Hijrah Demi Kebebasan
Oleh Novriantoni
10/01/2008

Ketidakmungkinan menjalankan agama dan keyakinan secara bebas yang
dialami oleh umat Islam perdana di Mekkah, merupakan salah satu alasan
untuk hijrah. Usaha menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan itulah
yang kemudian dijadikan semacam kontrak sosial oleh Nabi setelah
posisinya makin menguat di Madinah. 

Setiap 1 Muharram, umat Islam merayakan tahun baru Hijriyah. Perayaan
ini memang tidak sesemarak perayaan tahun baru Masehi. Tak ada kembang
api, terompet, pawai kendaraan, pentas hiburan, apalagi jaga malam
untuk menunggu kedatangan 1 Muharram. Tapi di beberapa tempat di Jawa,
perayaan 1 Muharram juga cukup semarak. Unsur festival dari ritus
Suroan ini berkembang semarak bersamaan dengan tradisi Kejawen yang pekat.

Tapi bukan unsur festival itu yang penting kita bahas. Yang perlu
direfleksikan ulang adalah makna inti dari peristiwa hijrah Nabi
Muhammad dari Mekah menuju Madinah. Sebab, peristiwa inilah yang
menjadi patokan awal tahun Hijriyah.

Tepat pada tanggal 16 Juli 622 M, di bawah terik musim panas, tulis
Montgomery Watt dalam Muhammad: Nabi dan Negarawan (2006: 121-126),
sekitar 70-an orang pengikut Nabi Muhammad lebih dulu sampai di
Madinah, menyusul kemudian Nabi Muhammad, Abu Bakar, Ali, dan beberapa
keluarganya.

Perjalanan yang ditempuh saat itu tidaklah pendek karena masih
terbatasnya sarana transportasi yang tersedia. Jarak Mekkah-Madinah
mencapai 250 mil dengan memakan waktu perjalanan kurang lebih sembilan
hari berunta. Untuk menghindari kejaran orang-orang Quraiys yang makin
sengit mempersekusi Nabi dan para pengikutnya, maka strategi yang
disusun untuk hijrah pun harus matang dan rute yang ditempuh mestilah
jalur alternatif yang lebih berliku.

Lalu pelajaran apa yang tersirat dari peristiwa ini? Bagi para ahli
strategi politik, hijrah dapat saja dimaknai sebagai langkah
undur-diri yang ditempuh Nabi Muhammad untuk menyusun strategi baru
guna memenangkan misi reformasi sosial-politiknya. Terbukti, delapan
tahun kemudian (630 M), Nabi berhasil menaklukkan Mekkah, tumpah darah
yang telah mempersekusi dan mengusirnya.

Tapi hijrah dapat juga dimaknai dengan cara lain. Yaitu, sebagai upaya
mencari oase kebebasan dalam berkeyakinan yang disediakan dengan
raman-tamah oleh penduduk Madinah. Jadi, hijrah juga berarti upaya
menciptakan ruang kebebasan berkeyakinan yang tidak mungkin didapatkan
Nabi di Mekkah sebagai minoritas-tertindas.

Dan ini bukanlah hijrah yang pertama. Pada tahun 615, beberapa orang
umat Islam yang tertindas juga diperintahkan Nabi untuk hijrah ke
Abessenia demi meminta perlindungan kepada Raja Negus atau Najasyi.
Tapi sejarah memang tetap mencatat, hijrah kedualah yang dianggap
lebih bermakna daripada hijrah pertama.

Tapi yang jelas, ketidakmungkinan menjalankan agama dan keyakinan
secara bebas yang dialami oleh umat Islam perdana di Mekkah, merupakan
salah satu alasan untuk hijrah. Usaha menjaga kebebasan beragama dan
berkeyakinan itulah yang kemudian dijadikan semacam kontrak sosial
oleh Nabi setelah posisinya makin menguat di Madinah. Kontrak sosial
yang mengikat berbagai puak, agama dan golongan itu, termuat di dalam
Konstitusi Madinah atau Mîtsâqul Madînah.

Sekitar 25 Pasal dalam Konstitusi Madinah membicarakan berbagai aspek
hubungan di antara kaum mukminin (sebutan untuk orang yang beriman
kepada Nabi Muhammad), dan terhadap orang yang tidak beriman.
Sementara 15 pasal berbicara tentang hak dan kewajiban orang-orang
Yahudi Madinah.

Dan yang patut direnungkan ulang, Konstitusi Madinah dapat dikatakan
sebagai ketentuan pertama yang menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Madinah kala itu. Di dalamnya, ayat Alquran yang
menekankan prinsip “non-paksaan dalam beragama” dan “bagimu
agamamu, bagiku agamaku” betul-betul diterapkan.

Orang-orang munafik Madinah, bahkan orang-orang yang mengaku sebagai
nabi-nabi pesaing pun tidak diperlakukan secara semena-mena oleh Nabi.
Sepanjang mereka tidak melakukan makar, bertindak aniaya terhadap
kelompok lainnya, atau melakukan agresi militer, mereka adalah umat
yang satu di dalam naungan negara-kota Madinah.

Konstitusi Madinah menunjukkan bahwa Nabi tahu betul bahwa perkara
keyakinan yang ada dalam sanubari tiap-tiap manusia adalah urusan
Allah semata. Sepanjang tiap-tiap individu dan kelompok agama tidak
menunjukkan gelagat aniaya terhadap pihak lainnya, mereka adalah
individu-individu yang bebas dalam beragama dan berkeyakinan.

Nabi tahu betul, hijrah adalah titik balik untuk menciptakan tatanan
masyarakat dimana aspek agama dan keyakinan dapat dijalankan secara
bebas dan bertanggung-jawab.
^ Kembali ke atas

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1317

Kirim email ke