Edy Prasetyono dan Hak Pilih Prajurit TNI

Wisnu Dewabrata

Kontroversi perlu tidaknya prajurit Tentara Nasional Indonesia ikut
memilih dalam pemilihan umum kembali mengemuka. Isu lama itu mencuat
pascapenghapusan perwakilan TNI dan Polri di legislatif sesuai amanat
agenda reformasi dan juga Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang
Peran TNI dan Polri.

Diawali pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto,
beberapa hari sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik
penggantinya, Marsekal Djoko Suyanto, yang meminta pemberian hak
politik itu tak lagi ditunda seperti Pemilu 2004. Kepada pers,
Endriartono mengaku merasa "berdosa" dengan keputusan penundaan itu.
Menurut dia, hak ikut memilih adalah juga hak asasi prajurit sebagai
warga negara. Hak untuk ikut terlibat dalam proses menentukan nasib
bangsa ke depan tanpa harus didiskriminasi.

Di tengah hiruk-pikuk pendapat, serta segala kekhawatiran tadi,
peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Edy
Prasetyono punya pertimbangan lain. Menurut pria kelahiran Jombang, 21
Maret 1964, yang juga pengamat militer dari kalangan "anak kolong"
itu, sah-sah saja prajurit memperoleh dan menggunakan hak pilih,
asalkan ada aturan main dan persyaratan yang ketat.

Edy, yang aktif mengajar di Sekolah Staf Komando TNI dan pascasarjana
Universitas Indonesia itu, berpendapat syarat ketat perlu untuk
mengunci segala pelanggaran yang dikhawatirkan muncul atau terjadi.
Berikut petikan perbincangan dengan Edy.

Di mana letak urgensi hak pilih prajurit TNI sekarang?

Kalau urgensi itu diartikan sebagai proses politik di mana tiap warga
negara diharapkan bisa ikut memengaruhi proses pembuatan kebijakan
melalui keterlibatan dalam pemilu, pelibatan prajurit TNI menjadi
tidak terlalu signifikan. Jumlah mereka tidak terlalu besar, sekitar
400.000 orang. Kalaupun dikonversikan, jumlah kursi yang diperoleh pun
tidak lebih dari satu sampai dua kursi.

Akan tetapi, jika dipandang dari sudut hak pilih sebagai hak warga
negara, maka urgensi pemberian hak suara bagi prajurit menjadi sangat
fundamental. Hak politik warga negara itu tidak boleh dikurangi, dalam
kondisi apa pun.

Bagaimana dengan kekhawatiran yang muncul?

Sebenarnya kekhawatiran seperti itu bisa kita kunci dengan aturan main
yang ketat sehingga dapat mencegah penyalahgunaan atau penyelewengan
yang ditakutkan. Namun, bukan TNI yang harus membuat persiapan,
melainkan eksekutif dan legislatif, yang punya kekuasaan politik
membuat aturan main.

TNI sendiri secara internal harus memperkuat doktrin mereka, terutama
yang melarang TNI untuk kembali masuk dalam politik praktis. Dengan
aturan ketat, diharapkan keterlibatan prajurit TNI dalam pemilu nanti
hanya sebatas datang, mencoblos, lalu pulang ke rumah. Titik.

Aturan mainnya bagaimana?

Aturan main itu harus sangat rinci. Misalnya, tata tertib atau tata
cara memilih. Prajurit harus memilih dan berbaur di tempat pemungutan
suara (TPS) di lingkungan masyarakat mereka tinggal. Harus ada
larangan pendirian TPS-TPS di kompleks atau instansi militer. Kompleks
militer harus bersih dari simbol partai. Juga harus ada larangan
prajurit TNI datang ke TPS memakai seragam atau pakaian dinas. Perlu
diatur misalnya, pencoblosan ditetapkan sebagai hari libur sehingga
tidak ada alasan prajurit datang ke TPS dengan memakai seragam.

Prajurit juga harus dilarang terlibat dalam kampanye atau kegiatan
seputar pemilu. Namun, perlu dipikirkan bagaimana dengan keluarga atau
anak si prajurit, yang kebetulan membawa simbol parpol ke rumah,
sementara mereka tinggal di kompleks militer.

Semua bentuk aturan main itu hanya satu tujuannya, yaitu agar parpol
tidak mencoba menarik-narik militer agar mendukung mereka, dengan
jalan pendekatan perseorangan ataupun secara lembaga, atau dengan
membawa-bawa lambang TNI.

Dengan begitu, tidak perlu lagi ada kekhawatiran masyarakat akan
mengidentikkan satu kompleks atau kesatuan militer dengan parpol anu
atau menyebut, misalnya, batalyon anu sebagai batalyonnya parpol anu.

Ada jaminan aturan main ketat bisa mencegah ekses negatif ?

Yang namanya jaminan tidak akan pernah ada. Sama halnya dengan pegawai
negeri sipil (PNS). Apa ada jaminan mereka bisa netral? Kita tidak
pernah tahu kok. Walau begitu, tetap bangsa ini harus sanggup membuat
suatu terobosan.

Jika terus-menerus takut dan menunda-nunda, orang lain akan
mempertanyakan mengapa di Indonesia ada diskriminasi terhadap warga
negaranya sendiri. Belum lagi jika TNI telanjur merasa tidak menjadi
bagian dari proses penentuan masa depan dan nasib bangsa. Jika hal itu
terjadi, mereka (TNI) justru akan menjadi satu kekuatan, yang terlalu
independen, sementara di sisi lain mereka merasa tidak pernah menjadi
bagian dalam proses (bernegara) itu.

Lagi pula, jika pada pemilu kemarin kita bisa mengatur sekian ratus
juta penduduk dengan berbagai latar belakang dan permasalahan, lantas
mengapa sekarang kita tidak berani mencoba mengatur prajurit TNI yang
jumlahnya hanya beberapa ratus ribu orang saja itu?

Jangan sampai karena masalah hak pilih, hubungan sipil-militer jadi
bermasalah, terutama karena tidak ada lagi kepercayaan di antara
keduanya. Sejumlah kekhawatiran yang muncul sekarang sebenarnya
menunjukkan ketiadaan trust tadi, terutama di kalangan sipil.

Dengan memberi kepercayaan kepada militer, kepercayaan antara kedua
pihak dapat dibangun kembali. Adanya kepercayaan antara kedua pihak
sekaligus menunjukkan kematangan sistem politik dalam mengakomodasi
aspirasi maupun kepentingan politik individual militer.

Dengan begitu, ada dua hal yang dapat dilambangkan jika persoalan ini
bisa kita atasi. Pertama, trust antara sipil-militer, dan kedua
menunjukkan kematangan sistem politik.

Apakah TNI siap memilih?

Begini saja, saya sering membuat perbandingan. Pada tahun 1940-an,
tidak lama setelah Indonesia merdeka, rakyat terbagi dalam arti
ideologis ditambah dengan banyaknya jumlah parpol. Sangat mudah
menentukan apa ideologi seseorang saat itu.

Begitu pula pada tahun 1950-an. Namun, pada masa itu kita berani
menjalankan proses pemilu (1955) di mana TNI pun juga terlibat aktif
(ikut memilih). Kan tidak ada masalah saat itu.

Contoh kedua saat pemilu langsung 2004, yang diikuti pemilihan kepala
daerah (pilkada) langsung. Sejumlah anggota TNI ikut mencalonkan diri
untuk dipilih dalam pilkada di beberapa daerah. Perundang-undangannya
memang memungkinkan.

Coba lihat, berapa banyak dari mereka yang mencalonkan itu menang
(dalam pilkada)? Enggak ada kan? Padahal, logikanya, karena mereka
dipilih berarti mereka harus menghimpun kekuatan untuk menang. Apalagi
sekarang, yang cuma diberi hak untuk ikut memilih. Saya rasa tidak ada
pengaruh apa-apa.

Lagi pula, kalaupun parpol mau mendekati TNI, jumlah suara yang dapat
diperoleh dari mereka tidak signifikan, hanya sekitar 400.000 orang.
Jumlahnya enggak banyak kok.

Yang namanya garis/struktur komando kan tetap ada?

Nah, justru di situlah letak kesalahpahamannya. Struktur komando tidak
terkait dengan masalah ideologi. Dari apa yang pernah diwartakan
Kompas beberapa waktu lalu, tampak beberapa prajurit TNI mengaku sudah
punya pilihan sendiri jika boleh ikut pemilu. Mereka mengaku tak takut
berbeda dengan atasan karena toh proses pemilihan kan sifatnya rahasia.

Dari sana kan bisa kita lihat persoalan garis komando bisa
dinetralisasi. Caranya ya itu tadi, dengan membuat aturan main ketat.
Selain itu, perlu juga ada semacam penelitian atau observasi internal
di TNI untuk menilai seberapa besar minat para prajurit ikut memilih
dalam pemilu dan apa harapan sekaligus preferensi politik mereka.
Preferensi politik bukan dalam artian parpol apa yang akan mereka
pilih, melainkan apakah mereka sudah relatif bebas dari hasrat atau
ambisi atasan mereka.

Panglima TNI minta waktu untuk mengkaji tingkat kesiapan UU, prajurit,
dan parpol. Komentar Anda?

Ketiga hal itu harus dikaji bersamaan. Pertama, perangkat UU harus
diubah karena memang harus ada kerangka legalnya. Ini bukan hal berat
untuk dilakukan. Kalau ada niat, pastinya bisa.

Yang saya anggap jauh lebih urgen adalah kesiapan internal TNI dan
kedewasaan parpol. Untuk kesiapan prajurit, jangan diterjemahkan
terkait tingkat kesejahteraannya. Kalau begitu berpikirnya, berarti
sampai kapan pun warga negara miskin tidak boleh ikut pemilu, dong.
Jadi, yang penting adalah bagaimana mempersiapkan prajurit menghadapi
proses politik yang akan menentukan kehidupan mereka di masa mendatang
dan bagaimana mereka dapat memberi warna terhadap proses itu.

Sedangkan soal kedewasaan parpol, itu yang justru agak berat, dalam
artian kekhawatiran akan munculnya perpecahan (di tubuh TNI) dan
mereka tergoda untuk masuk memang selalu ada. Sekarang tinggal
dilihat, siapa yang justru tergoda untuk memanfaatkan. Jangan-jangan
yang tergoda malah parpol sipilnya. Jangan-jangan semua isu yang
terlontar itu justru karena parpol yang tidak bisa menahan godaan
untuk merangkul militer.

Kalau betul begitu, maka benar sinyalemen Pak Juwono Sudarsono
(Menteri Pertahanan), parpol banyak yang belum dewasa. Justru itu
menjadi ujian bagi reformasi. Seberapa jauh parpol bisa menahan diri
untuk tidak lagi menarik-narik TNI setelah prajurit diberi hak pilih.






http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke