Haturan Kang WLY,

Jadi inget kana artikel2 anu pernah kabaca, sok aya
sobat anu haateun ngiriman artikel2 anu siga kieu.
Duka jadi jawaban, duka henteu yeuh, meureun teu
memper2 acan sigana mah.

Rekontekstualisasi Alquran
Oleh Abd Moqsith Ghazali
11/07/2005

Mencoba mengelak dari konteks lokalitasnya yang Arab
ini bagaimanapun hanya akan menyebabkan Alquran
teralienasi dari masyarakat. Ia menjadi tidak mudah
dipahami. Oleh karena itu, sikap yang akomodatif
terhadap kebudayaan lokal termasuk pemilihan bahasa
Arab sebagai perabot penyampaian wahyu adalah
keputusan taktis dan strategis.

Debat tentang otentisitas Islam tak berakhir. Sebagian
orang masih berpendirian bahwa Islam hadir dengan isu
baru, orisinil, dan otentik. Seakan semuanya dimulai
serba dari nol. Islam diposisikan sebagai peletak
pertama konsep penyelamatan dan juga pembatal seluruh
klaim kebenaran dari “yang lian”. Alquran dijadikan
sebagai konstitusi dengan daya jangkau yang luas.
Bukan hanya untuk kalangan Islam melainkan juga bagi
seluruh umat manusia. Bagi kelompok ini cukup jelas.
Alquran yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah
parameter tunggal untuk menghakimi hingga ke kelompok
agama lain. Secara tidak fair, tiba-tiba palu
diketukkan bahwa hanya agamanya plus kitab sucinya
sendiri yang sakral, sementara umat lain adalah
kotor-bengkok sehingga harus disucikan dan diluruskan
dengan Alquran.

Pemikiran tersebut belakangan banyak menuai kritik,
karena dinilai naif, absurd dan tak cukup menolong
bagi kehidupan modern yang kian pluralistik. Naif,
karena ia mengabaikan fakta pluralisme. Pluralisme
ditangkis dan diringkus ke dalam sebuah
singularisme--ketunggalan, yaitu Islam. Absurd, karena
ia telah memvonis umat agama lain secara in absentia,
tanpa klarifikasi (tabayyun). Penghakiman secara
sepihak ini tampak semena-mena dan bertentangan dengan
prinsip kesederajatan semesta yang diusung Islam sejak
mula. Saya kira, pandangan sarkastis seperti ini tidak
akan bertahan lama, karena ia akan tertampik secara
empiris.

Demikianlah. Padahal, jika dicermati dengan saksama,
apa yang disebut dengan yang otentik itu sebenarnya
tak ada. Islam adalah agama yang sebermula telah
menyerap banyak dari unsur kearifan lokal. Suatu waktu
Islam lumer dalam mitos-mitos, tradisi dan norma-norma
yang hidup di Arab. Wahyu Alquran pun terus
mengadaptasikan diri dengan kondisi demografis,
geografis, dan ekologis Arab. Lebih dari 50 persen,
teks-teks Alquran merupakan respons dan cerminan dari
unsur lokal Arab. Para pelajar Muslim mesti tahu bahwa
sejumlah hukum dan ritus peribadatan yang diintodusir
Alquran bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Ia
sudah berjalan, jauh sebelum Islam datang. Tradisi
thawaf, haji, puasa, dan lain-lain lazim
diselenggarakan orang-orang Arab pada zaman
pra-Muhammad SAW. Inilah misalnya salah satu
pengertian yang bisa dipetik dari ayat, wa kadzalika
anzalnahu hukman `rabiyan (demikianlah Aku turunkan
Alquran itu kepadanya berupa hukum-hukum yang telah
berlaku dalam masyarakat Arab).

Pendeknya, Alquran tak berusaha menghindar dari anasir
kebudayaan Arab. Dalam perjalanannya yang kemudian,
bahkan ia terlibat dalam proses terbentuknya
struktur-struktur Arab. Mencoba mengelak dari konteks
lokalitasnya yang Arab ini bagaimanapun hanya akan
menyebabkan Alquran teralienasi dari masyarakat. Ia
menjadi tidak mudah dipahami. Oleh karena itu, sikap
yang akomodatif terhadap kebudayaan lokal termasuk
pemilihan bahasa Arab sebagai perabot penyampaian
wahyu adalah keputusan taktis dan strategis. Dengan
cara ini, Alquran misalnya bisa lebih cepat tersiar
hingga ke level masyarakat yang paling bawah. Dan
Alquran bisa menyuguhkan solusi alternatif atas
problem-problem yang muncul di Arab saat itu.

Pertanyaannya adalah apakah Alquran juga cukup
responsif terhadap problem masyarakat di luar Arab?
Dan bagaimana umat Islam yang ada di kawasan non-Arab
mesti menyikapi Alquran? Alquran yang turun di Arab
dengan segala keterbatasan tehnologi-informasi saat
itu tentu tak banyak merespons pelbagai problem yang
merundung manusia di luar kawasan Arab. Dan amat
logis, kalau masalah-masalah yang ada di Asia Tenggara
dengan jarak ribuan mil dari Arab misalnya tak
tercover dalam batang tubuh Alquran. Bisa dipahami,
ketika unsur kebudayaan non-Hijaz tak terserap sama
sekali ke dalam “lingkaran dalam” Alquran.

Tugas umat Islam sekarang adalah melakukan tindakan
rekontekstualisasi dengan tahapan sebagai berikut.
Pertama, pahami konteks kearaban Alquran melalui sabab
al-nuzul yang luas. Ini disebut dengan
kontekstualisasi. Kedua, lepaskan Alquran dari konteks
kearabannya yang partikular dan ad hoc itu dan segera
temukan elan vital yang mempersambungkan seluruh
ajaran Alquran. Upaya ini disebut dengan
dekontekstualisasi. Ketiga, tanam kembali dan
perhadapkan gugusan nilai dan elan vital tersebut
dengan konteks lokalitas negeri-negeri Muslim di mana
pun. Upaya ini disebut dengan rekontekstualisasi.
Tanpa upaya itu, Alquran hanya menarik dan relevan
untuk orang Arab



                
____________________________________________________
Start your day with Yahoo! - make it your home page
http://www.yahoo.com/r/hs
 


Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke