Sekolah Bukan Tempat Aman bagi Anak
Rabu, 23 Juli 2008 | 01:57 WIB

Hadi Supeno

Spiral kekerasan di masyarakat terus bergulir meski kata damai, aman,
sakinah, dan lainnya juga terus membanjir dari pendidik, tokoh
masyarakat, hingga pejabat pemerintah.

Dalam praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak.
Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan
yang dilakukan orang dewasa.

Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang
menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan
(Darwin, 2000). Pada masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan
fisik. Namun, kini lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada
kekerasan psikis. Yang terakhir lebih sulit mengukurnya karena tidak
tampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian
bagaimana cara penyembuhannya.

Kekerasan meningkat

Data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari
analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun
2007, terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung
diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600 kasus kekerasan terhadap
anak (KTA) yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41 persen di
antaranya terkait pencabulan dan pelecehan seksual, sedangkan 41
persen lainnya terkait pemerkosaan. Sisanya, 7 persen, terkait tindak
perdagangan anak, 3 persen kasus pembunuhan, 7 persen tindak
penganiayaan, sisanya tidak diketahui.

Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007
praktik KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun
sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus
pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008).

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima
anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan,
penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai
eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan,
pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.

Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen
dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan
oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta
ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh
semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru
terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus
KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak
lainnya.

Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk
perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang
pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar
nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian
tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.

Kekerasan di sekolah

Pertanyaannya, mengapa guru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak?
Bukankah guru semestinya menjadi pihak yang paling melindungi anak
setelah orangtua? Boleh jadi karena guru mengalami tekanan kehidupan
yang kian berat, baik yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial,
kehidupan profesi, maupun tekanan psikis lain yang mendorong guru
melakukan tindak kekerasan terhadap murid.

Selain itu, anak-anak juga mengalami kekerasan yang dilakukan
teman-teman sebaya melalui kegiatan perploncoan pada awal tahun
ajaran. Berita perilaku kekerasan oleh teman sebaya yang dilakukan
Geng Nero di Pati (Kompas, 19/6/2008) juga menjadi alasan mengapa
orangtua mengkhawatirkan keamanan anak-anaknya di sekolah.

Tanggung jawab orangtua

Apa pun alasannya, sekolah bukan lagi tempat yang aman bagi anak-anak.
Maka, selayaknya siapa pun menaruh perhatian lebih besar terhadap
keamanan anak di sekolah.

Pertama, kita harus menegakkan prinsip perlindungan anak sebagaimana
diamanatkan Konvensi Hak Anak PBB dan UU No 23/2002 tentang prinsip
perlindungan anak, yaitu the best interest for children (kepentingan
terbaik bagi anak). Implementasinya, semua perencanaan manajemen
sekolah dan para pihak harus mempertimbangkan aspek-aspek perlindungan
anak, dari bagaimana anak beradaptasi, anak berkomunikasi dengan
sekolah, perlakuan senior terhadap yuniornya, perlakuan guru terhadap
siswa, aneka peraturan yang menekan siswa, hingga kepastian ke mana
dan dengan siapa seorang anak pergi pulang sekolah.

Kedua, orangtua tak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitu saja
kepada sekolah karena merasa sudah membayar berbagai pungutan dan
menganggap segalanya beres. Sebagai pelindung utama, orangtua tetap
merupakan pihak paling bertanggung jawab atas keselamatan anak hingga
dewasa. Karena itu, pengawasan seperti apa anak- anak diperlakukan
oleh sekolah harus tetap diketahui orangtuanya.

Ketiga, birokrasi pendidikan harus lebih intens memantau budaya
sekolah dan karakter para guru sehingga yakin anak-anak dijamin aman
secara pisik dan psikis selama di lingkungan sekolah. Perekrutan guru
di masa kini bukan hanya berdasarkan kualifikasi, tetapi lebih
menyangkut aspek stabilitas mental, kapasitas intelektual, dan
profesionalitas.

Sekolah jangan sampai menjadi penampungan orang-orang frustrasi, atau
bermasalah, atau sekadar pekerjaan antara sebelum mendapat pekerjaan
lain karena pada saatnya kondisi mental yang ada akan dilampiaskan
dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap siswa.

Lebih dari itu, fakta-fakta kekerasan terhadap anak di sekolah bukan
saja membuktikan bahwa sekolah bukan panacea bagi penyembuhan problem
sosial, tetapi justru sebaliknya menjadi sumber masalah baru yang
lebih berat dan kompleks.

Kekerasan terhadap anak di sekolah harus diwaspadai karena Sigmund
Freud mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa
seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak (Corey,
2001). Jadi, jika kini anak-anak diperlakukan dengan penuh kekerasan,
kelak mereka akan menjadi pelaku kekerasan yang mungkin jauh lebih
hebat dibandingkan perlakuan kekerasan yang diterima saat anak-anak.

Sebelum spiral kekerasan itu melenting beramplitudo mewujud dalam
bentuk yang dahsyat dan mengerikan, kita harus lindungi anak-anak
Indonesia dari kekerasan di sekolah. Jadikan sekolah sebagai tempat
pendidikan ramah anak. Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2008.

Hadi Supeno Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)


Kirim email ke