Aduh sedih banget deh aku bacanya.......

-----Original Message-----
From: Dede [mailto:[EMAIL PROTECTED]]
Sent: 11 Juli 2002 16:10
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [balita-anda] Anak kita Bukanlah Aib


Kiriman dari teman saya forward utk milis KI.
 
ANAK ADALAH AMANAH-NYA, BUKAN AIB. HANYA TITIPAN, BUKAN MILIK KITA. APAKAH
KITA BERHAK MENGGUGAT JIKA TITIPAN-NYA TERNYATA TIDAK SEPERTI ANAK-ANAK
LAIN? KITA HANYA DITUGASKAN MENJAGA DAN MENGASUHNYA DENGAN CINTA, KARENA IA
DITITIPKAN ALLAH, YANG RAHMAN DAN RAHIM-NYA TAK PERNAH SURUT DARI SISI KITA.
BUKAN TUGAS KITA MENILAI APAKAH SESEORANG AMANAH-NYA YANG BERNAMA "KHALID"
ATAU SIAPAPUN, LAYAK MENJADI ANAK KITA ATAU TIDAK. 

====================================================================

 

MUTIARA HIKMAH: 

Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama Khalid, yang
terlahir dengan keadaan Down Syndrome.  Seorang anak yang merupakan amanah
dari Allah, yang tidak akan tumbuh seperti anak normal dan dia tidak akan
bisa menjadi orang dewasa normal yang

mampu mengurus dirinya sendiri.  Khalid memang tidak tumbuh seperti
anak-anak normal lainnya, Khalid tidak bisa membaca, mengaji bahkan shalat
pun hanya bisa mengikuti gerakan-gerakannya, tanpa bisa menghapal. Bicara
pun tidak lancar, tak bisa mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya
hampir 9 tahun. Khalid juga sulit untuk dibiasakan buang air di kamar mandi.

Namun Khalid mencintai sesuatu dengan keikhlasan yang bersih dari egoisme
anak seusianya.   Cintanya yang tulus, perasaannya yang halus dan penuh
kasing sayang.  

Aku bertasbih...mataku pedih... 

Air mataku menetes saat kubaca ayat kedua belas dari Surat Lukman...
Anisykurlillahi... 

Dan, aku bersyukur... 

=====================================================================

Judul Asli: ANUGERAH TERINDAH 

Oleh: Fitri 

Anak lelaki itu berumur lima atau enam tahun. Ia mengenakan kemeja putih dan
pullover kotak-kotak hijau dengan logo taman kanak-kanak di dada kiri. Di
bahunya tersandang tas punggung merah dan di dadanya tersilang tali botol
minuman. Ia kelihatan lucu dan manis. 

Begitu naik ke dalam angkot, bocah itu menunjukkan hasil origaminya pada
wanita yang mungkin ibunya.Seekor burung yang sedikit kusut dan penyok. Ia
juga menyanyikan lagu baru yang diajari gurunya hari itu. 

Lihat ibu keretaku yang baru cukup besar untuk ayah dan ibu roda tiga
buatanku sendiri dari kulit buah jeruk bali...' 

Aku tersenyum geli mendengar suaranya yang agak sumbang tapi penuh semangat.
Bocah itu balas tersenyum padaku, kemudian kembali asyik memberondong ibunya
dengan berbagai cerita. Mulutnya tak henti mengunyah donat yang barangkali
dibelikan ibunya di depan sekolah. Ibunya menyahut sesekali dengan anggukan
atau gumaman setengah tak peduli, sementara tangannya mengibaskan lukisan
krayon anaknya untuk menghalau panas. 

Aku tidak menyalahkannya. Cuaca siang itu memang panas dan kemacetan jalan
membuat udara pengap. Melihat bungkusan yang terserak di kakinya, aku yakin
ia telah menghabiskan paginya untuk berbelanja kebutuhan dapur. Tak heran ia
kelihatan sangat letih, mengantuk dan tak begitu bersemangat mendengar
cerita anaknya di sekolah hari itu. 

Atmosfer yang menyengat tidak mengalihkan perhatianku dari anak itu. Kureguk
tiap kata dan lagu yang dinyanyikannya seperti pengelana kehausan yang
menemukan wadi di tengah gurun. Alangkah rindunya aku akan semua itu. Aku
tak ingin membandingkan anakku dengan bocah lucu di angkot itu, tapi mau tak
mau Khalid singgah ke dalam benakku dan merusak kenikmatanku. 

Setiap kali memeriksakan diri selama mengandung Khalid, bidan selalu
mengatakan kehamilanku normal dan bayiku sehat. Karena itu aku dan suami
sama sekali tak siap waktu dokter memberi tahu bahwa Khalid tidak normal. Ia
lahir dengan Down syndrome. 

Menyakitkan. Masa depan anakku sudah ditentukan oleh dokter hanya beberapa
menit setelah kelahirannya. Khalid tidak akan tumbuh seperti anak normal dan
dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang mampu mengurus dirinya
sendiri. 

Selain itu dokter juga menemukan kelainan pada jantungnya yang harus
diperbaiki dengan pembedahan. Ada juga gangguan mata dan tonsil. Hal yang
menurut dokter biasa menimpa anak Down syndrome. 

Shock yang kualami setelah melahirkan Khalid cukup berat hingga aku harus
dirawat agak lama di rumah sakit. Aku sangat tertekan hingga bahkan tak bisa
menyusui Khalid. Dokter memperkenalkanku dengan wanita pakar penanganan anak
Down syndrome. Wanita itu memberikan buku-buku dan brosur kepada kami. 

Tapi, semua yang kubaca malah semakin membuatku tertekan. Sejak dokter
menyatakan bahwa aku positif mengandung, aku selalu berdoa dan bermimpi
tentang seorang anak yang cerdas dan lincah. Anak yang akan kubimbing
mengenal Allah dan Rasul-Nya. Yang akan kuajari mengaji dan shalat agar ia
bisa mendoakan kedua orang tuanya. Ia akan kubawa tafakur alam ke
tempat-tempat yang indah agar pandai bersyukur dan memiliki sifat tawadlu. 

Aku akan memperkenalkannya pada saudara-saudaranya yang yatim dan papa agar
hatinya lembut dan peka. Yang akan mencintai buku-buku seperti aku dan
ayahnya. Anak yang akan jadi seorang pejuang di jalan Allah, demi
kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglima gagah itu, Khalid bin Walid.

Kubayangkan jari mungil anakku menyusuri huruf-huruf dalam lembaran mushaf
Al Qur-an. Jika lelaki, ia pasti lucu dalam baju koko dan peci mungilnya dan
jika perempuan, ia pasti manis dalam jilbab kecilnya yang berbunga dan
berenda 

Rasanya aku bahkan sudah bisa mendengar suaranya yang bening melantunkan
ayat-ayat suci itu. Suara terindah yang pernah kudengar. 

Lalu ke mana bisa kukubur kecewaku saat mendapati Khalid tak mungkin
mewujudkan semua impianku. Aku hanya bisa berdoa siang malam memohon
kekuatan. Aku mengintrospeksi diri, mengingat kembali apa yang telah
kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikan Khalid. 

Hingga suatu hari kalimat itu menohokku. Anakku adalah amanat-Nya, bukan
hukuman, bukan aib. Hanya titipan, bukan milikku. Apakah aku berhak
menggugat jika titipan-Nya ternyata tidak seperti anak-anak lain? Aku hanya
ditugaskan menjaga dan mengasuhnya

dengan cinta, karena ia dititipkan Allah yang rahman dan rahim-Nya tak
pernah surut dari sisiku. Bukan tugasku menilai apakah Khalid layak jadi
anakku atau tidak. Setelah itu aku kembali menemukan ketenangan. 

Tapi tak urung kesedihan itu kerap. Sangat menyakitkan. Tiap kubawa Khalid
ke dokter dan melihat ibu lain dengan bayi seumur Khalid, aku kembali
terbenam dalam kepiluan. Entah untuk Khalid atau untuk diriku sendiri. 

Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayi lain mulai tertawa dan mengeluarkan
suara-suara lucu, Khalid hanya diam. Ia memandang kosong ke depan. 

Tiap hari suamiku dan aku harus bergantian merangsang otaknya dengan mainan
warna-warna dan kerincingan yang ribut. Khalid baru menunjukkan reaksi saat
usianya hampir delapan bulan. 

Khalid baru belajar berjalan di usia dua tahun. Bicaranya tak pernah
selancar anak-anak lain dan kosa katanya sangat terbatas. Ia tak bisa mandi
dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir sembilan tahun. Ia harus
disuapi tiap waktu makan sampai ia bisa makan sendiri beberapa bulan
terakhir ini. 

Yang paling menjengkelkan, sulit sekali membiasakannya buang air di kamar
mandi walaupun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama delapan tahun dari
sepuluh tahun usianya. 

Mengajari Khalid salat dan mengaji hampir tak mungkin. Khalid hanya bisa
mengikuti gerakan-gerakan salat tanpa bisa menghafal bacaannya. 

Setelah beberapa lama, kami menyadari kesalahan kami dan mulai dari awal
sekali, mengakrabkan Khalid dengan Allah dan Islam. Sesuatu yang lebih mudah
dilakukan dan dipahami Khalid. 

Di belakang rumah ada pohon jambuu...' suara lantang bocah berseragam TK
diangkot itu mengembalikan perhatianku pada polahnya yang kocak. Tapi kali
itu aku tak bisa menikmatinya tanpa merasa iri. Iri pada ibu yang tak
menyadari besarnya nikmat Allah yang dimilikinya. Ada kegeraman dan rasa
kasihan pada diri sendiri yang tiba-tiba bergolak dan menenggelamkanku. 

Membuat dadaku sesak dan leherku tercekik. Aku tak tahu apakah harus
menyesal atau gembira saat anak itu akhirnya turun dari angkot. 

Di bangku yang mereka tinggalkan kulihat burung-burungan kertas itu gepeng.
Kupungut dan kuperbaiki. Tiba-tiba mataku kabur oleh air mata. Khalid tak
bisa melukis dengan krayon atau membuat origami. Koordinasi tangannya lemah
sekali. 

Dalam kepalanku yang gemetar, burung-burungan itu kuremas menjadi gumpalan
kertas. Aku tak sanggup lagi menahan isak. Dengan suara tercekat kusuruh
sopir berhenti. Kusodorkan ongkos dan turun, walaupun rumahku masih jauh. 

Aku duduk di halte yang sepi. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeringkan air
mata. Saat aku menengadah mataku tertambat pada papan putih di seberang
jalan. Sebuah masjid. Ya Allah, inikah teguran-Mu.? Aku menyeberang. Segera
kuambil wudhu dan salat dua rakaat. Air mataku menetes saat kubaca ayat
kedua belas dari surat lukman... Anisykurlillahi.... 

Usai mengucap salam aku tercenung. Kekalutan yang sempat menguasai sudah
berhasil kukendalikan. Aku merasa kosong, tapi damai. Lalu satu- satu
fragmen kehidupan Khalid mulai kembali ke dalam benakku. Bukan gambaran
muram tentang kekurangannya, tapi keistimewaan-keistimewaan kecil yang
mengimbangi dan melengkapi hidupnya. 

Khalid suka sekali musik. Ia sulit menangkap dan menghafal lirik, tapi
kenikmatan yang terlukis di wajahnya saat mendengarkan musik adalah
keindahan tersendiri. Ia juga tak pernah nakal dan usil, selalu ramah dan
murah senyum. Ia tak pernah marah dan ngambek, dan jika dimarahi, cepat
kembali ceria. 

Ia sangat mencintai adiknya Fatimah, yang lahir empat tahun lalu. Kami
sempat khawatir Khalid akan cemburu dengan kehadiran adiknya. Tapi ia malah
antusias membantuku mengurus Fatimah. Sering kudapati Khalid duduk menatap
adiknya yang tertidur dengan ekspresi terpesona yang tak terlukiskan. 

Fatimah normal dan cerdas sekali tapi ia menerima abangnya tanpa syarat.
Kemesraan di antara keduanya selalu menerbitkan syukur di hatiku dan ayah
mereka. Mengurus Khalid memang menuntut kesabaran dan kegigihan ekstra
dibandingkan mengasuh anak biasa. Tapi Khalid memang bukan anak biasa. 

Ia telah mengajarkan kepada kami makna mencintai tanpa pamrih yang hakiki.
Di zaman saat orang memburu segala yang superlatif; tercantik, terpandai,
tergesit, anakku tidak akan bisa bersaing. Ia tidak mungkin menjadi
teknolog, ekonom atau da'i tersohor. 

Tapi apakah itu akan mengurangi cinta kami padanya? Mengurangi kegembiraan
melihat prestasi-prestasi kecilnya yang dianggap remeh dan sepele orang lain
seperti bisa berpakaian dan makan sendiri? Aku dan ayahnya tak akan
memperoleh apa-apa darinya. Kemungkinan besar Khalid akan terus tergantung
pada kami. Dan setelah kami tak sanggup lagi, mungkin pada Fatimah. 

Tapi kami memang tak lagi mengharapkan apapun darinya. Kami hanya
mencintainya. Kudorong gerbang rumah dan kuserukan salam. Sahutan riang
menyambutku. Pintu terkuak. Fatimah menghambur memelukku sementara abangnya
tersenyum lebar sambil berjalan goyah di belakangnya. 

Ibu bawa apa, bawa apa?' tanya Fatimah. Ia memekik ketika kukeluarkan
sekantung mangga ranum dari keranjang belanjaku. Khalid tersenyum. Matanya
yang semula kosong berbinar. Mangga adalah buah kesukaannya. 

Aku masuk ke kamar untuk berganti baju setelah berpesan pada pembantu untuk
mencuci dan mengupaskan mangga buat anak-anak. Saat aku keluar, mereka tidak
berada di meja makan. 

Kupanggil mereka dan kudengar sahutan dari halaman belakang. Di depan
kandang burung parkit Fatimah melonjak-lonjak dan tertawa melihat abangnya
dengan sabar menyodorkan potongan mangga lewat jeruji bambu. 'Ayo kuning!
Jangan diam saja! Tuh diambil si hijau deh!' teriak Fatimah. Satu demi satu
burung-burung parkit dalam kandang terbang menyambar potongan mangga dari
tangan Khalid. Aku bertasbih. Mataku pedih. Sudah lama aku mengamati
keistimewaan Khalid untuk mencintai dengan keikhlasan yang bersih dari
egoisme anak seusianya. Cintanya sangat tulus pada burung-burung kesayangan
suamiku, pada ikan hias dan ayam kate yang kami pelihara untuk mengajar
anak-anak bertanggung jawab. 


Bahkan pada bunga-bungaku di kebun. Ia gembira mengurus semua itu, walaupun
tak pernah mendapat imbalan apapun dari kami. Kelembutannya terulur bahkan
pada kucing-kucing liar yang sering diberinya makan atau anak-anak tetangga
yang kerap mendapat bagian dari jatah kue dan buahnya tanpa menuntut balasan
apapun. 

Aku memang tak punya alasan untuk bersedih dan kecewa. Khalid mungkin tak
bisa membaca dan mengaji. Tapi perasaannya halus dan penuh kasih sayang. Dan
aku sangat bersyukur atas kelebihannya. 

-------

Dede Maulana
FYI ID:I-614832



>> Kirim bunga ke kota2 di Indonesia dan mancanegara? Klik,
http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]



>> Kirim bunga ke kota2 di Indonesia dan mancanegara? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke