Semangat, Idealisme, Cinta...

PT Manglè Madjalah Bahasa Sunda. Itulah nama yang tertera pada kaca
gedung yang beralamat di Jalan Lodaya Nomor 19, Bandung. Bangunan
tersebut merupakan kantor majalah Mangle, media berbahasa Sunda yang
muncul sejak 19 November 1957.

Foto pendiri Mangle, antara lain Wahyu Wibisana, Sukanda Kartasasmita,
dan Rohamina Sudarmika, menghiasi dinding ruang tamunya.

Lain halnya jika kita singgah di Jalan Karawitan Nomor 46, Bandung.
Rumah yang terletak di situ adalah kantor redaksi dan sirkulasi
majalah Cupumanik.

Bisa jadi tidak banyak orang tahu rumah kontrakan itu berfungsi
sebagai kantor dari tiga lembaga yang berbeda. Sebuah penerbit buku,
PT Kiblat Buku Utama, majalah Cupumanik, dan Pusat Studi Sunda
berkantor di sana.

Tidak mengherankan jika pemimpin redaksi Cupumanik harus berbagi meja
dengan ketua pusat studi Sunda. Bahkan, dalam keterbatasan seperti itu
sirkulasi majalah yang pertama kali terbit tahun 2002 itu pun harus
lapang dada menempati ruangan yang sebenarnya adalah dapur.

Jika Cupumanik berkantor di rumah kontrakan, kantor majalah Sunda
Midang dan Seni Budaya terletak di rumah pemimpin redaksinya. Ya
rumah, ya kantor.

Akar sejarah

Itulah potret kecil kantor media berbahasa Sunda saat ini. Berbagai
keterbatasan mulai dari kantor hingga oplah seolah menjadi teman
sehari-hari.

Keberadaan media berbahasa Sunda tidak lepas dari sejarah pers di Jawa
Barat satu abad silam. Sejak 1887 tercatat sedikitnya 173 media massa,
termasuk koran, majalah, dan tabloid, baik berbahasa Belanda, Melayu,
Indonesia, maupun Sunda, pernah terbit di Jawa Barat.

Dalam kurun 1911-2004 media Sunda sendiri sedikitnya 60 media, mulai
dari Tjahaja Pasoendan di Cianjur hingga Sunda Midang di Bandung.

Walaupun pers Sunda memiliki akar sejarah panjang, kenyataannya tidak
banyak yang bisa bertahan. Misalnya, majalah Tjahaja Pasoendan, Papaes
Nonoman, Tjandra, Langensari, Baranangsiang, Gondewa, tabloid Utusan
Sunda, serta surat kabar Sipatahoenan dan Padjadjaran. Mangle contoh
media yang hingga kini masih bertahan.

Media yang kolaps pun ada yang kembali terbit, tetapi dengan manajemen
yang baru, misalnya Kalawarta Kujang yang sejak tahun 2005 berubah
nama menjadi Kujang.

Di samping itu, menurut Pemimpin Redaksi Cupumanik Hawe Setiawan, ada
kecenderungan positif pascareformasi 1998, yaitu munculnya media
berbahasa Sunda baru. Contohnya, Cupumanik dan Sunda Midang.

Pada kenyataannya sebagian besar media Sunda, terutama yang tidak
dikelola profesional, terseok-seok menghadapi persaingan bisnis media.
Secara umum, keterbatasan sumber daya manusia dan dukungan modal
menjadi hambatan utama. Iklan yang semestinya menjadi penyokong
produksi tidak menjamin karena jumlahnya sedikit.

"Media Sunda masih bermodal semangat. Sumber daya manusia yang ada
kurang. Itu pun masih banyak yang hanya sambilan. Modalnya kecil dan
belum dilirik investor dan biro iklan. Akhirnya, media Sunda kini
lebih banyak dikelola orang-orang yang memang mencintai bahasa dan
sastra Sunda," tutur Hawe.

Sulitnya mencari sumber daya manusia juga dirasakan Oedjang
Daradjatoen, Pemimpin Umum Majalah Mangle. "Masih jarang orang yang
memiliki dua kemampuan sekaligus, bahasa Indonesia dan Sunda, yang
siap pakai di media Sunda," katanya.

Pengelola media Sunda terpaksa merekrut kontributor dari penulis lepas
yang ada dengan imbalan pas-pasan.

Meski demikian, rasa cinta terhadap bahasa dan sastra tetap menjadi
motivasi yang kuat bagi para pengelola media Sunda yang sedikit itu.
Walaupun oplah umumnya tidak lebih dari 5.000 eksemplar, dedikasi dan
pengorbanan mereka untuk menyuguhkan berita bagi pembaca setianya
patut diacungi jempol.

Sebut saja majalah Seni Budaya (dulu Swara Cangkurileung), kini
tersengal-sengal. Pemimpin Redaksi Seni Budaya Tatang Benyamin Koswara
berkata, "Rencananya bulan Februari Seni Budaya bubar. Tapi ya enggak
tahu, lihat nanti saja."

Bagi hampir seluruh pengelola Seni Budaya, pekerjaan mengurus majalah
hanyalah sambilan. Di luar itu ada yang jadi guru, seniman, dan ada
pula yang menjadi juru potret keliling. Mereka bahkan tidak jarang
merogoh kocek sendiri untuk membiayai proses produksi majalah.

Dalam rekaman sejarah, media massa Sunda banyak yang berumur pendek,
kecuali media organisasi pergerakan. Ini bisa dipahami karena
keberlangsungan sebuah media mesti disokong dana yang tidak sedikit
secara konstan. Dalam bisnis media idealisme saja tidak cukup. (D11)






http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke