Dear Bapak/Ibu yg sibuk,
 
Maaf agak OOT, tapi cerita ini bagus banget.
 
Salam,
Mamanya Joya
 
 
-------Original Message-------
 
Kura-Kura Pemandu Wisata
Oleh: Wandi S Brata *

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas bagi setiap
orang. Anehnya, kita menutup jalur-jalur sukses kita sendiri, dengan
terlalu buru-buru mengejar dunia yang terbang tunggang langgang, dan lupa
menarik diri untuk lebih cermat mengamati, sehingga kita jadi kesetanan
dan tak mampu memperoleh kedalaman.

Apa reaksi anda bila mendengar orang berucap, segala sesuatu yang penting
kuketahui untuk hidup sudah kupelajari saat di taman kanak-kanak? Itulah
keyakinan Robert Fulghum yang kemudian ia tulis dan menjadi judul bukunya:
All I Really Need to Know I Learned in Kindergarten: Uncommon Thoughts on
Common Things. Tiba-tiba saja buku itu saya ingat, terutama karena anak
judulnya, ketika membaca komik Walt Disney, dengan tokoh dua ekor tupai
yang hidup di hutan kenari. Nama kedua tupai itu di Indonesia adalah Kiki
dan Koko. Ya, menerjemahkan salah satu episodenya dari bahasa Italia untuk
anak saya yang masih TK, saya menemukan salah satu kunci untuk bisa
mencapai kedalaman hidup dengan penuh arti. Benar kata Robert Fulghum,
bahkan di lingkup kehidupan TK banyak terdapat pelajaran begitu berharga.

Di balik semak-semak, seekor kura-kura sedang menjajakan jasanya, "Siapa
mau wisata?"

Kiki dan Koko melongok dan menemukan Bung Kura-kura beringsut lamban dari
rerimbunan.

"Dengan imbalan segenggam dedaunan muda, kalian akan kupandu wisata!" kata
Bung Kura-kura kepada kedua sahabatnya itu.

Wisata keliling hutan hunian, yang sudah begitu akrab dikenal? Dengan
menaiki kura-kura? Pasti sudah gila yang menawarkan hal itu. Itulah yang
barangkali terlintas di benak Kiki dan Koko. Di samping akan makan waktu
terlalu lama, apa yang akan dikagumi dari realitas keseharian mereka?

Kiki dan Koko mulai berpikir bahwa tawaran itu hanya cara Bung Kura-kura
untuk minta tolong kepada mereka, tanpa kehilangan harga dirinya. Sulit
dan terlalu lama bagi Bung Kura-kura untuk mendapatkan segenggam dedaunan
muda; sementara bagi kedua tupai tersebut, hal itu hanyalah perkara
sepele, yang dengan cepat dan gampang mereka lakukan. Karena itu, dengan
maksud lebih untuk membantu daripada untuk mengalami wisata yang
menyenangkan, kedua tupai itu menerima tawaran sahabat mereka.

Dengan berpura-pura antusias menyambut tawaran berharga, kedua tupai itu
mulai duduk di punggung Bung Kura-kura, dan mulailah perjalanan wisata
mereka.

"Lihatlah di sebelah kanan kalian. ada kuncup bunga indah yang belum
merekah!" kata Bung Kura-kura kepada kedua sahabatnya.

Kuncup bunga? Indah memang, tapi apa yang menakjubkan dari keindahan
keseharian itu? Kiki dan Koko tahu, ada banyak bunga yang begitu indah,
baik yang masih kuncup maupun yang sudah mekar sempurna. Hanya untuk
menjaga perasaan sahabat mereka, kedua tupai itu mengungkapkan kekaguman
mereka, dan mau mengamati pemandangan yang sudah lumrah dalam hidup
mereka.

Seiring dengan perjalanan mereka yang lamban, kedua tupai itu mulai merasa
bahwa ada sesuatu yang berubah dalam diri mereka. Pertama kali hanya
karena basa-basi, tetapi kemudian karena mau sepenuhnya melibatkan diri,
kedua tupai itu kini seakan kehilangan diri, dan ikut mengalir dalam
proses keajaiban dunia keseharian mereka.

"Karena jalanku amat pelan, kalian punya cukup kesempatan untuk
menyaksikan kuncup yang sama itu kini sudah merekah sempurna" kata Bung
Kura-kura belum jauh beranjak dari tempat semula.

Dan terjadilah keajaiban itu dalam diri kedua tupai tersebut. Mereka tidak
hanya melihat kuncup, dan bunga yang sudah mekar, tetapi juga proses
merekahnya kuncup sampai mekar sempurna. Dipandu oleh Bung Kura-kura,
mereka seakan memasuki kekinian abadi, mengagumi peristiwa alam yang
selama ini lepas dari perhatian.

"Sekarang lihatlah di sebelah kiri kalian. segerombolan semut merah sedang
mengumpulkan bahan makanan!"

Berjalan pelan dan mengamati, Kiki dan Koko seakan melesat tinggi ke dalam
dunia pemahaman. Melihat semut, bahan makanan mereka, jarak tempuh,
kecepatan gerak, dan ukuran fisik semut-semut itu bila dibandingkan dengan
ukuran makanan yang mereka angkut, kedua tupai itu kini mengerti
hubungan-hubungan yang menakjubkan. Dalam diam, mereka mengangguk-angguk
paham. Dalam mata yang mengamati, terpancar api kekaguman yang membuat
hidup mereka menjadi serba cerah, ringan, penuh arti.

Kura-kura itu masih memandu mereka sampai ketemu segerombolan lebah yang
mencari madu, tikus mondok yang menggali lobang persembunyian, dan
burung-burung mencicit memberi makan anak-anak mereka di sarang, hingga
akhirnya sampai di sebongkah batu besar, tapal batas wisata mereka.

Lama waktu tempuhnya, tetapi sesungguhnya hanya beberapa meter wisata
mereka. Semua yang diamati adalah realitas keseharian, tetapi dipandu oleh
Bung Kura-kura, mata Kiki dan Koko menjadi terbuka terhadap kedalaman
realitas keseharian itu. Sebenarnya tak ada yang berubah, kecuali cara
pandang dan penghayatan kedua tupai sahabat anak TK tersebut. Kalau
realitas harian itu istimewa, itu semua sudah istimewa sejak dulu kala.
Kalau selama ini hal-hal yang istimewa itu tak terlihat, itu hanya karena
mata mereka yang tak melihatnya.

Kalau hanya dalam beberapa meter perjalanan mereka, Kiki dan Koko seakan
memasuki keabadian kekinian, saat mana seakan waktu tidak relevan lagi
bagi mereka, saya tak bisa membayangkan dinamika mental apa yang terjadi
dalam diri Bung Kura-kura khususnya, dan kura-kura pada umumnya. Bagi
binatang lamban ini, seakan-akan waktu tak relevan. Kalau dalam khasanah
Jawa ada konsep "menang tanpo ngasorake" atau "menang tanpa mengalahkan",
itulah kemenangan kura-kura terhadap waktu. Ia tidak sedang berpacu dengan
waktu. Saya kira, baginya waktu tidak relevan. Dan karena kelambanannya
itu, coba bayangkan, kura-kura selalu dapat menyaksikan segala sesuatu
dalam kepenuhan prosesnya.

Karena setiap proses bagi kura-kura bisa tampil penuh dalam rentang
perhatiannya, saya membayangkan binatang ini selalu hidup dalam kekaguman,
dan kekaguman merupakan penyulut api semangat yang luar biasa. Mungkin
karena itulah hidup mereka bisa begitu panjang, karena konon kura-kura di
Galapagos bisa mencapai dua bahkan tiga abad umurnya.

Lain kura-kura, lain kita yang serba tergesa-gesa. Jangankan proses bunga
merekah, bagi kebanyakan kita bunga kuncup, mekar, layu sampai pohonnya
mati kekurangan air pun mungkin tak sempat terperhatikan karena hidup kita
begitu gaduh kesetanan serba buru-buru. Dan di situlah mungkin terjadi
proses pemiskinan diri kita. Dan kalau benar demikian, sungguh aneh
sekali: untuk mengejar segala yang bersifat materi dan pengkayaan diri yang
semuanya sebenarnya serba semu dan luaran itu - ya, mengejar kuasa dan
harta atau mamon, yang kita kira akan memberi kita rasa bahagia dan
keamanan - kita rupanya harus berpacu dengan waktu, dan menjadi
benar-benar kesetanan, dan pada saat yang sama, kejar-mengejar dengan
waktu itu justru memiskinkan kita dari sisi makna dan kedalaman.

Kedalaman itu rupanya harus kita capai dengan cara berwisata, dipandu oleh
kura-kura. Dengan gerak yang lamban, kita membiarkan diri dalam aliran
penyingkapan proses-proses keseharian yang membuat kita mengangguk-angguk
karena paham. Kura-kura menjadi simbol irrelevanisasi waktu, dan proses
ini dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lakukan dengan cara sesekali
menarik diri dari kegaduhan kejar-mengejar dengan dunia, untuk secara
tenang menimba kedalaman makna. Waktu setengah jam sebelum tidur malam,
dapat menjadi wisata bersama kura-kura itu. Dan tidur yang didahului
dengan wisata bersama kura-kura bisa menjadi kontemplasi di mana kita
melarutkan diri dan masuk dalam aliran keajaiban dunia, untuk keluar lagi
di pagi hari dengan luapan energi yang tak terkira.

Belajar dari kenyataan itu, rupanya kita harus menyatakan bahwa sukses dan
kemenangan hidup yang benar-benar penuh ternyata
mengandaikan dua gerak yang berlawanan. Gerak pertama adalah gerak ke luar:
gerak kejar-mengejar dengan dunia beserta segala perubahannya. Gerakan ini
ditandai dengan kegesitan kita berpacu dengan waktu, untuk menyergap segala
kesempatan yang hanya dapat direngkuh dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh
orang yang jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri.

Gerak kedua adalah gerak ke dalam diri untuk mentransendir diri, suatu
gerak yang bisa disebut sebagai proses menghapus waktu, menganggap waktu
tak relevan. Dalam prakteknya, gerak ke dalam ini dilakukan dengan menarik
diri dari kejar-mengejar dengan dunia, dan tidak sekadar dengan
memperlambat geraknya, tetapi dengan seakan-akan meletakkan semua
prosesnya dalam ruang kaca, dan kita mengamatinya dari luar.

Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas bagi setiap
dan semua orang. Dan itu dimulai dari dalam diri, dengan menyeimbangkan
dua gerak penting yang akan memperkaya diri kita. Gerak ke luar kita harus
cukup gesit untuk bisa menangkap setiap kesempatan yang tercipta. Gerak ke
dalam kita adalah wisata bersama kura-kura untuk memenuhi diri kita dengan
kekaguman terhadap proses keseharian yang biasanya lepas dari perhatian.
Dipandu oleh si penganulir waktu, kita akan bahagia menapaki hidup ini,
sampai wisata kita di dunia ini berakhir di batu nisan, tapal batas
kembara kita.


____________________________________________________
  IncrediMail - Email has finally evolved - Click Here

Kirim email ke