Jejak-jejak Bandung yang Semakin Hilang"SEBAGAIMANA telah                 
dikatakan, tiada jalan setapak pun yang menuju ke tempat sisa-sisa pemujaan 
dewa-dewa ini.                 Sekarang harimaulah yang menghuni di sini di 
tempat mana dahulu kala orang-orang alim                 membawa sasajen 
(korban) untuk para roh. Hutan lebat telah menelannya dan telah                 
menyembunyikan dalam kegelapan. Angin yang mendesir meniup puncak pepohonan 
menandakan                 seolah-olah para roh berbisik-bisik dan menyatakan 
kepada kita secara lemah lembut, bahwa                 segala sesuatu, 
bagaimanapun indahnya, pada suatu waktu harus menghilang."
                                                                                
                                    SETIDAKNYA terdapat 30 situs purbakala di   
                  kawasan utara-timur laut Bandung kini sudah banyak dibangun 
"real estate".*HAZMIRULLAH/"PR"                                                 
    BEGITULAH ucapan Frans Wilhelm Junghuhn begitu menyaksikan keadaan di utara 
hingga                 timur laut Kota Bandung, pada tahun 1915. Hampir 36 
tahun kemudian, seorang birokrat asal                 Swiss bernama Werner 
Rothpletz berkata lain. "Sekarang pun hutan, harimau, dan tentu                 
juga wujud roh telah lama menghilang dari daerah ini". Pernahkah terbayang di 
benak                 Anda bahwa wilayah yang disebut Junghuhn dan Rothpletz 
itu, di masa lalu, menjadi tempat                 hunian nenek moyang urang 
Sunda? Bahkan sejak 2 juta tahun silam? Berdasarkan                 penelusuran 
arkeologis, begitulah adanya. Buktinya, banyak artefak
 ditemukan di wilayah                 tersebut. Sayang, sejauh ini, belum 
terdengar adanya kehendak dari pihak terkait untuk                 
"mengurus"-nya. Padahal, setidaknya, ada 30 situs! Lokasi-lokasi di mana situs  
               itu berada, kebanyakan sudah telanjur menjadi milik pribadi.
                 Hanya sejumput yang masih berstatus milik pemerintah. Salah 
satunya adalah areal di                 mana kini berdiri SD Inpres, Bukit 
Kordon, Dago Pakar. "Sebenarnya, lokasi yang                 menjadi situs itu 
adalah Bukit Kordon secara keseluruhan. Tetapi, kini, hampir semuanya           
      sudah menjadi milik pribadi. Satu-satunya yang masih milik pemerintah, ya 
SD Inpres                 itu. Meski tinggal secuil, saya kira pemerintah perlu 
mengambil tindakan untuk                 'mengamankan' situs itu, daripada 
tidak sama sekali. Dengan merelokasi bangunan SD dan                 perumahan 
guru, misalnya. Tetapi, sejauh ini, kelihatannya, kok enggak ada                
 perhatian. Padahal, Kordon ini merupakan situs yang bendanya jelas ada, dari 
berbagai                 zaman. Inilah yang saya enggak ngerti," ungkap mantan 
Guru Besar Geologi ITB,                 Prof. Dr. R. P. Koesoemadinata ketika 
ditemui di kediamannya, Jln. Ciburial Bandung, Kamis      
           lalu.
                 Temuan ahli yang menyebutkan bahwa daerah-daerah di Bandung 
Utara hingga timur laut                 kaya akan peninggalan leluhur, 
khususnya artefak, sebenarnya sudah lama dimunculkan. 
                 Koesoema sendiri pernah menulis hal tersebut di "PR", Minggu 
tanggal 22 April                 1979, beberapa tahun sebelum SD Inpres 
dibangun. "Sekarang, malah kawasan tersebut                 sudah sangat padat. 
Saya jadi bertanya, sebenarnya, situs-situs itu dianggap penting, enggak        
         sih," tuturnya.
                 Keberadaan situs itu, khususnya di Bukit Kordon, pertama kali 
diketahui pada permulaan                 abad XX oleh Dinas Pertambangan zaman 
Belanda. Sementara, studi dan publikasi pertama                 dilakukan Dr. 
G. H. R. Von Koenigswald (1935) melalui Tijdschrift voor Indische              
   Taal, Land and Volkenkunde dan kemudian dilanjutkan oleh seorang birokrat 
asal Swiss,                 Werner Rothpletz (1951) melalui Sudsee Studien, 
Basel Museum fur Volkerkunde.                 "Keduanya berpendapat, sepanjang 
bentangan utara-timur laut itu, terdapat situs-situs                 yang 
berasal dari zaman Mikrolithikum (Palaeolithikum-red.), zaman Neolithikum,      
           zaman perunggu, zaman besi, bahkan tinggalan abad ke-11 hingga 
ke-18. Rothpletz merinci,                 setidaknya terdapat 30 situs di 
sepanjang daerah tersebut," jelas Prof. Dr. R. P.                 
Koesoemadinata. 
                 Situs-situs dimaksud adalah Bukit Dago KQ 380, Pasirsoang 
Utara, Pasirsoang Selatan,                 Bukit Cikebi, Bukit Goleah-2 timur 
laut, Bukit 500 m barat pasir Goleah, Bukit Goleah-1                 barat daya 
Ciharalang, Pasir Goleah (KQ 279), Bukit Tugu-2 Barat, Bukit Kiarajanggot       
          (Cicatur), Pasir Honje (Cimuncang), Bukit Pasirlayung Barat, Bukit 
Pasirlayung-2 timur                 laut, Bukit Cimenyan Selatan, Bukit 
Cimenyan Utara, Pasir Panyandakan Barat Laut, Pasir                 Panyandakan 
(KQ 273), bukit di timur Desa Panyandakan, bukit di barat daya KQ 281,          
       Kandangsapi Barat dan Singkur Barat, bukit di Barat Daya KQ 282 dan 
utara Cikadut, Teras                 utara Pabrik Arjasari, Bukit dekat 
Sekekandang, Bukit KQ 268 (Cibentar), Bukit Jatiluhur,                 
Sekebunar dan Cigiringsing, bukit utara Babakan Canjur, Pasir Luhur (bukit 
tengah), Pasir                 Luhur (bukit barat laut dan timur laut), Pasir 
Luhur
 (Barat Daya dan bukit depan), Bukit                 Cinangka-2 Barat, Bukit di 
Timur Laut Pasir Pongkor.
                 Pernyataan von Koenigswald itu bukan tanpa dasar, juga 
Rothpletz. Di wilayah itu, von                 Koenigswald menemukan artefak 
berbagai jenis, seperti pfeil spitzen (ujung anak                 panah), quer 
spitzen (ujung melintang), messer (pisau), schaber                 (penyerut), 
stichel (jarum, penindis), kratzer (penggaruk), bohrer                 (pembuat 
lubang), scheibenspalter (pahat?), beile (kapak), stampfer                 
(penumbuk), armringe (gelang tangan), dan schleifsteine (batu asah)
                 Demikian halnya dengan Werner Rothpletz. Dia menemukan 
berbagai artefak, kecuali obsidian,                 seperti geschliffene 
dteinbeilklingen (kapak batu yang terasah), schleif-und                 
poliersteine usw (batu asah, batu poles, dan sejenisnya), topfscherben          
       (serpihan tembikar), keramik dalam negeri, gussformen (bentuk-bentuk 
cetakan cor                 logam), eisengegenstande und schlacken (benda besi 
dan slak), bronzegegenstande                 (benda-benda perunggu), karneol 
und glasperelen (karneol dan manik-manik gelas),                 serta keramik 
impor dari Cina dan India abad ke-9 hingga ke-18.
                 Tak hanya itu, von Koenigswald dan Rothpletz juga meneliti 
keadaan rupa bumi di sekitar                 situs penemuan. Hasil 
penelitiannya memperlihatkan bahwa situs-situs itu adalah tempat                
 permukiman purba yang dilengkapi parit-parit buatan dan benteng dari tanah 
yang                 merupakan usaha pertahanan terhadap musuh. Diperkirakan, 
permukiman kuno itu rumah                 panggung (di atas tonggak). Kenyataan 
tersebut berselaras dengan ungkapan orang Sunda, pasir                 diawian, 
legok dibalongan, dataran disawahan. 
                 Berdasarkan penelusuran kepustakaan, permulaan "permukiman 
purba" di                 bentangan utara-timur laut Kota Bandung itu terjadi 
setelah terbentuknya gunung Sunda,                 kira-kira 1,2 hingga 2 juta 
tahun lampau. Gunung berketinggian 3.000 meter dpl itu runtuh                 
lalu membentuk kaldera serta terjadinya pematahan ke-1 Sesar Lembang. Di dalam 
kaldera                 itu, muncullah Gunung Tangkubanparahu. "Dalam pandangan 
van Bemmelen, ini disebut Kwarter                 Tua," kata Koesoema.
                 Kira-kira 500 ribu tahun lalu, Gunung Tangkubanparahu pun 
meletus, mengalirkan lava                 sehingga menutup aliran Sungai 
Citarum. Aliran lava itu juga membenamkan sebagian daerah                 di 
sebelah barat Sungai Cikapundung. "Muncullah Danau Bandung. Akan tetapi, karena 
                patah, daerah utara-timur laut menjadi tinggi sehingga tak 
terkena aliran lava, juga tak                 tenggelam. Di pinggir danau 
itulah nenek moyang urang Sunda berdiam. Buktinya,                 hampir 
semua artefak ditemukan di wilayah cokelat pada peta," tuturnya. 
                 Ditengarai, nenek moyang urang Sunda menyaksikan semua 
kejadian itu. Diduga                 pula, kata "Sunda" berasal dari 
kejadian-kejadian itu. Mereka menyaksikan abu                 putih (cuddha) 
yang menyelimuti daerah sekitar Tangkubanparahu. "Sampai                 
sekarang, warna putih pada tebing-tebing bukit kan masih bisa disaksikan. Itu   
              sebenarnya abu putih hasil letusan gunung di masa lampau," ucap 
Koesoema.
                 Yang menarik, artefak paling tua yang ditemukan adalah 
batu-batu obsidian. Batu-batu                 serupa kaca itu dibentuk berbagai 
rupa, seperti mata panah, jarum, dan pisau. Usut punya                 usut, 
batu itu terdapat di Gunung Kendan (dekat Nagreg) dan Gunung Kiamis (Garut).    
             "Batuan tersebut termasuk jarang ditemukan di Indonesia, juga di 
dunia. Lantas,                 kenapa batu itu bisa ditemukan di Kordon. 
Padahal, Gunung Kendan dan Kiamis terdapat di                 tenggara Kota 
Bandung sekarang, terpisahkan oleh danau. Nah, kemungkinan besar,               
  waktu itu sudah terjadi perdagangan lewat danau. Orang-orang sudah berlayar," 
                ujarnya.
                 Satu hal yang juga penting, di bukit Kordon, turut ditemukan 
bukti-bukti bahwa nenek                 moyang urang Sunda pernah melakukan 
pengecoran perunggu. Lantas, dari mana                 tembaga dan timah 
(bahan campuran untuk membuat perunggu,-Red.) berasal? Mengingat,               
  perunggu tak ditemukan di wilayah sekitar Bandung. "Besar kemungkinan, 
dahulu, mereka                 sudah memiliki hubungan dengan dunia luar. Entah 
itu daerah Bangka, Thailand, atau                 negeri-negeri lainnya," kata 
Koesoema.
                 Soal kapan berlangsungnya impor barang tambang dari "luar", 
itulah yang                 menjadi pertanyaan. Apakah ketika Bandung masih 
berupa danau atau ketika air danau sudah                 kering. "Akan tetapi, 
jika menilik kepada periodisasi, kemungkinan impor barang                 
tambang--timah dan tembaga--itu terjadi melalui Sungai Citarum, ketika danau 
Bandung sudah                 kering. Soalnya, zaman perunggu kan hanya 1.000 
tahun yang lalu," demikian                 Koesoemadinata. 
                 Dengan demikian, situs KQ 380 itu menyimpan sejarah dalam 
jangka waktu yang sangat                 panjang. Mungkin dari puluhan ribu 
tahun, ketika danau masih ada, sampai ke zaman Hindu.                 "Di situ, 
kelihatannya, terus menerus dihuni. Di sana, kita juga mendapatkan benda        
         prasejarah dari berbagai zaman, mulai dari Mikrolithikum 
(palaeolithikum), Neolithikum,                 perunggu, besi, bahkan zaman 
Hindu. Kita temukan manik-manik dan keramik dari zaman Hindu                 
dan zaman Dinasti Ming," paparnya. Dan kini, dengan cepat, kawasan tersebut 
berubah.                 Menjadi huma, menjadi kebun, bahkan menjadi real 
estate.(Hazmirullah/"PR")***
 

                        
---------------------------------
Yahoo! Photos
 Got holiday prints? See all the ways to get quality prints in your hands ASAP.

[Non-text portions of this message have been removed]



http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke