Cara Vulgar Berkomunikasi

Tulus Sudarto

Tak pernah diduga sebelumnya demonstrasi menjadi prioritas pilihan
dalam menyampaikan pesan. Mungkin kisah gemilang para mahasiswa yang
mampu menggulingkan rezim Soeharto dianggap sebagai mercusuar
sekaligus rahim genealogis demonstrasi. Kini, tiada hari tanpa
demonstrasi.

Ambil dua contoh: demonstrasi buruh di Surabaya dan aksi korban SUTET
(Kompas, 20/1). Tidak sekadar kumpul, teriak, dan menyanyikan yel-yel,
para pendemo secara efektif memperlihatkan potret fotogenik kondisi
sosial terkini yang membuat miris.

Betapa tidak? Sebuah truk dipakai untuk mendobrak pagar yang dikawal
polisi. Satu orang terpelanting jatuh dari atas truk. Sementara dalam
spot kasus SUTET, beberapa menjahit mulut sebagai protes. Yang lain
naik menara jaringan listrik, mempreteli baut, membalut dengan kain,
dan membakarnya.

Mau tak mau, fenomena tersebut menghadirkan diri sebagai teks
banalitas kekerasan demonstrasi vis-a-vis hermeneutika eksistensial.
Kita perlu memeriksa kembali beberapa butir fundamental berkenaan
dengan epistemologi sosiologis. Jangan-jangan ada kesesatan elementer
yang mengganggu karena tidak lepas dari pola-pola stereotipal dan
judgmental selama ini.

Logika hati

Display yang menjadi konsumsi media cenderung menggiring demonstrasi
pada asumsi negatif. Demo berarti kasar, sesekali disertai kekerasan
dan kurang beradab. Selimut religius bahkan melabeli para pendemo
sebagai mereka yang tidak bisa menerima anugerah dari Sang Khalik.

Bahasa politik, dan sering kali akademik, mengidentifikasi demonstrasi
sebagai cara irasional. Para pendemo adalah mereka yang tidak bisa
diajak berbicara baik-baik, tidak bisa ditata dan berembuk secara
damai. Pihak yang didemo telanjur sinis melihat demonstrasi dalam blok
hitam penilaian.

Demonstrasi identik dengan protes dan waton sulaya (asal komplain).
Orang yang waton sulaya diandaikan tidak berpikir panjang, apalagi
kritis. Frase ini dipakai secara efektif oleh Soeharto untuk meredam
berbagai gejolak ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya. Pendekatan
ideologis menjadi sangat afdal mengingat cara tersebut merupakan
proyek pembodohan massal yang tersistem.

Tak ayal, sekian lama stereotipe itu mengiringi setiap bentuk
demonstrasi. Baru setelah memperoleh capaian spektakuler keruntuhan
Orde Baru, demo menjadi pilihan paling strategis yang populer. Banyak
pihak memakainya sebagai opsi.

Dan sekarang, demonstrasi tidak lagi berurusan dengan ideologi.
Mengikuti alur pikir Marxian, berbagai nilai ideologis (suprastruktur)
murni gimmick konsumsi kelas menengah. Demonstrasi telah menjadi cara
natural yang dipakai oleh kelas proletar karena desakan ekonomi
(infrastruktur).

Alternatif perundingan damai condong berujung nihil. Kemampuan
diplomatis yang lemah membuat si penyampai pesan tidak menemukan
penyelesaian yang memuaskan. Kubu pengusaha ataupun penentu keputusan
senantiasa menjadi pihak yang tertawa paling akhir.

Di sinilah letak magma perselingkuhan antara pengetahuan dan
kekuasaan. Siapa yang mengetahui lebih banyak dialah yang berhak untuk
bicara. Dengan kata lain, hanya mereka yang terpelajar yang berhak
memegang mikrofon kekuasaan. Adagium Bacon berlaku, bahwa pengetahuan
juga tak luput memiliki 'hasrat kekuasaan'.

Jauh di luar jangkauan elitisme keilmuan, secara kategoris sebetulnya
identitas ekonomis dari demonstrasi telah bergeser ke identitas
kultural. Blaise Pascal menyebut bahwa hati memiliki logika sendiri.
Dalam ranah rasionalitas pendemo, yaitu kaum tertindas (the opressed),
suara mereka tidak akan didengar lewat diplomasi apa pun. Tidak
terasah dalam hal diplomasi, mereka mengikuti nurani politik lewat
demonstrasi.

Para pendemo memang tidak memiliki kata-kata plastis yang dibutuhkan
dalam rangka tawar-menawar kebijakan. Oleh minimnya akses pendidikan,
mereka tidak mampu berlipat lekuk dalam busa perundingan.

Dari sananya palu kultural yang diletakkan pada mereka adalah kaum
resisten. Sebutan 'resisten' terdengar mentereng, berbau ilmiah dan
meyakinkan. Namun, sebetulnya bias dari kata tersebut memberi marka
tegas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya rendah (low culture).

Pada intinya, para pendemo adalah golongan masyarakat berbudaya
rendah. Stratifikasi ini dipatok oleh kelas menengah. Padahal, apa
yang irasional menurut takaran akademik merupakan representasi dari
kinerja hati itu sendiri.

Indikator bias demarkasi budaya tinggi lawan budaya rendah tersebut
juga tampak dalam analisis tentang kemungkinan adanya provokator.
Bahwa masyarakat memiliki cara-cara cerdas dalam menyampaikan pesan,
tak urung menuai rasa penasaran jangan-jangan memang ada seorang
penggagas di balik itu. Orde Baru punya kata mewah, yaitu aktor
intelektual (maksudnya autor intelektual).

Pertanyaan ini jelas-jelas diskriminatif. Pertama, masyarakat masih
dipandang terlalu bodoh untuk melakukan aksi brilian tersebut.
Masyarakat juga dianggap belum melek politik. Kedua, masyarakat
dianggap amorf. Masyarakat seperti sekumpulan massa yang beringas,
mudah digerakkan oleh sedikit isu panas, dan tidak berpikir panjang.

Sebaliknya, masyarakat memiliki bahasa sosial yang mengejutkan. Oleh
Indra Tranggono, fenomena tersebut murni merupakan representasi
realitas dramatik (Kompas, 22/1).

Tindakan komunikasional

Dalam esainya yang berjudul "Postmodernism and Politics" (2002), Iain
Hamilton Grant menguraikan pergeseran signifikan karakter politik dari
modernisme ke posmodernisme. Modernisme yang ditandai dengan arus
utama isu politik dan mengabdi pada ketunggalan makna, bergeser
menjadi narasi kecil dalam posmodernisme.

Isu-isu mikropolitik menjadi textbook perjuangan. Politik spesifikasi
permasalahan (single-issue politics) menjadi anggaran dasar gerakan.
Yang menjadi kredo adalah permasalahan sensitif sekitar etnisitas,
kelas, standar hidup, jender, keluarga, kekerasan anak, dan
seksualitas. Perjuangan kelas mencirikan iklim posmodern.

Dunia posmodern memang menyediakan perbedaan (Baudrillard:
differance). Hal ini secara intensif membuka kemungkinan
selebar-lebarnya bagi kaum tertindas untuk menyuarakan perjuangan
melawan kaum penindas mereka.

Dalam paparan Juergen Habermas, perjuangan tersebut merupakan tindakan
komunikasional. Aksi komunikatif dilakukan khususnya terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang tak adil.

Masivitas keprihatinan telah merasuk dalam sebagai spirit yang
menggerakkan untuk mengambil sikap tertentu. Masyarakat tak lagi bisa
mengandalkan negara untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Akumulasi keprihatinan membuncah keluar. Masyarakat ambil bagian
dengan menunjukkan tanggung jawab sosial mereka.

Dalam kacamata kaum elite, demonstrasi menjadi menyebalkan.
Demonstrasi digempur dengan berbagai stereotipe negatif sebagai sikap
yang kurang dewasa, liar, dan reaksioner. Kekuatan dan diplomasi yang
dimiliki kaum elite sering kali membangun opini publik betapa
demonstrasi tidak bisa diterima sebagai bagian demokrasi.

Kata yang sebetulnya arogan dipakai untuk menandai perkembangan
demokrasi lewat fenomena demonstrasi adalah rasionalitas politik.
Dengan kata semegah itu, hendak dinyatakan bahwa apa yang dilakukan
para pengunjuk rasa melulu irasional dan tidak berdasar akal sehat.

Sebagai sebuah tindakan komunikatif, aksi tersebut tak akan efektif
kalau menerpa ruang vakum belaka. Tidak ada tanggapan lanjutan
merupakan bentuk kejahatan komunikasional.

Hermeneutika eksistensial

Bahwa masyarakat semakin berani dan tidak berpikir panjang, mungkin
ini bahasa kaum elite untuk melaksanakan proses kepatuhan. Ketika cara
halus tak bisa ditempuh, masyarakat menggunakan cara kasar yang
sesekali disertai kekerasan.

Tak satu pun pelaku demo yang membaca tulisan ini. Dan bisa saja kaum
akademisi disergap sejimpit kebanggaan diri dengan membanjiri aneka
teori muluk dalam menjepret fenomena tersebut.

Satu hal yang tercecer adalah kaum akademisi tidak pernah merasakan
betapa sulitnya mencari sesuap nasi. Kita tidak pernah harus
mempertaruhkan seperbagian hidup kita hanya untuk makan. Sangat
mungkin perbedaan tingkat hidup juga mencipta peluang penjajahan
sistemik berupa tata nilai ideologis yang mendasar. Mereka
berkomunikasi karena benturan hidup.

Dan ini memang melulu persoalan hidup, bukan sekadar gaya hidup.
Masyarakat betul-betul sedang bergulat 'apakah bisa makan atau tidak'.
Bukan 'hari ini makan di mana', atau 'hari ini makan siapa'. Cara
berkomunikasi mereka lahir dari teks kehidupan. Mereka melaksanakan
hermeneutika kontekstual.

Pemetaan ini bersifat paradigmatik daripada praktis. Dari sono-nya,
hermeneutika tekstual merujuk bahwa masyarakat itu massa yang
beringas, mudah disulut, dan irasional, mendapatkan antitesis faktual.
Dengan demikian, mungkin frase pergeseran paradigma menjadi sangat
relevan saat ini. Sedikitnya tidak sekadar menjadi lips service yang
menghiasi perbincangan sensasional belaka.

Tulus Sudarto
Rohaniwan, Mahasiswa Magister Teologi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta





http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke