu metode sangat efektif untuk mengendalikan dan
mendisiplinkan anak. Hal ini didukung oleh masyarakat yang percaya bahwa
hukuman badan penting untuk mencegah degradasi moral, baik dalam
kalangan rumah tangga maupun masyarakat.

Di sekolah, hukuman badan masih sering digunakan. Banyak guru atau para
pendidik berpendapat, ketakutan murid pada hukuman fisik akan menambah
kekuatan atau kewibawaan guru. Dengan demikian sang murid akan lebih
mudah dikendalikan. Namun, ini bukanlah satu-satunya cara untuk
mengendalikan murid atau anak.

Ada banyak metode yang bisa dipilih untuk menumbuhkan kepatuhan atau
kedisiplinan. Namun, jika semua metode tersebut sudah tidak mempan,
hukuman badan bisa dijadikan jalan terakhir untuk menumbuhkan kepatuhan.

Bisa berakibat buruk
Terhadap hukuman yang diterima, si anak bakal memberikan reaksi aktif
atau pasif. Rekasi aktif dapat dilihat saat hukuman berlangsung.
Umpamanya, berteriak, mengentak-entakkan kaki, dll. Sedangkan reaksi
pasif pada umumnya tidak ditunjukkan di depan orang tuanya. Contohnya,
menyalurkan kemarahan kepada adiknya atau pembantu rumah tangganya.

Sebenarnya secara psikologis, manusia mempunyai kapasitas dan kemampuan
untuk berbuat baik atau buruk. Hukuman badan mungkin akan mendukung
perbaikan perilaku buruk mereka. Jika digunakan secara tepat, hukuman
badan akan menjadi cara paling tepat untuk menurunkan atau mengurangi
kelakuan yang tidak bisa diterima. Contohnya, acap kali orang tua
memberikan hukuman badan bila anak tidak mau melakukan aktivitas
tertentu macam membuat PR atau melakukan latihan-latihan lain.

Dalam kasus ini, hukuman badan dapat merusak keinginan atau motivasi
anak untuk mengerjakan aktivitas tersebut. Sehingga aktivitas berikutnya
dilakukan karena paksaan atau rasa takut, bukan karena keinginannya
sendiri, dan dilaksanakan semata-mata hanya untuk menghindari hukuman.
Pekerjaan yang demikian akan dirasakan anak tidak nikmat.

Hukuman fisik, menurut Neil A.S. Summerheil asal AS dalam bukunya A
Radical Approach to Children Rearing, merupakan suatu usaha untuk
memaksakan kehendak. Walaupun tujuan utamanya untuk menegakkan disiplin
anak, tindakan ini dapat berakibat sebaliknya. Anak menjadi frustrasi.
Selanjutnya, anak hanya merespons pada tujuan hukuman itu sendiri.

Banyak anak merasa bahwa menerima hukuman badan tidak terhindarkan,
sehingga mereka menjadi resisten (kebal) terhadap hukuman tersebut.
Hukuman badan tidak membuat mereka melaksanakan suatu aktivitas dengan
baik. Sebaliknya, anak akan cenderung membiarkan dirinya dihukum
daripada melakukannya.

James Dobson asal Illinois, AS, dalam bukunya Dare to Dicipline
menekankan, hukuman badan tidak akan mencegah atau menghentikan anak
melakukan tindakan yang salah. Ganjaran fisik ini justru bisa berakibat
buruk. Bahkan, dapat mendorong anak untuk meneruskan dan meningkatkan
tingkah lakunya yang salah.

Riset ahli lain, Leonard D. Eron, menunjukkan hukuman fisik
dikhawatirkan malah mendorong anak untuk bertingkah laku agresif.
Celakanya, orang tua sering kali malah bereaksi terhadap agresivitas ini
dengan menggunakan cara yang salah, misalnya dengan meningkatkan
intensitas serta frekuensi hukuman badan.

Tidak heran kalau anak kemudian malah meniru tingkah laku agresif orang
tua atau orang dewasa yang menghukumnya. Di sini secara tidak sadar
orang tua telah mengajarkan anak untuk berperilaku agresif.

Gunakan hukuman variatif
Hukuman badan secara fisiologis dan psikologis memiliki dampak jangka
pendek dan panjang. Efek fisik jangka pendek misalnya luka memar,
bengkak, dll. Sedangkan dampak fisik jangka panjang misalnya cacat
seumur hidup.

Efek psikologis jangka pendek, misalnya merasa marah, sakit hati,
jengkel untuk sementara waktu. Dampak ini tentu lebih ringan
dibandingkan dengan efek psikologis jangka panjang, seperti merasa
dendam yang mungkin sampai bertahun-tahun.

Bahkan, Philip Greven dalam bukunya Spare the Child: The Religious Roots
of Punishment and the Psychological Impact of Physical Abuse menyatakan,
efek psikis jangka panjang itu termasuk disasosiasi bermacam bentuk
seperti represi atau amnesia, pikiran terbelah serta kekurangpekaan
perasaan.

Hukuman yang muncul karena orang tua khawatir kehilangan kewibawaan,
bukan upaya untuk menunjukkan kasih sayang atau melatih anak agar
disiplin pada aturan, akan menimbulkan reaksi negatif.

Menurut Neil, anak akan merasa hukuman sebagai lambang kebencian orang
tua kepada mereka. "Tidak heran kalau kemudian anak bereaksi negatif,"
tegasnya.

Arnold Buss seorang psikolog dalam bukunya Man in Perspective
mengingatkan, bila hukuman diberikan terlalu sering dan anak merasakan
hal ini tidak dapat dihindarkan, anak akan membentuk rasa
ketidakberdayaan (sense of helplesness).

Anak tidak belajar apa pun dari hukuman tersebut, tetapi cenderung
menerimanya tanpa merasa bersalah. Konsekuensinya, menurut ahli dari
Kanada ini, hukuman tidak mempunyai arti apa-apa bagi mereka. Rasa tidak
berdaya ini dapat dikurangi dengan menggunakan hukuman yang variatif,
tidak monoton.

Kondisi bertambah parah apabila anak mempunyai pandangan negatif
terhadap dirinya sendiri sehingga anak tidak dapat memisahkan antara
perilaku dengan kepribadian mereka yang sebenarnya. Mereka lalu
menganggap dirinya memang bukan anak yang baik, tidak lagi memandang
bahwa kelakuan mereka yang salah. Akibatnya, anak akan merasa rendah
diri. Bila rasa tidak berdaya terhadap rasa rendah diri ini terbentuk,
maka anak akan terus memandang diri mereka sebagai anak yang tidak baik.
Akibatnya, mereka
akan terus berperilaku buruk.

Mereka pikir memang begitulah orang lain memandang dirinya. Dalam kasus
ini kemungkinan untuk memperbaiki keadaan itu sangat sulit. Tanpa
hukuman badan Menurut Debby Campbell, seorang pendidik asal Ottawa,
Kanada, dalam bukunya About Dicipline and Punishment, efektivitas
hukuman badan lebih tergantung pada metodenya ketimbang frekuensinya.

Setiap kali menerima hukuman, memang anak akan jera untuk melakukan
kesalahan yang sama. Namun setelah menerima hukuman, pada umumnya anak
akan berusaha menarik perhatian orang tuanya untuk memperlihatkan
penyesalan mereka atas perbuatan buruknya. Setelah situasi emosional
berakhir, sering kali anak ingin berada dalam pelukan orang tuanya.

"Saat ini orang tua harus menyambut dengan pelukan hangat, penuh kasih
sayang. Di sini pembicaraan dari hati ke hati antara anak dan orang tua
perlu dilakukan," tambah Dobson.

Di sinilah hukuman berdampak positif karena dapat meningkatkan perasaan
cinta kasih antara anak dan orang tua.

Sebenarnya ada berbagai cara untuk mendidik anak agar mereka menaati
suatu aturan atau melaksanakan suatu aktivitas. Tidak perlu harus dengan
hukuman badan. Sekali lagi, hukuman badan harus dipandang sebagai jalan
terakhir. Jalan terbaik antara lain dengan memberikan teladan yang baik.

Dengan demikian si anak akan mempelajari tentang apa yang boleh dan
tidak boleh mereka perbuat. Metode non-hukuman badan bentuk lain adalah
metode time out dengan mengisolasi si anak dalam ruangan kurang nyaman
baginya selama beberapa menit. Atau, anak diminta mengerjakan sesuatu
yang kurang
menyenangkan baginya, misalnya membersihkan kamar mandi, menyapu,
dilarang menonton TV seharian, dll.

Namun hendaknya anak diberi peringatan sebelum hukuman dilaksanakan.
Jika hukuman badan tidak dapat dihindarkan, A.M. Cooke dalam bukunya
Family Medical Guide memberikan beberapa saran hukuman badan seperti apa
yang patut dilakukan:

- Memukul anak dengan menggunakan telapak tangan terbuka pada pantat,
kaki, atau tangan.
- Hukuman diberikan cukup satu kali sehari.
- Jangan memberikan hukuman badan pada anak yang berusia kurang dari 1
tahun.
- Sedapat mungkin hindari hukuman pada saat orang tua sedang pada puncak
emosi.
- Hukuman diberikan singkat dan sungguh-sungguh, segera setelah
kesalahan dilakukan. (Suprayetno Wagiman)




>> Kirim bunga ke kota2 di Indonesia dan mancanegara? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke