Orang Miskin, Bukan Sekadar Angka

Wahyu Susilo

Hari ini, 17 Oktober 2007, diperingati sebagai Hari Penanggulangan
Kemiskinan Sedunia. Dalam dua tahun terakhir, kita selalu disuguhi
sengketa statistik tentang turun-naiknya angka kemiskinan.

Dari otoritas negara, seperti lazimnya rezim yang berkuasa, tentu
mengklaim telah terjadi penurunan angka kemiskinan. Di sisi lain, di
kalangan ekonom non-mainstream, meragukan klaim itu bahkan
mengemukakan fakta sebaliknya, jumlah orang miskin Indonesia cenderung
meningkat.

Sengketa angka kemiskinan

Meski kedua pihak bersengketa soal angka kemiskinan, namun keduanya
meletakkan analisisnya pada ukuran yang sama, yaitu analisis statistik
kuantitatif. Perkembangan ilmu ekonomi memang makin eskalatif
meninggalkan cabang ilmu sosial lainnya, saat analisis matematik
(ekonometri) menjadi tulang punggung ilmu ekonomi. Namun, ilmu ekonomi
juga makin meninggalkan "kemanusiaan"-nya saat kebutuhan dasar hidup
matinya manusia hanya diwujudkan dalam "angka-angka".

Agak disesalkan ketika Millennium Development Goals (MDGs), yang
menjadi komitmen global penanggulangan kemiskinan pada awal abad
milenium 2000, lebih banyak menggunakan indikator-indikator
kuantitatif dalam elaborasi tujuan dan targetnya.

Ini menjadi salah satu kelemahan MDGs saat menjadi tools advokasi
menagih janji dan komitmen negara penanda tangan pakta global ini.
Dalam dua kali penyajian progress report MDGs di Indonesia tahun 2004
dan 2005, progress report itu juga penuh angka statistik yang dingin
dan kaku, tanpa penjelasan kualitatif yang mampu berbicara.

Dalam situasi seperti itu, para pegiat organisasi nonpemerintah
mengembangkan analisis sosial untuk mengidentifikasi pokok soal
kemiskinan melalui metode participatory poverty assesment (PPA).

Metode ini hendak mengembalikan "fitrah" analisis kemiskinan yang
seharusnya berdasarkan kebutuhan kaum miskin secara riil. Dengan
demikian keluaran dari analisis ini adalah narasi-narasi kualitatif
yang tak lazim dipakai kaum tekno-ekonom kita yang mendominasi
perencanaan kebijakan makro-ekonomi.

Narasi-narasi kualitatif itu bisa menjadi pedoman perumusan kebijakan
penanggulangan kemiskinan. Satu-satunya kebijakan penanggulangan
kemiskinan yang pernah disusun melalui metode ini adalah Strategi
Nasional Penanggulangan Kemiskinan yang diadopsi menjadi Bab 16 dari
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

Sayang, dokumen itu tak dijadikan road map penanggulangan kemiskinan.
Dokumen ini menjadi tak ada artinya saat negara (dalam hal ini
konspirasi eksekutif-legislatif) memproduksi legislasi kebijakan
makro-ekonomi yang berkiblat pada pasar dan investasi, sesuai dengan
petuah lembaga multilateral dan donor multilateral yang menjadi sumber
utang pendanaan pembangunan.

Kebijakan tanpa perasaan

Jika kemiskinan hanya diperdebatkan dalam angka, tabel, atau grafik
statistik, tak akan ada penghayatan atas kemiskinan yang benar-benar
dirasakan rakyat Indonesia.

Dan perdebatan itu pun hanya menghasilkan kebijakan tanpa perasaan
karena disusun tanpa penghayatan dan pelibatan langsung pada realitas
kemiskinan. Perda Ketertiban Umum yang berlaku di DKI Jakarta
merupakan contoh nyata kebijakan yang dibuat tanpa perasaan dan
penghayatan.

Hampir selalu ada penyangkalan dari otoritas kekuasaan saat media atau
organisasi nonpemerintah melansir realitas kemiskinan (misalnya
kematian akibat kelaparan/gizi buruk) yang dialami komunitas miskin di
suatu wilayah.

Penyangkalannya bisa berupa penciutan/pengurangan data, dengan
menyatakan, jumlah yang mati/lapar/mengalami gizi buruk masih kecil
persentasenya.

Bentuk penyangkalan lain adalah pengabaian data itu, bahkan sering
berkilah, yang mengalami kematian/gizi buruk/kelaparan bukan orang
yang ber-KTP wilayah itu (kaum pendatang).

Berbagai penyangkalan tersebut mengisyaratkan, memang ada pemakluman
bahwa orang miskin perlu ada sebagai tumbal bagi mereka yang kaya.

Orang miskin sebagai "kriminal"

Selain hanya ditulis sebagai "angka", orang miskin kerap pula dianggap
dan diperlakukan sebagai "kriminal".

Masih dalam suasana Idul Fitri, saat seharusnya semua orang (termasuk
pejabat) membuka lebar-lebar mata hatinya, sudah menebar teror dan
ancaman untuk orang miskin yang mencoba mengadu nasib di Ibu Kota.

Petinggi Ibu Kota menyatakan akan menangkap dan memulangkan ratusan
ribu pendatang baru (mayoritas orang miskin) yang selalu datang ke
Jakarta pada masa arus balik Lebaran. Apakah Ibu Kota ini hanya milik
orang berpunya?

Jika ancaman itu benar-benar dilakukan dan Pemprov DKI menggerakkan
Satpol PP untuk Operasi Yustisi, apa yang dilakukan Pemprov DKI persis
yang dilakukan Pemerintah Malaysia menggerakkan Rela "memangsa" orang
Indonesia di Malaysia.

Menegaskan komitmen

Soal komitmen penanggulangan kemiskinan, Indonesia tak hanya menjadi
bagian dari pakta global MDGs, tetapi juga telah menjadi negara
peratifikasi Kovenan PBB untuk Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya (melalui
UU No 11/2005). Kovenan itu bahkan lebih operasional dan mengikat
secara yuridis karena mengamanatkan adanya harmonisasi
perundang-undangan di tingkat nasional.

Meski demikian, hingga kini belum terlihat gelagat politik dari
pemerintah untuk mengharmoniskan UU bidang ekonomi, sosial, dan
budaya. Masih konservatifnya politik anggaran yang tercermin dalam
APBN menjadi bukti pengabaian implementasi ratifikasi kovenan pokok ini.

Hingga kini APBN kita hanya menjadi pelestari birokrasi biaya tinggi,
membuka peluang korupsi, tetapi masih terlalu jauh untuk memfasilitasi
upaya mencerdaskan dan menyehatkan warga negara, apalagi
membebaskannya dari belenggu kemiskinan.

Wahyu Susilo Bekerja di International NGO Forum on Indonesian
Development (INFID); Campaigner Global Call to Action Against Poverty
(GCAP) 

Kirim email ke