Di Mana Anak-anak Kita Bermain? 

    Jess...jess...jess....pom pom! 

    Empat bocah lelaki itu tak terpengaruh akan suara kereta api yang
akan singgah di Stasiun Cikudapateuh Bandung, tepat di seberang lokasi
mereka bermain. Belasan kelereng dikumpulkan. Lalu, mereka bersiap
melemparkan kojo.

"Ber! maneheun ayeuna!" sergah seorang bocah.
TIGA orang anak bersiap meluncur menggunakan pelepah pohon palem di
lahan kosong sebuah kompleks perumahan di kawasan Sarijadi Bandung,
Minggu (26/2).*HARRY SURJANA/"PR"

"Ah, maneh mah licik. Pan urang enggeus tadi," jawab temannya.

Tempat bocah-bocah itu bermain hanyalah "jalan setapak" berukuran tak
lebih dari 1,5 meter yang berada beberapa centimeter saja dari
bantalan rel kereta api. Setiap siang, sepulang sekolah, bocah-bocah
itu bermain di sana. Kalau tak bermain kelereng, mereka bermain
pedang-pedangan.

**

Apa yang berlangsung di sana, di seberang Stasiun Cikudapateuh itu
hanyalah sebuah contoh. Betapa Bandung, sebagaimana kota besar lainnya
di Indonesia, sudah tak sedemikian "ramah" terhadap anak. Soal ini,
sebenarnya, sudah diprediksi oleh badan PBB yang khusus mengurus anak,
yakni UNICEF. Bahwa lebih dari separuh anak di kota kehilangan tempat
bermain. Anak-anak itu bermain di lahan-lahan "tak resmi", seperti
jalan, bantaran kali, dan itu tadi...bantalan rel kereta api.

Pakar planologi Merina Burhan mencatat semakin hilangnya lahan bermain
anak sebagai salah satu sebab dari economic booming. Arus urbanisasi
meningkat pesat. Ia mencatat, penduduk urban sudah mencapai angka
34,4% dari seluruh penduduk Indonesia, dengan tingkat pertumbuhan 4,7%
per tahun. Bandingkan dengan angka pertumbuhan penduduk Indonesia yang
rata-rata 1,5% per tahun.

Berdasarkan penelitiannya, rata-rata, anak Indonesia bermain selama 2
jam setiap hari--sama dengan kebanyakan anak di negara-negara Asia
lainnya--. Satu jam lebih singkat dari kebanyakan anak di Amerika dan
Eropa Barat.

Soal bermain ini, anak Indonesia (bersekolah SD- red.) dapat dibagi
menjadi dua kelompok. Pertama, anak dari kalangan menengah-atas dan
bersekolah bonafide. Kedua, anak dari kelas menengah-bawah, kebanyakan
bersekolah negeri. Kelompok pertama cenderung bermain di dalam rumah
(sendirian), sementara kelompok kedua cenderung bermain di luar rumah
(bersama teman).

Anak pada kelompok pertama cenderung bermain dengan teman seusia dalam
kelompok kecil (biasanya teman di sekolah). Sementara, anak kelompok
kedua cenderung bermain dengan teman berbeda usia dalam kelompok yang
lebih besar, kebanyakan tetangga.

Anak-anak pada kelompok pertama cenderung memilih permainan
video/computer game di dalam rumah. Sementara, anak-anak dari kelompok
kedua cenderung memilih permainan bersifat physically active, seperti
sepak bola, selain juga karena fasilitas permainan elektronik yang
tidak terjangkau.

Di sinilah masalahnya. Berdasarkan catatan, lebih dari 60% anak
Indonesia justru tergolong ke dalam kelompok kedua. Memang, kebanyakan
anak, berada di pinggiran kota dan pedesaan. Di situ, masih tersedia
cukup lahan bermain buat mereka. Pada akhir dekade 1990-an,
berdasarkan catatan, anak-anak di perkotaan masih memiliki lahan untuk
bermain seluas 2.000 meter persegi per anak. Kondisi tersebut
sebenarnya masih sangat jauh jika dibandingkan dengan anak-anak di
Barat dengan 10.000 meter persegi per anak. Saat ini, entah berapa
luas lahan yang masih tersisa buat anak bermain?

Tak terwujudnya sebuah taman bermain di setiap wilayah atau sebatas RT
tak lepas dari ketidakpedulian terhadap hak-hak anak. Padahal,
seyogianya anak memiliki suara pada setiap keputusan yang dilakukan
para pengambil kebijakan. Dari jumlah keseluruhan penduduk Kota
Bandung yang mencapai 2 juta orang, jumlah anak mencapai sepertiganya.
Klasifikasi anak berdasarkan badan PBB, UNICEF merupakan penduduk yang
berusia 0-18 tahun, termasuk janin di dalam kandungan.

Jumlah sepertiga tak dapat dipandang sebelah mata. Jika saja mereka
dapat menduduki posisi dewan yang mewakili rakyat, sepertiga kursi
DPRD di Kota Bandung seharusnya diisi anak-anak.

Keadaan tersebut sangat kontras dengan berbagai kebijakan yang dibuat
oleh para pengambil kebijakan selama ini. Hak-hak anak—yang dilindungi
undang-undang—seakan terpinggirkan. "Berbagai produk hukum di Kota
Bandung seakan tak pernah berpihak kepada anak. Sebagai contoh, revisi
perda RTRW yang baru saja disahkan sama sekali tak berpihak kepada
anak-anak," protes Eko Kriswanto, aktivis anak dari Yayasan Bahtera.

Sebuah rencana aksi kota yang jelas dan berpihak untuk anak, menurut
Eko, seharusnya menjadi pertimbangan utama. "Apa salahnya dalam setiap
perencanaan kota dirumuskan dibangunnya lahan bermain baru untuk anak.
Jangan hanya berpatokan pada sisi ekonomi maupun bisnis," ucapnya lagi.

Pendapat Eko mungkin saja benar. Saat ini, akan sangat sulit menemukan
tempat bermain di Kota Bandung. Data Kementerian Lingkungan Hidup RI
pada 2003 lalu mencatat bahwa luas taman kota di Kota Bandung mencapai
114 hektare saja atau sekira 0,68% dari luas wilayah Kota Bandung yang
mencapai 16.729 hektare.

Halaman sekolah juga seharusnya dapat digunakan anak-anak untuk
bermain. Namun, tak sedikit sekolah di kota ini yang tak memiliki
lahan bermain. Anak-anak pun kemudian bermain pada tempat di mana
keselamatan dan keamanan terabaikan.

Sempitnya lahan bermain anak juga diduga memicu kenaikan anak jalanan.
Data Dinas Sosial Prov. Jabar 2003 menyebutkan, anak jalanan di Kota
Bandung mencapai 4.626 orang, sementara di Jawa Barat 20.665 orang.
"Berdasarkan penelitian, sekira 80% darianak jalanan di Kota Bandung
merupakan anak rumahan. Dalam artian, mereka memiliki rumah dan orang
tua, dan menjadikan jalanan sebagai tempat bermain," tutur Eko
Kriswanto dari Yayasan Bahtera.

Ironisnya, fenomena sempitnya lahan bermain di Kota Bandung menjadi
lahan bisnis. Ada uang, ada lahan bermain. Kenyataan ini dapat dilihat
dengan maraknya jenis permainan yang ditawarkan mal, misalnya.

Selain soal lahan, Merina Burhan menduga bahwa sistem pendidikan di
sekolah dasar dan tingkat persaingan mengakibatkan waktu bermain
semakin berkurang. Anak usia sekolah dasar (bahkan sejak di TK) telah
dibebani berbagai pelajaran tambahan dan kursus-kursus privat lainnya.
Alhasil, waktu anak untuk bermain hanya terbatas dengan teman sekolah
dan pada jam istirahat. Kenyataan di atas mengakibatkan anak Indonesia
tak saja kehilangan tempat, tetapi juga kehilangan waktu bermain mereka.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, Ny. S. Roediono,
S.H. dan praktisi perlindungan anak, Prof. H. Sambas Wiradisuria, dr.,
menegaskan, aktivitas bermain dapat sekaligus berfungsi untuk
belajar.Faktor kreativitas dan kecerdasan anak akan terangsang dengan
aktivitas bermain.

Hilangnya kesempatan bermain telah mengucilkan anak dari interaksi
sosial dalam masyarakat. Jika anak-anak menjadi lebih egois dan
individualis, itu bisa menunjukkan rendahnya kualitas dan kuantitas
lingkungan bermain anak.

Kapan ya Bandung menjadi kota yang "ramah anak"? (Hazmirullah/Deni
Yudiawan/"PR")***





http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke