Sampurasun,

Hatur lumayang sakadar coel sambel bari ngasuh si bungu...(kengen di
situs tatanggi...)

 
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 
Menimbang : 
a. Bahwa negara Republik Indonesia  merupakan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila yang lebih mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan Pribadi;
                           
b. Bahwa untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang
serasi dan harmonis dalam keanekaragaman suku, agama, ras, dan
golongan/kelompok, perlu adanya sikap dan perilaku masyarakat yang
dilandasi moral, etika, akhlak yang mulia, dan kepribadian luhur yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Bahwa meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi dalam masyarakat dapat mengancam kelestarian tatanan
kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa;
d. Bahwa Peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini
belum secara tegas mendefinisikan pornografi sebagai pedoman dalam
upaya penegakan hukum untuk tujuan melestarikan tatanan kehidupan
masyarakat;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d diatas, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Anti Pornografi;
 
Mengingat:      
1. Pasal 20 ayat (1), Pasa 21, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa;
 
Dengan Persetujuan Bersama
 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
 
MEMUTUSKAN :
 
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ANTI PORNOGRAFI
BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
 
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pornografi adalah subtansi dalam media atau alat komunikasi yang
dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tentang seks dengan cara
mengeksploitasi seks, kecabulan, dan/atau erotika.
Media massa cetak adalah alat atau sarana penyampaian informasi dan
pesan-pesan secara visual kepada masyarakat luas berupa barang-barang
cetakan massal antara lain buku, suratkabar, majalah, dan tabloid.
Media massa elektronik adalah alat atau sarana penyampaian informasi
dan pesan-pesan secara audio dan/atau visual kepada masyarakat luas
antara lain berupa radio, televisi, film, dan yang dipersamakan dengan
film.
Alat komunikasi media adalah sarana penyampaian informasi dan
pesan-pesan secara audio dan/atau visual kepada satu orang dan/atau
seumlah orang tertentu antara lain berupa telepon, surat, pamflet,
leaflet, booklet, selembaran, poster, dan media elektronik baru yang
berbasis komputer seperti internet dan intranet.
Iklan komersial adalah isi media yang mempromosikan sesuatu barang
atau jasa dengan tujuan akhir mencari keuntungan finansial.
Iklan layanan masyarakat adalah isi media yang mempromosikan sesuatu
sebagai bentuk pemberian layanan kepada masyarakat.
Barang pornografi adalah buku, suratkabar, majalah, tabloid dan media
cetak sejenisnya, film, dan/atau yang dipersamakan dengan film,
seperti video, video compact Disc, Digital Video Disc, Compact Disc,
Personal Computer-Computer Disc Read Only Memory, dan kaset, yang
materinya mengandung sifat pornografi.
 
Jasa Pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang dapat
diperoleh antara lain melalui saluran telepon, televisi kabel,
internet, dan alat komunikasi elektronik lainnya dengan cara pesanan
atau berlangganan, serta layanan pornografi berupa barang-barang
pornografi yang dapat diperoleh secara langsung dengan cara menyewa.
Membuat adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan memproduksi materi
media massa cetak, media massa elektronik, media media komunikasi
lainnya, dan memproduksi barang-barang pornografi.
Menyebarluaskan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan mengedarkan
materi media massa cetak, media massa elektronik, media media
komunikasi lainnya, dan mengedarkan komunikasi lainnya, dan
mengedarkan barang-barang yang mengandung sifat pornografi dengan
cara memperdagangkan, memperlihatkan, memperdengarkan, mempertontonkan,
mempertunjukkan, menyiarkan, menempelkan dan/atau menuliskan.
Menggunakan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan memakai materi
media massa cetak, media massa elektronik, media media komunikasi
lainnya, dan memakai barang-barang pornografi.
Badan keagamaan adalah lembaga kemasyarakatan yang berfungsi melakukan
pembinaan Umat Beragama, seperti Majelis Ulama Indonesia, Konferensi
Waligereja Indonesia, Persatuan Gereja Indonesia, Parisadha Hindu
Dharma Indonesia, Wali Umat Budha Indonesia, dan lembaga sejenis yang
diakui sah keberadaannya di Indonesia  
Setiap orang adalah orang perseorangan, perusahaan, atau distributor
sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik berupa
badan hukum maupun bukan badan hukum. Pemerintah adalah Menteri atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Presiden.
 
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
 
Pasal 2
 
Pelarangan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi berasaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa dengan memperhatikan nilai-nilai  budaya, susila dan moral yang
dianut oleh masyarakat, keadilan, perlindungan hukum, dan kepastian
hukum.
 
Pasal 3
 
Pelarangan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi bertujuan memberikan perlindungan, pembinaan, dan
pendidikan moral dan akhlak masyarakat dengan menjunjung tinggi harkat
dan martabat  manusia dalam rangka membentuk masyarakat yang
berkepribadian luhur, beriman, dan bertaqwa  kepada Tuhan Yang maha
Esa.
 
BAB III
PELARANGAN PORNOGRAFI
 
Pasal 4
 
Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan
pornografi dalam media massa cetak, media massa elektronik, dan alat
komunikasi media.
 
Pasal 5
 
Setiap orang dilarang dengan sengaja menjadikan diri sebagai model
atau obyek pembuatan pornografi.
 
Pasal 6
 
Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan mengunakan jasa
pornografi.
 
Pasal 7
 
Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan karya
seni yang mengandung sifat pornografi di media massa cetak, media
massa elektronik, atau alat komunikasi media, dan yang berada di
tempat-tempat umum yang bukan dimaksudkan sebagai tempat pertunjukan
karya-karya seni.
BAB IV
PENGECUALIAN PORNOGRAFI
 
Pasal 8
 
(1) Pembuatan, Penyebarluasan, dan penggunaan pornografi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, Pasal 6, atau Pasal 7 dikecualikan
untuk tujuan pendidikan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi
pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada lembaga
riset atau lembaga pendidikan yang bidang keilmuannya bertujuan untuk
pengembanagn pengetahuan.
 
Pasal 9
 
(1) Penggunaan barang pornografi dapat dilakukan untuk keperluan
pengobatan gangguan kesehatan.
 
(2) Penggunaan barang pornografi untuk keperluan gangguan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapatkan
rekomendasi dari dokter, rumah sakit dan/atau lembaga kesehatan yang
mendapatkan ijin dari Pemerintah.
 
BAB V
PERIZINAN
 
Pasal 10
 
(1) Pemerintah memberikan izin kepada setiap orang untuk mengimpor dan
menyebarluaskan barang pornografi dalam media cetak
dan/atau media elektronik untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 dan pasal 9.
(2) Setiap orang yang melakukan Penyebarluaskan barang dalam
media cetak dan/atau media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan denga memenuhi syarat:
a. Penjualan barang dan/atau jasa pornografi hanya dilakukan
oleh badan-badan usaha yang memiliki izin khusus;
b. Penjualan barang dan/atau jasa pornografi secara langsung
hanya dilakukan di tempat-tempat tertentu dengan tanda khusus;
c. Penjualan barang pornografi dilakukan dalam bungkus rapat
dengan kemasan bertanda khusus dan segel tertutup;
d. Barang pornografi yang dijual ditempatkan pada etalase
tersendiri yang letaknya jauh dari jangkauan anak-anak dan remaja
berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun;
BAB VI
BADAN ANTI PORNOGRAFI NASIONAL
 
Bagian Pertama
Nama, kedudukan, Fungsi, dan Tugas
 
Pasal 11
 
(1) Untuk pencegahan dan penanggulangan masalah pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dalam masyarakat dibentuk
Badan Anti Pornografi Nasional, yang selanjutnya disingkat BAPN;
(2) BAPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah lembaga independen
yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
 
Pasal 12
 
(1) BAPN Berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia;
(2) Apabila diperlukan BAPN dapat membentuk perwakilan di Ibu
Kota Provinsi untuk membantu pelaksanaan tugasnya;
(3) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan keputusan BAPN.
 
 
Pasal 13
 
BAPN mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah serta mewakili kepentingan masyarakat dalam upaya
penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
 
Pasal 14
 
Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, BAPN
mempunyai  tugas:
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada Pemerintah
dalam pembuatan kebijakan penanggulangan masalah pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
c. memantau dan melakukan penilaian terhadap perkembangan pornografi
dalam masyarakat;
d. melakukan advokasi dan edukasi kepada masyarakat dalam
menanggulangi masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi;
e. mendorong berkembangnya lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi
membantu upaya penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi;
f. menerima pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan
masalah pornografi, dan memberikan rekomendasi kepada aparat penegak
hukum untuk meninjaklanjuti pengaduan tersebut;
g. menjadi saksi ahli dalam proses pemeriksaan di persidangan;
h. melakukan supervisi terhadap proses penyidikan proses pornografi.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
 
Pasal 15
 
(1) Anggota BAPN dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas usul
masyarakat.
(2) Anggota BAPN secara administrasi ditetapkan oleh Presiden atas
usul dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 16
 
(1) BAPN terdiri atas seorang Ketua merangkap Anggota, seorang Wakil
Ketua merangkap Anggota, serta sekurang-kurangnya 9 (sembilan)
orang Anggota yang mewakili unsure-unsur dalam masyarakat.
(2) Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BAPN adalah 3 (tiga)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
(3) Ketua dan Wakil Ketua BAPN dipilih dari dan oleh Anggota.
Pasal 17
 
(1) Sebelum memangku jabatannya, Anggota BAPN mengucapkan sumpah/janji
di hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2) Lafal sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai
berikut :
 
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memangku jabatan saya ini langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga,"
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian."
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala Undang-Undang yang berlaku
bagi Negara Republik Indonesia,"
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama, dan tidak membeda-bedakan
orang dalam melaksanakan kewajiban saya."
 
Pasal 18
 
Anggota BAPN terdiri atas unsur
a. perwakilan badan keagamaan;
b. pakar komunikasi;
c. pakar teknologi informasi dan komunikasi;
d. pakar seni dan budaya;
e. pakar hukum pidana; dan
f. pakar sosiologi.
 
Pasal 19
 
Persyaratan keanggotaan BAPN adalah:
a. warga negara Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. berkelakuan baik;
d. memiliki pengetahuan tentang pornografi; dan
e. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
 
Pasal 20
 
Keanggotaan BAPN berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit secara terus menerus;
e. melanggar sumpah/janji;
f. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
g. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan
ancaman hukuman srendah-rendahnya 5 (lima) tahun penjara.
 
 
Pasal 21
 
(1)  BAPN dalam melakukan tugas dan fungsinya dibantu oleh Sekretariat.
(2)  Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh
seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh BAPN
(3)  Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam keputusan BAPN.
 
Pasal 22
 
Struktur organisasi dan tata kerja BAPN diatur dengan keputusan BAPN.
 
Pasal 23
 
Pembiayaan untuk pelaksanaan tugas BAPN dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber lain yang tidak bertentangan
dengan perturan perundang-Undangan yang berlaku.
 
Pasal 24
 
BAPN berkewajiban untuk menyampaikan laporan kegiatan kepada DPR dan
Presiden setiap tahun.
 
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
 
Pasal 25
 
(1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk berperan serta dalam
pencegahan dan penanggulangan pornografi berupa :
a. menyampaikan keberatan kepada BAPN terhadap pengedaran barang
dan/atau penyediaan jasa pornografi;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap
seseorang, sekelompok orang, dan/ atau badan yang diduga melakukan
pengedaran pornografi.
c. Gugatan perwakilan sebagaimana dimaksud pada huruf b
dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada masalah
pornografi.
 
(2) Setiap warga negara Indonesia berkwajiban untuk :
a. melakukan pembinaan moral, mental spritual, dan akhlak
masyarakat dalam rangka membentuk masyarakat yang berkepribadian
luhur, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. membantu penyelenggaraan kegiatan advokasi dan edukasi dalam
penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi;
 
(3) Setiap warga negara Indonesia bertanggungjawab untuk melaporkan
kepada pejabat yang berwenang apabila melihat dan/atau mengetahui
adannya penerbitan dan/atau pengedaran pornografi.
 
 
BAB VIII
PERAN PEMERINTAH
 
Pasal 26
 
(1) Pemerintah dapat melakukan kerjasama bilateral, regional, dan
multilateral dengan negara lain dalam membatasi penyebarluasan
pornografi sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara.
(2) Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan hukum dan keamanan
kepada penggugat dan/atau pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) huruf b dan ayat (3).
BAB IX
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN
 
Pasal 27
 
Penyidikan, Penuntutan, dan pemeriksaan di muka persidangan terhadap
tindak pidana pornografi berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
 
 
BAB X
KETENTUAN SANKSI
 
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
 
Pasal 28
 
a. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan sanksi
administrative berupa pencabutan ijin usaha
b. Setiap orang yang telah dicabut ijin usahanya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan kembali ijin usaha
sejenis.
 
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
 
Pasal 29
 
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, pasal 5, dan/atau pasal 6, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau paling singkat 2 (dua)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu
milyar rupiah) dan paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 9 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau paling singkat
1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 600.000.000,-
(enam ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
 
Pasal 30
 
(1) Setiap orang yang tidak memiliki izin untuk mengimpor dan
menyebarluasan barang pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan paling
singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan paling sedikit Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
 
(2) Setiap orang yang melakukan penyebarluasan barang pornografi
tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan paling
singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan paling sedikit
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
 
Pasal 31
 
Setiap orang yang dengan sengaja menghalang-halangi dan/atau
mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di muka
persidangan perkara tindak pidana pornografi dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah)
 
Pasal 32
 
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana pornografi dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan paling singkat 6 (enam) bulan dan
pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah)
dan paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
 
 
BAB XI
PEMUSNAHAN
 
Pasal 33
 
(1) Pemusnahan barang pornografi dilakukan terhadap:
a. hasil penyitaan dan perampasan barang yang tidak berijin
b. putusan pengadilan
(2) Pemusnahan barang pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh penuntut umum bekerja sama dengan BAPN.
(3)   Pemusnahan barang pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media apabila barang disebarluaskan melalui media massa cetak
dan/atau media massa elektronik;
b. nama dan jenis barang yang dimusnakan;
c. hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan;
d. keterangan mengenai pemilik atau yang mengusai barang yang
dmusnakan; dan
e. tanda tangan dan identitas lengkap para pelaksana dan pejabat yang
melaksanakan dan menyaksikan pemusnahan.
 
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 34
 
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan pornografi
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini.
 
Pasal 35
 
BAPN dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini mulai berlaku.
 
BAB XIII
PENUTUP
 
Pasal 36
 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan menempatkanya dalam Lembaga Negara Republik
Indonesia.
 
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal,........
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 
                                 
........................
 
Diundang di Jakarta,................
Pada tanggal,...........
 
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
 
 
.........................
 
LEMBAGA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN........ NOMOR .......
 
PENJELASAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ....... TAHUN .........
TENTANG
ANTI PORNOGRAFI
 
 
1. UMUM
 
Negara Indonesia adalah negara yang menganut faham Pancasila.
Keyakinan dan kepercayaan ini secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alinea
III dan IV Sebagai penganut faham hidup berketuhanan, bangsa indonesia
meyakini bahwa Tuhan melarang sikap dan tindakan-tindakan a-susila,
dan a-moral dalam kehidupan seks, seperti pelecehan, perselingkuhan,
kekerasan seks, penyimpangan seks, dan penyebarluasan gagasan-gagasan
tentang seks, karena dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Bagi
masyarakat beragama tindakan-tindakan memperlihatkan, mempertontonkan,
mempertunjukan, dan/atau memperdengarkan materi seks dianggap
sebagai suatu ancaman terhadap kelestarian tatanan kehidupan
masyarakat karena ikut berperab dalam pembentukan sikap dan tindakan
a-susila dan a-moral semacam itu. Tindakan-tindakan semacam itu juga
dianggap menunjukan sikap menentang kekuasaan Tuhan.
 
Pada era  kehidupan modern di tengah globalisasi informasi seperti
sekarang kelestarian tatanan masyarakat Indonesianmenghadapi ancaman
yang serius. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi saat ini terjadi peningkatan penyebarluasan gagasan-gagasan
tentang seks berupa pornografi dalam berbagai bentuknya melalui media
massa dan alat komunikasi lainnya. Kecenderungan ini telah menimbulkan
keresahan dan kekuatiran masyarakat beragama akan hancurnya
sendi-sendi moral dan etika yang sangat diperlukan dalam pemiliharaan
dan pelestarian tatanan kehidupan masyarakat.
 
Sebagai penganut keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat Indonesia memiliki hak untuk melindungi dan memiliki
kewajiban berperan serta mencegah terjadinya kerusakan tatanan dan
disintegrasi yang disebabkan oleh sikap dan tindakan-tindakan
a-sosial, a-susila, dan a-moral yang dilakukan oleh individu atau
sekelompok individu yang menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang seks
didepan umum, atau dilingkungan ranah pablik. Dalam hal ini
penyelenggara negara memiliki hak dan sekaligus kewajiban untuk
melarang pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi oleh
individu atau sekelompok individu yang tidak menghormati hak
masyarakat umum yang lebih luas untuk melindungi diri dari dampak
pornografi. Oleh karenanya agar pemenuhan hak individu dan sekelompok
individu tidak melanggar pemenuhan hak masyarakat umum untuk memiliki
kehidupan yang tertib dan aman, maka pembuatan, peyebarluasan, dan
penggunaan pornografi harus diatur dengan undang-undang.
 
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini pada dasarnya melarang
semua bentuk aktivitas pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi sebagaimana diajarkan dalam faham ketuhanan Yang Maha Esa.
Larangan tersebut lebih keras diarahkan pada pembuatan pornografi
oleh perseorangan atau korperasi di dalam negeri agar Undang-Undang
ini befungsi secara efektif dalam membantu pemerintah dalam membatasi
pornografi serta membantu lembaga-lembaga keagamaan dan masyarakat
dalam memecahkan perseolan-persoalan pornografi yang dihadapi
sekarang ini. Undang-Undang ini mengakui peran penting lembaga-lembaga
keagamaan dalam pembinaan moral dan moralitas masyarakat. Oleh
karenanya, pengaturan dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk
mengambil alih peran lembaga-lembaga keagamaan, tetapi diarahkan pada
upaya menegakkan kesepakatan bersama antar umat beragama mengenai
pornografi, dalam rangka memilihara sistem nilai budaya masyarakat
yang dilandasi kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk tujuan itu maka upaya mengulanggi masalah pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang diatur dalam
Undang-Undang ini melibatkan peran serta masyarakat, lembaga-lembaga
keagamaan, dan pemerintah.
 
Undang-undang ini juga mengakui peran penting karya-karya seni dan
para seniman pembuatnya bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat,
dan oleh karenanya keberadaan karya-karya seni serius atau seni murni
(high-art) dan karya-karya seni yang berorientasi pada pasar atau
seni populer (popular-art) tetap dihormati dan diharhgai sebagaimana
mestinya. Dalam Undang-Undang ini pornografi dibedakan dari seni.
Nilai yang terkandung dalam pornografi dianggap lebih bersifat
instrumental yakni berperan sebagai sarana atau alat untuk mencapai
sesuatu yang lain, atau bersifat ekstrinsik yakni bertujuan lain di
luar dirinya. Sebaliknya, nilai yang terkandung dalam seni dianggap
lebih bersifat intrinsik, hanya berkaitan dengan  pengalaman yang
dilandasi moralitas yang baik, bernilai dalam dirinya sendiri, atau
sebagai tujuan akhir. Karya seni dianggap memiliki keunikan karena
tidak mungkin diproduksi dan direproduksi dengan kualitas yang persis
sama. Sebaliknya, pornografi dianggap tidak memiliki keunikan karena
bisa diproduksi dan direproduksi sebanyak mungkin atau secara massal
dengan kualitas yang persis sama atau paling tidak hampir sama.
II. PASAL DEMI PASAL
 
Pasal 1
Cukup Jelas
 
Pasal 2
Dalam pengertian ini, penyebarluasan gagasan-gagasan tentang seks,
kecabulan dan/atau erotika yang dianggap bertentangan dengan
nilai-nilai agama, budaya, susila dan moral yang dianut oleh
masyarakat. Yang dimaksud kecabulan adalah materi yang memperlihatkan
ketelanjangan tubuh aktivitas hubungan seks, tindak kekerasan seks
seperti perkosaan, hubungan seks yang disertai tindakan sadisme, dan
aktivitas hubungan seks yang tidak mengandung unsur kekerasan namun
merendahkan nilai sakral hubungan seks.
Yang dimaksud erotika adalah materi yang mengandung sifat atau
tema-tema seksual.
 
Pasal 3
Cukup jelas
 
Pasal 4    
Cukup jelas
 
Pasal 5   
Cukup jelas
 
Pasal 6
Lembaga penyelenggara jasa pornografi yang melalui internet harus
diperlengkapi dengan sistem filter.
 
Pasal 7
Karya seni adalah hasil ciptaan manusia yang memiliki nilai estetika
yang tinggi, dan mengutamakan nilai-nilai intrinsik yaknin yang
bertujuan pada dirinya sendiri. Sebuah karya yang mengutamakan
nilai-nilai ekstrinsik yakni yang bertujuan lain di luar dirinya
sendiri, seperti tujuan promosi, meningkatkan pernjualan, dan
membangkitkan nafsu birahi, tidak dikategorikan sebagai karya seni.
 
Pasal 8
Cukup jelas
  
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gangguan kesehatan dalam pasal ini  adalah
gangguan fungsi seksual dan alat reproduksi, yang pengobatannya
memerlukan alat bantu barang pornografi.
 
Ayat (2)
Cukup jelas
 
Pasal 10
Cukup jelas
 
Pasal 11
Cukup jelas
 
Pasal 12
Cukup jelas
 
Pasal 13
Cukup jelas
 
Pasal 14
Huruf a                                                              
                                                 
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
 
Huruf c
Pemantauan dan penilaian dilakukan terhadap pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi dalam media massa cetak, media massa
elektronik, dan alat komunikasi medio.
 
Huruf d
Masukan dan saran-saran kepada Pemerintah mengenai layak atau
tidaknya suatu pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi dalam
media atau alat komunikasi, dapat disampaikan melalui media massa.
 
Huruf e
Cukup jelas
 
Huruf f
Cukup jelas
 
Huruf g                                                              
                                                                     
                                                                     
                                                                     
                                                   
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
 
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah lembaga swadaya masyarakat
yang memiliki kepedulian terhadap masalah pornografi.
 
Ayat (2)
Cukup jelas
 
Pasal 16
Ayat (1)
Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama
Ayat (2)              
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
 
Pasal 17
Cukup jelas
 
Pasal 18
Cukup jelas
 
Pasal 19
Cukup jelas
 
Pasal 20
Cukup jelas
 
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
 
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
                                                                       
Ayat (1)                                                             
                                                                     
                       
Cukup jelas
Ayat (2)
                                                                     
                                                                     
                        
Huruf  a
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini meliputi upaya
meningkatkan moral dan akhlak bangsa melalui pendidikan keagamaan,
moral, etika dan budi pekerti  pada lembaga-lembaga pendidikan dari
tingkat Sekolah Taman kanak-kanak sampai dengan tingkat Perguruan
Tinggi; dan /atau mencegah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
  
Huruf  b
Yang dimaksud dengan kegiatan advokasi adalah kegiatan pemberian
bantuan hukum dalam penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan porngrafi. Yang dimaksud dengan kegiatan edukasi,
adalah kegiatan pemberian bimbingan, konsultasi, penerangan, dan
penyuluhan dalam penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
 
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal  26
Cukup jelas
 
Pasal  27
Cukup jelas
 
Pasal 28
Cukup jelas
 
Pasal  29
Cukup jelas
 
Pasal 30
Cukup jelas
 
Pasal 31
Cukup jelas
 
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
 
Pasal 35
Cukup jelas
 
Pasal 36
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR .....
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal .....2002
 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
 
xxx
 
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ...... 2002
 
 
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
 
xxx
 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002



AG./bdg.






http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to