Revitalisasi Republik

Franciscus Welirang

Perasaan gundah membuncah menyaksikan eksistensi Indonesia akhir-akhir
ini. Secara umum, ia cenderung dipandang dalam perspektif sempit,
yaitu sebatas kepingan ekonomi dan politik. Akibatnya, semangat untuk
menegakkan Indonesia terbelenggu semata-mata pada upaya pemulihan
ekonomi dan pendemokrasian institusi.

Padahal, merevitalisasi republik tidak bisa sekadar bersandar pada
kedua kepingan itu (ekonomi dan politik). Ia harus menukik pada
nilai-nilai budaya dan sejarah yang dimiliki bangsa ini. Karena tanpa
bersumber pada nilai dan sejarah itu, Indonesia bisa kehilangan identitas.

Kalau hal itu sampai terjadi, secara hipotesis, bangsa Indonesia juga
akan 'punah'. Pendeknya, merevitalisasi Indonesia berarti
merevitalisasi jati diri. Jadi, bukan sekadar menyelesaikan krisis
ekonomi dan demokrasi politik (apalagi kalau demokrasinya masih
sebatas prosedural dan bukan substansial), tetapi juga membangun mimpi
bersama dan memperkuat kembali komponen-komponen masyarakat yang
strategis.

Mimpi bersama

Mungkin Bung Karno benar. Kalau kita keberatan dengan Pancasila dan
Tigasila, kita cukup memakai Ekasila, yaitu Gotong Royong. Inilah
nilai dasar yang kita miliki. Suatu konsensus yang lahir dari budaya
dan sejarah bumi sendiri.

Jika nilai dasar gotong royong tersebut ditambah dengan nilai lain,
misalnya kejujuran dan kerja keras, mimpi bangsa pun bisa dibangun di
atas tiga landasan tersebut. Seluruh sumber daya dan komunikasi
politik yang ada diarahkan untuk mewujudkan mimpi bersama tersebut,
yaitu gotong royong, jujur, dan kerja keras.

Dengan rekayasa sosial seperti itu, konsensus bersama dan identitas
bangsa bisa terbangun. Dalam bahasa Raymond Williams (Culture, 1981),
situasi yang demikian akan mampu mengekspresikan totalitas hubungan
sosial dan praktik-praktik manusia. Seluruh gerak dan napas rakyat
selaras dengan kinerja penyelenggara negara.

Sebaliknya, tanpa membangun mimpi bersama tersebut, krisis identitas
republik secara prediktif akan sulit diselesaikan. Secara umum,
terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan sesama anggota
masyarakat dalam dekade terakhir merupakan cermin bening dari
diabaikannya nilai-nilai budaya dan sejarah bangsa sendiri.

Sulit dimungkiri bahwa pengalaman pahit yang saat ini melanda republik
adalah terjadinya fenomena perubahan yang menjurus pada situasi
'kebablasan'. Pada era Orde Baru, banyak penyelenggara negara yang
kebablasan dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan rakyat. Mereka
sering kali bertindak melebihi wewenangnya.

Sementara pada era Reformasi, semua pihak cenderung mempergunakan hak
yang dimiliki secara bebas, sebebas-bebasnya. Akibatnya, lalu lintas
pendapat publik menjadi simpang siur, bahkan kadang menjurus pada
anarkisme. Tidak heran jika akhirnya muncul pendapat yang mengatakan
bahwa praktik demokrasi di Indonesia adalah 'demokrasi kebablasan'.

Komponen masyarakat

Selain mimpi bersama, faktor lain yang perlu dilakukan untuk
bangkitnya identitas Indonesia adalah merevitalisasi komponen
masyarakat yang secara kesejarahan telah memberikan kontribusi
signifikan bagi terbentuknya republik dan integrasi bangsa. Sejauh
ini, dari beberapa komponen masyarakat yang termasuk kelompok
strategis, pemimpin-pemimpin adat dan raja-raja (sultan) memang kurang
mendapatkan perhatian semestinya.

Padahal, secara budaya dan kesejarahan, mereka pernah mempunyai peran
yang luar biasa. Mereka bukan saja ikut mendukung gerakan kemerdekaan,
tetapi juga menjadi pusat pelestarian budaya. Khusus untuk kerajaan,
sampai sekarang masih ada 45 kerajaan yang masih beroperasional (dari
sekitar 60 kerajaan yang pernah ada di Nusantara). Namun, dari jumlah
tersebut, hanya 19 kerajaan yang mendapatkan bantuan pemerintah. Itu
pun tidak merata.

Sejarah mencatat bahwa sekurangnya ada empat komponen masyarakat yang
mempunyai kontribusi besar pada berdirinya republik. Mereka adalah
intelektual, laskar (rakyat jelata dan TNI), tokoh spiritual, dan raja
(termasuk pemimpin adat dan sultan). Dari unsur-unsur tersebut,
komponen terakhir (raja, pemimpin adat, dan sultan) sejauh ini kurang
mendapatkan tempat dalam dinamika kehidupan republik.

Padahal, karisma seorang raja dan pemimpin adat, misalnya, adalah aset
pengembangan budaya. Mereka dapat tegak sebagai pengayom masyarakat,
panutan yang santun, pemersatu lingkungan, dan perekat bangsa.

Ketika Indonesia dalam krisis multidimensi seperti sekarang, utamanya
ketika sektarianisme menguat, peran-peran tradisional mereka tersebut
perlu direvitalisasi. Ini bukan dimaksudkan untuk membangkitkan
feodalisme baru, tetapi mencari sisi positif dari kontenstualitas
budaya. Dengan demikian, mereka bukan saja dapat menyumbang terjadinya
integrasi masyarakat, tetapi juga tegaknya identitas bangsa.

Membentuk identitas

Membangkitkan nilai-nilai budaya dan sejarah, kemudian
mengintegrasikannya dengan kepingan-kepingan ekonomi-politik,
dipastikan akan membentuk identitas dan kedaulatan bangsa yang kokoh.
Di sini, mimpi bersama dapat menjadi perekat sekaligus energi bagi
proses revitalisasi republik.

Tanpa kesatuan langkah seperti itu, keinginan untuk bangkitnya
identitas Indonesia atau dalam bahasa Francis Fukuyama (2004) sebagai
penguatan negara—dengan kehidupan rakyat yang sejahtera—akan lebih
bersifat utopis daripada realistis.

Franciscus Welirang Pelaku Ekonomi dan Pengamat Kemasyarakatan

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/21/opini/2523166.htm





http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke