Lima Kesalahan Politik yang Fatal
Rabu, 11 Juni 2008 | 01:06 WIB

Nono Anwar Makarim

Setidaknya ada lima kesalahan fatal dalam politik kebangsaan di
Indonesia sejak awal terbentuknya Republik Indonesia hingga
perkembangannya dewasa ini.

Kesalhan pertama: Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama
Pancasila, Ideologi Bangsa dan Negara, Pembukaan UUD 1945 identik
Piagam Jakarta. Ini anggapan salah saat para pendiri RI merumuskan UUD
kita. Ini anggapan salah saat konsensus nasional terbentuk dan
dirumuskan dalam UUD kita pada tahun 2000.

Pada tahun 1945 Piagam Jakarta tidak masuk dalam rumusan UUD 45 karena
para pendiri NKRI cemas apabila itu dimasukkan, Indonesia bagian timur
dan Indonesia bagian utara akan keluar dari ikrar persatuan dan
kesatuan. Pada tahun 2008 kesalahan itu melanggar konsensus nasional
yang tertuang dalam UUD kita. Jaminan dan perlindungan atas kebebasan
beragama yang tertuang dalam pasal-pasal hak asasi UUD kita adalah hak
asasi yang tak boleh dikesampingkan dalam keadaan apa pun. Kesatuan
dan persatuan RI harus tetap dipelihara.

TNI sadar akan ancaman bahaya terhadap keutuhan ini. Sudah terlalu
banyak jiwa mereka korbankan dalam perang gerilya yang dilancarkan DI
dan TII. Sinyalemen dan keprihatinan ini terungkap dalam pernyataan
Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri di Indonesia timur. Negara hendaknya
jangan dijadikan polisi agama.

Massa agama

Kesalahan kedua: Massa agama yang berdemonstrasi mencerminkan kekuatan
politik. Ini salah, karena jumlah pemilih partai politik beraliran
agama kian mengecil. Pengecilan pengaruh politik diiringi mengerasnya
suara. Yang kehilangan sesuatu selalu lebih keras suaranya ketimbang
yang mendapat sesuatu. Demo juga belum tentu mencerminkan ideologi
mereka yang turut berdemo. Uang tak jarang berperan memobilisasi massa
di kalangan orang miskin yang kini kian miskin.

Poling di seluruh dunia ketiga menunjukkan, kini yang menggerakkan
hati rakyat bukan lagi surga nanti, tetapi hidup yang layak sekarang.
Di Amerika Latin hasil poling menunjukkan, mayoritas rakyat rela
dipimpin junta militer lagi asal kehidupan mereka lebih sejahtera. Ini
mengejutkan karena kekejian rezim militer di Amerika Latin mengalahkan
kekejaman dan pelanggaran hak asasi rezim militer di Asia dan Afrika.

Pelanggaran HAM

Kesalahan ketiga: Bertindak keras terha- dap kekerasan massa merupakan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Yang melanggar HAM bukan tindakan
keras mencegah, melerai, dan menghukum mereka yang menggunakan
kekerasan. Yang melanggar HAM adalah tindakan yang tak proporsional
dibandingkan dengan kekerasan yang ditindak. Yang melanggar hak asasi
adalah penggunaan excessive force, kekerasan yang berlebihan, bukan
kekerasan untuk menghentikan kekerasan.

Kewajiban utama negara dan alatnya adalah the duty to protect,
kewajiban melindungi. Yang wajib dilindungi ialah yang lemah, yang
haknya diinjak-injak, yang dizalimi, yang minoritas, yang tak berdaya,
serta yang kebebasan berpendapat dan berkeyakinannya diancam, dikekang.

Kesalahan keempat: mengecam penyimpangan terhadap asas-asas Pancasila
berisiko kehilangan dukungan mereka yang dikecam. Pertama, yang
dikecam itu minoritas politik yang bersuara besar. Kedua, poling dunia
yang memantau denyut jantung pemilih membuktikan, anggapan ini salah.
Pemilih tak lagi berorientasi pada aliran. Mereka menuntut bukti
peningkatan kesejahteraan.

Sebelum tahun 2004 yang tampak hanya pelarian massa pemilih dari
partai aliran. Pada Pemilu 2004 kita menyaksikan pelarian pemilih yang
spektakuler keluar dari PDI-P, partai nasionalis tambatan jiwa patriot
bangsa dan kaum tertindas. Ideologi penting. Namun, jika harus memilih
ideologi atau sesuap nasi, rakyat memilih hidup berkecukupan.
Loyalitas pemilih beralih pada yang berjanji lebih nyata.

Sikap "tidak bersikap" amat fatal

Kesalahan kelima: Mengambil sikap untuk "tidak bersikap" adalah
bijaksana. Dari semua kesalahan politik yang fundamental, mungkin
inilah kesalahan terbesar. Malapetaka terjadi jika mayoritas berdiam
menyaksikan hal-hal yang tidak benar.

Tahun-tahun menjelang Oktober 1965 sekelompok surat kabar angkat
bicara tentang penyelewengan terhadap doktrin Sukarno dan Pancasila.
Mereka mengga- bungkan diri dalam organisasi yang diberi nama Badan
Pendukung Sukarnoisme (BPS). Atas desakan PKI, Sukarno membubarkan
BPS. Mayoritas diam. Manifesto Kebudayaan lahir dan berupaya
membebaskan ungkapan seni-budaya dari politik sebagai panglima. Atas
desakan PKI, Manifes dilarang. Mayoritas diam. Masyumi dibubarkan, PSI
dibubarkan, Partai Murba dibubarkan; mayoritas berdiam.

Lalu peruncingan keadaan melangkah lebih jauh: PKI menuntut
dibentuknya angkatan ke-5 agar buruh dan tani dipersenjatai. Lalu RRC
menawarkan sejumlah besar senjata ringan untuk tujuan itu.
Keberangkatan rahasia DN Aidit ke China, disusul keberangkatan Sukarno
ke China dan pembicaraan rahasia dengan Chou En Lai. Desas-desus Dewan
Jenderal dan penemuan bukti oleh Chaerul Saleh bahwa PKI akan merebut
kekuasaan. Sukarno jatuh sakit dan ketidakpastian serta rumor politik
mencekam warga negara dalam ketakutan. Semua itu pengantar ke malam
hari tanggal 30 September 1965.

Dalam satu malam, hampir seluruh generale staf TNI dibantai. Baru
setelah darah mengalir, muncul mahasiswa, kekuatan cadangan bangsa di
kota besar seluruh Indonesia. Di luar kota besar terjadi genosida.

Akan gagal

Saya yakin, yang mau dicapai kekuatan-kekuatan ekstrem di Indonesia
akan gagal. Mengubah konstitusi dengan melarang kepercayaan orang,
mengganti konstitusi secara "demokratis" pun akan gagal. Upaya ke sana
oleh kekuatan ekstrem secara terbuka atau kekuatan ekstrem yang
merahasiakan niatnya akan kandas. Indonesia adalah negara minoritas
politik. Tidak bersikap sekarang sekadar akan mematangkan situasi
krisis dan menaikkan harga pemecahannya oleh bangsa. Yang akan terjadi
adalah kemenangan sedikit demi sedikit yang dibiarkan oleh sikap
"tidak bersikap" sampai memuncak dan sekali lagi terjadi pertumpahan
darah. Itu yang membuat sanubari bangsa pedih. Dan untuk apa? Untuk apa?

Tahun 2006, tulisan Sabam Siagian di Suara Pembaruan mengutip pendapat
seorang sarjana yang menyatakan bahwa di negara-negara sedang
berkembang ada yang berkultur membantu kemajuan dan ada juga yang
berkultur menghambat kemajuan. Sabam membandingkan Vietnam dan
Indonesia. Pada dekade 1960-an para sarjana sosial, politik, dan
ekonomi meratapi perkembangan di Indonesia. Istilah yang digunakan
adalah stranded society (masyarakat yang terdampar), lost
opportunities (kesempatan yang dibiarkan berlalu), dan descent into
vagueness (kemerosotan dalam kekaburan).

Detik-detik itu kembali hadir di tengah kita. Sekarang. Di depan mata.
Masyarakat madani Indonesia harap bersiap-siap untuk merosot lagi, dan
lagi, tiada henti...

Nono Anwar Makarim Mantan Pemimpin Redaksi Harian KAMI

Kirim email ke