Indonesia Kita

Yudi Latif

Di ujung pengembaraannya sebagai pemikir Islam, almarhum Nurcholish
Madjid memungkasi persembahan karyanya dengan risalah tentang
kebangsaan-kenegaraan, Indonesia Kita.

Tidak berarti, idealisasi kesemestaan umat ditinggalkan. Tetapi,
pergulatannya dengan ayat- ayat kesejarahan memberinya pemahaman,
betapa konsepsi keumatan tidak kebal hukum sejarah: bahwa pada suatu
orde formasi sejarah tertentu, negara-bangsa (nation-state) tampil
sebagai bentuk pelembagaan kekuasaan paling dominan di dunia. Dan
ketidakrelaan sekelompok orang untuk menerimanya, tidak dengan mudah
bisa berpindah ke bentuk pelembagaan kekuasaan lain (semisal
kekhalifahan) semaunya sendiri. Karena hal itu merupakan resultan
jalinan relasi-relasi kuasa dan perekonomian pada tingkat global.

Jika masanya tiba, formasi sejarah negara-bangsa mungkin saja mencapai
kematangannya dan meniscayakan hadirnya bentuk pelembagaan kekuasaan
yang lain. Tetapi tak perlu terlampau dihiraukan. Apa pun bentuk
pelembagaan yang ada, tak peduli imperium ataupun negara, bakti
manusia pertama-tama harus diarahkan pada lingkungan geopolitik
terdekat. Di mana bumi di pijak di sana langit dijunjung. Seperti kata
Edmund Burke, "dedikasi terhadap unit kekuasaan terkecil dan terdekat
merupakan prioritas utama dari prinsip moralitas publik dan pengabdian
kepada kemanusiaan".

Mencintai Indonesia sebagai negara-bangsa menghadirkan adonan rasa
bangga dan kecut. Ditilik dari sudut kebangsaan, "Indonesia", dalam
pandangan Cak Nur, "adalah bangsa yang sukses". Bayangkan, ada suatu
bangsa yang mampu mempertautkan solidaritas kultural yang merangkum
tak kurang dari 250 kelompok etnis dan bahasa, yang tersebar di
sekitar 17.500 pulau di sepanjang 81.000 kilometer garis pantai,
dengan kemampuan menghadirkan suatu lingua franca bersama yang mampu
mengatasi isolasi pergaulan antarsuku.

Kebangsaan kerakyatan

Terima kasih kepada sejarah. Terutama konsekuensi ikutan dari
penjajahan Jepang yang telah memberi kesempatan dalam pembentukan
bangsa ini untuk bertransformasi dari cetakan Adelsnation (kebangsaan
kaum ningrat)—warisan kerajaan—menuju formasi volksnation (kebangsaan
kerakyatan). Inilah yang membuat kebanyakan rakyat negeri ini,
betapapun terus- menerus dikhianati dan dikorbankan para pemimpinnya,
tetap saja mencintai bangsanya.

Patut disyukuri pula adanya kejembaran umat Islam. Kerelaan
(pendukung) budaya mayoritas untuk tidak menerjemahkan diri menjadi
budaya politik dominan, seperti kesediaan untuk menerima perlucutan
Piagam Jakarta, memberi berkah tersembunyi bagi bangsa ini.
Teori-teori terkini tentang kewargaan multikultural, seperti dari Will
Kymnlicka, menganjurkan pencegahan fusi dari budaya mayoritas ke dalam
budaya politik dominan sebagai prasyarat bagi multikulturalisme yang
kuat. Inilah yang membuat Indonesia dalam hal ini jauh lebih maju
ketimbang Amerika Serikat.

Di negeri terakhir ini sulit dibayangkan ada hari libur nasional bagi
hari raya (penganut) agama-agama minoritas karena Anglo-Protestan
sebagai budaya mayoritas mendominasi budaya politik nasional. Tetapi,
di Indonesia, hatta hari raya Konghucu sekalipun (yang penganutnya
kecil) menjadi hari libur nasional.

Meski begitu, ditilik dari sudut kenegaraan, Indonesia bisa dikatakan
sebagai negara yang gagal. Menjadi negara setidaknya harus memiliki
kedaulatan ke dalam dan ke luar. Kedaulatan ke dalam ditunjukkan oleh
kemampuan negara memelihara hukum dan ketertiban. Sedangkan ke luar
ditandai kemampuan untuk melindungi kepentingan warga dan wilayah
negeri dari ancaman luar serta terlibat dalam pergaulan antarbangsa
dalam posisi terhormat. Nyatanya, kedua hal itu tak terpenuhi oleh
negara ini.

Dalam negara yang memiliki kedaulatan ke dalam, pertautan individu
terhadap komunitas-komunitas tribus prapolitik ditransformasikan ke
dalam warga negara sebagai legal person. Dalam pada itu, pergeseran
dari kedaulatan kebangsawanan menuju kedaulatan rakyat
mentransformasikan hak-hak subyek menjadi hak-hak asasi (hak-hak sipil
dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya) yang menjamin otonomi
dan kesetaraan setiap warga negara. Ketika negara gagal menjamin
kepastian hak-hak dasar ini, warga negara secara alamiah akan kembali
mencari perlindungan dari sumber-sumber prapolitik (tribalisme,
premanisme, komunalisme, dan sejenisnya). Situasi inilah yang terjadi
di Indonesia saat ini.

Transformasi ke arah demokrasi tanpa jaminan hukum dan ketertiban
membawa penguatan kembali kebangsaan "ningrat", komunalisme, dan
barbarisme yang mengancam otoritas sipil dan hak-hak asasi manusia.

Lemahnya kedaulatan ke dalam ini berkelindan dengan lumpuhnya
otosentrisitas negara menghadapi penetrasi kekuatan asing dalam
menentukan kebijakan-kebijakan fundamental bagi kelangsungan bangsa
dan negara. Padahal, demokrasi tanpa otosentrisitas selalu menggali
kuburnya sendiri ketika pilihan-pilihan asing menyelusup lewat
prosedur demokrasi dan menikam kepentingan-kepentingan sang demos yang
sesungguhnya tatkala tidur.

Tiba-tiba saja, rakyat kecil harus menanggung beban atas pengangguran
dan melambungnya harga-harga demi skema utang luar negeri yang uangnya
tidak pernah sungguh-sungguh menjadi working capital yang menggerakkan
sektor riil. Konsolidasi demokrasi, kata Robert Dahl, kerap kali
terpental oleh intervensi kekuatan asing yang pada hakikatnya
berseteru terhadap aspirasi-aspirasi demokratis. Maka, di sinilah
kedaulatan negara menjadi pertaruhan.

Negara lemah

Negara tanpa kedaulatan adalah negara yang lemah. Negara seperti ini
cenderung bersosok tambun; berpretensi untuk mengatur hal-hal tetek
bengek bahkan urusan busana warga negara, namun tak memiliki otoritas
yang efektif untuk mengatur hal-hal esensial yang menentukan hajat
hidup orang banyak.

Dengan sosok seperti itu, Indonesia tak kunjung terbebas dari jeratan
state manque; suatu negara yang tak kunjung menemukan bentuk politik
yang cocok bagi watak rakyatnya. Sebab pokoknya, tidaklah terletak
pada keterbelakangan dan pluralitas bangsa seperti yang sering
dituduhkan, melainkan pada mismanajemen kenegaraan sebagai konsekuensi
dari kepemimpinan yang lemah dan korup.

Masalah-masalah mendasar kenegaraan yang perlu penanganan segera
dibentangkan Cak Nur dalam buku pamungkasnya ini. Sebuah buku penting
yang akan jadi referensi utama bagi kursus kenegaraan bagi kalangan
masyarakat politik dan sipil, yang akan diselenggarakan Yayasan
Paramadina mulai akhir Maret ini. Semoga terusik oleh panggilan sejarah!

Yudi Latif Deputi Rektor Universitas Paramadina

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/20/opini/2515203.htm





http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke