APABILA di Jakarta saja jumlah orang miskin makin meningkat,
daerah-daerah lain yang sumber mata pencariannya tidak seluas Jakarta
akan menghadapi masalah serupa, bahkan mungkin lebih kompleks. Bisa
dipastikan, selain Supriono dan Mardiah, masih banyak warga yang
menghadapi kemiskinan dan sulitnya mencari pekerjaan untuk sekadar
memenuhi kebutuhan keluarga. Fakta ini menggugah kesadaran kolektif
kita, apa yang harus dilakukan agamawan untuk memerangi dan mengatasi
kemiskinan.

Harus diakui, meluasnya jumlah orang miskin secara implisit
mengabarkan gagalnya agamawan membangun etika sosial, etika yang
memberi perhatian kepada mereka yang lemah dan dilemahkan. Akibat
agama terlalu sering membincangkan soal etika privat, tak terelakkan
etika sosial cenderung diabaikan.

Buktinya, kemiskinan belum menjadi "kurikulum" dalam materi keagamaan.
Padahal, dalam sebuah pesan suci disebutkan, "kemiskinan adalah
pangkal kekufuran". Untuk itu, saatnya kita melakukan kritik atas
pelbagai macam keberagamaan yang hanya memonopoli ruang privat sebagai
komoditas.

Hampir setiap saat kita menonton tangisan, kepasrahan, dan ketundukan
di layar kaca. Pertanyaannya, tangisan itu untuk apa dan siapa?
Mungkinkah tangisan mereka untuk mengasah kepekaan atas orang-orang
miskin? Atau tangisan mereka adalah tangisan simbolik dan sekadar
hiburan sesaat?

Kritik seperti ini penting untuk membongkar praktik-praktik keagamaan
yang jauh dari konteks sosial masyarakat. Alih-alih ingin "menangisi
nasib masyarakat", kalangan agamawan sebagaimana dilihat oleh Olivier
Roy dalam Globalized Islam: The Search for a New Ummah telah melakukan
privatisasi agama.

Karena itu, modernisasi agama sebenarnya tidak selamanya ingin
mengetengahkan saripati dan pesan sosial sosial agama, tetapi justru
mengerdilkan hakikat agama, bahkan hanya menjadikan agama sebagai
komoditas ekonomi.

Karena itu, amat disayangkan bila pelbagai praktik ritual terjebak
dalam privatisasi agama. Agama tidak diposisikan dalam kerangka
menyelesaikan masalah kemiskinan, sebaliknya justru memapankan
kemiskinan. Sebab, dalam keberagamaan yang privat itu, agama dijadikan
komoditas belaka.

Persis seperti diungkapkan Ibnu Rushd, pendekatan retorik cenderung
dikedepankan oleh kalangan agamawan daripada pendekatan rasional bukan
untuk menyingkap pesan kemaslahatan sosial, tetapi untuk menyesuaikan
dengan konteks umat umumnya. Namun, untuk konteks sekarang, pendekatan
retorik mengalami pergeseran amat jauh, hanya digunakan sebagai
komoditas dan market.

DI sinilah refeleksi atas keberagamaan menjadi penting. Kisah Supriono
dan Mardiah harus dijadikan titik tolak untuk merancang bangun
keberagamaan yang dapat menyoroti dan menyelesaikan pelbagai problem
kemiskinan di masyarakat. Pengalaman Teologi Pembebasan dan Islam Kiri
yang berangkat dari tradisi agama-agama perlu diaktualisasikan kembali
agar agama menjadi keyakinan, cara pandang, dan sikap (baca: iman)
yang mampu mendongkrak kesadaran sosial. Kalangan agamawan harus
berpikir dan bekerja keras untuk mengembalikan agama ke ranah sosial.

Untuk itu diperlukan beberapa hal mendasar. Pertama, perlunya
perangkat pemahaman keagamaan yang memberikan perhatian terhadap
problem masyarakat, utamanya kemiskinan. Peter L Berger (2005),
sosiolog agama dari Universitas Boston, menyajikan pandangan menarik
perihal pentingnya pluralisme yang mendorong terwujudnya prinsip
kesukarelaan (the voluntary principle). Pesan agama yang belum digali
secara maksimal adalah pesan kesukarelaan.

Belajar dari sejarah agama-agama, bahwa agama yang bisa bertahan dan
berkembang adalah agama yang mampu menerjemahkan ajaran kesukarelaan
dalam konteks sosial yang plural. Kesukarelaan adalah jantung
agama-agama. Sebaliknya, agama yang tidak mampu menerjemahkan
kesukarelaan akan menuai keterbelakangan dan keterpurukan.

Kedua, perlu langkah-langkah praksis dari kalangan agamawan untuk
memberi solusi atas umat yang berada dalam kemiskinan. Lembaga-lembaga
sosial yang bergerak di bidang bantuan kemanusiaan harus menjadi
prioritas utama.

Ihwal pengentasan kemiskinan bagi masyarakat sekitar pesantren, Masdar
F Mas'udi mempunyai usul menarik. Para ulama mempunyai database
orang-orang miskin (www.islamemansipatoris.com). Hakikatnya ulama
adalah pemimpin dan pelayan masyarakat. Karena itu, harus mengetahui
nasib masyarakat. Kemiskinan adalah fakta yang tidak bisa diabaikan
oleh siapa pun, termasuk ulama.

Ketiga, perlu sikap kritis kalangan agamawan atas pemerintah yang
bertanggung jawab dalam mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Ini
juga menjadi bagian langkah praksis, sekaligus dorongan moral agar
pemerintah bekerja semaksimal mungkin.

Merebaknya penyakit busung lapar, polio, dan lumpuh di pelbagai daerah
harus mendapat perhatian serius pemerintah. Dan kalangan agamawan bisa
memosisikan diri sebagai kelompok penekan dan pendorong agar
pemerintah menjadi pihak yang memberi kemaslahatan kepada publik.
Institusi keagamaan, ormas, pesantren, dan langgar harus mendorong
agar pemerintah bekerja semaksimal mungkin untuk mengentaskan
kemiskinan di bumi pertiwi ini.

Ihwal perhatian atas kemiskinan, Tuhan memberi peringatan keras. Siapa
pun yang mengabaikan orang-orang miskin dan menghardik anak yatim
adalah mereka yang sebenarnya mengkhianati dan melanggar norma agama.

Apabila selama ini kita mengabaikan orang-orang seperti Supriono dan
Mardiah, sebenarnya kita tergolong mereka yang melanggar norma agama:
tidak mengasihi dan menyantuni orang miskin.

Karena itu, kalangan agamawan harus melawan kemiskinan dengan berbagai
upaya, termasuk aspek penyadaran, pemberdayaan, dan peningkatan
partisipasi masyarakat sipil untuk memberikan perhatian pada
pengentasan kemiskinan.

Zuhairi Misrawi Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), Jakarta

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/24/opini/1836503.htm





Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke