Mengolah Buah Ganitri, Raih Omzet Ratusan Juta Rupiah

Peluh membasahi tubuh Komari usai menebang 20 pohon kelapa di halaman
rumahnya. Aksi tebang pohon berumur 70 tahun itu keruan mengundang
tawa warga Desa Dongdong, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa
Tengah. Kelapa yang serbaguna itu tumbang satu per satu. Di bekas
lahan kelapa itulah ia menanam 73 bibit ganitri.
Empat tahun usai aksi tebang pohon itu, pada Juni 2002 orang-orang
yang dulu menertawakan terperangah. Ketika itu Komari menuai 30 kg
buah ganitri hanya dari 8 pohon. Omzet yang diraih Komari mencapai
Rp8-juta.

'Memanen biji ganitri jauh menguntungkan dibanding kelapa,' ujar pria
kelahiran Cilacap 31 Desember 1925 itu. Bila sebatang kelapa
menghasilkan 10 buah per bulan, ia paling-paling mengantongi Rp10.000
per pohon. Di kota minyak itu harga sebuah Cocos nucifera hanya
Rp1.000.

Pendapatan itu lebih kecil ketimbang hasil penjualan ganitri, 'Panen
perdana satu pohon ganitri menghasilkan Rp250.000-Rp1,3-juta. Itu
belum termasuk panen susulan,' kata pensiunan perangkat desa itu.
Tinggi rendahnya pendapatan itu lantaran ukuran biji yang tak seragam
dari setiap pohon. Padahal, biji klitri-sebutannya di Madura-dihargai
berdasarkan ukuran. Semakin kecil ukuran biji, kian tinggi harganya.

Naik terus

Menurut Komari, 'Dari satu pohon belum tentu ada yang berukuran
kecil.' Biji ganitri dikelompokkan dalam 11 nomor, nomor 1-ukuran
diameter 5 mm-adalah yang terkecil dan termahal. Nomor berikutnya
setiap kenaikan 0,5 mm. Kelas 1-9 dihargai per butir, sedang nomor 10
dan 11 dihargai per kilogram.

Sejak pamornya naik, harga itu tak pernah turun, bahkan terus naik.
Pada 1960 harga sebuah biji kelas 1 Rp0,5; sekarang, Rp152. Bandingkan
dengan harga biji kelas 10 berukuran 9,5 mm mencapai Rp11.000 per kg;
nomor 11 berukuran di atas 10 mm, Rp2.000 per kg. Setiap kenaikan
diameter 0,5 mm, harga semakin turun. Harga sebuah biji nomor 9 ukuran
9 mm- Rp10.

'Kelihatannya murah, tapi bila diakumulasikan bisa mencapai jutaan
rupiah per pohon,' papar ayah 3 anak itu. Dari sebuah pohon, biji yang
termasuk kelas 1-9 tak sampai 20%. Pada panen perdana ketika pohon
berumur 4 tahun, produksi mencapai 350.000 butir. Pekebun memanen buah
pada September-Februari.

Varietas yang dibudidayakan Komari berproduksi ketika berumur 2 tahun;
jenis lokal, umur 6-7 tahun. Batang varietas super lebih pendek
sehingga memudahkan panen. Jenis super berumur 4 tahun tingginya 4
meter; lokal, 10-15 meter. Nah, jenis super itu lebih banyak
menghasilkan biji kelas 1- 9. Dengan jarak tanam 6 m x 6 m, populasi
ganitri di lahan 1 ha mencapai 120 pohon. 'Setengahnya sudah berbuah
dan siap panen 2 bulan mendatang,' kata pria 72 tahun itu.

Di Desa Dongdong, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Komari bukan
satu-satunya pekebun ganitri. Saat ini terdapat 70 pekebun yang
membudidayakan pohon anggota famili Elaeocarpaceae itu di Cilacap.
Setelah Komari sukses meraup laba besar, mereka ingin mengikuti
jejaknya. Rata-rata mereka menanam 2-10 pohon mata dewa alias ganitri
di pekarangannya.

Belum dikebunkan

Untuk apa biji ganitri itu? Pemeluk agama Hindu menggunakan biji
ganitri sebagai sarana peribadatan. Biji-biji itu diuntai membentuk
rangkaian seperti tasbih bagi penganut Islam atau rosario bagi kaum
Nasrani. Itulah sebabnya pasar terbesar biji ganitri ke India dan
Nepal. Negara di Asia Selatan itu penganut Hindu terbesar. Tak hanya
itu, ganitri dipercaya berkhasiat obat berbagai penyakit (baca: Mata
Siwa Penyapu Polutan halaman 116).
Di Indonesia ganitri lebih dikenal sebagai pohon pelindung. 'Tak
banyak orang Indonesia yang mengebunkannya,' tutur Soma Temple,
pengusaha ganitri di Bali. Itulah sebabnya Soma kadang-kadang
kesulitan mencari bahan baku dan harus mengimpor dari India dan Nepal.
Di bawah label Aum Rudraksha, ia rutin memasarkan minimal 100 mala
alias tasbih ganitri ke Australia, Jepang, dan Italia. Harga termurah
berkisar Rp50.000-Rp80.000. Jika menginginkan desain khusus, harganya
lebih mahal.

Selain di Cilacap, sentra penanaman ganitri juga ada di Desa
Gadungrejo, Kecamatan Klirong, Kebumen, Jawa Tengah. Menurut staf
Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Kebumen, Supono, total
penanaman 35 ha dengan produksi per ha mencapai 1,9 ton. Kasimun dan
Jasmin, membudidayakan masing-masing 18 dan 8 pohon jenis super di
lahan 1.875 m2 dan 200 m2.

Panen perdana 3 pohon milik Jasmin berlangsung pada April 2007. Ia
menuai 6.000 biji kelas 5, 5.000 biji (4), 3.000 biji (3), 2.000 biji
(2), dan 750 biji (1). Sisanya masuk nomor 10-11. Dari penjualan itu
Jasmin mengantongi Rp2,1-juta. Ia pun berhasrat menambah populasi
pohon hingga 20 batang.

Laba itu memang terbilang besar. Sebab, biaya pemeliharaan sebatang
pohon rudraksa relatif kecil. Komari hanya menghabiskan Rp7.500 per
pohon per tahun. Dana itu untuk pemupukan dan penyiraman. Artinya,
dari 3 pohon milik Jasmin yang sudah berproduksi, menelan biaya
Rp22.500. Harga sebuah bibit sambung susu Rp100.000. Hasilnya mencapai
jutaan rupiah dalam setahun.

Palsu

Bukan berarti usaha Kasimun selalu mulus. Awal menanam 40 bibit
sambung susu yang didatangkan dari Cilacap mati menyisakan 18 batang
saja. Kerugian yang dideritanya sekitar Rp2-juta. 'Bibit patah karena
tak tahan diterpa angin,' kata Kasimun. Tak mau mengulangi kisah pahit
itu, ia selalu memberi ajir setiap bibit yang baru ditanam dengan
bambu sampai umur 1,5 tahun. Hama yang ditemui biasanya berupa ulat
cokelat yang makan dan bersarang di dalam batang muda. Akibatnya
tanaman kering dan mati. Jika hambatan teratasi, peluang bisnis
ganitri masih terbentang.

Biji Elaeocarpus ganitrus dapat dijual dalam keadaan basah maupun
kering. Namun, kebanyakan pekebun menjual kering lantaran keuntungan
lebih besar. Dalam keadaan basah, biji kelas 1 dapat digolongkan nomor
3 karena kulit pembungkus biji cukup tebal. Apalagi mengupas kulit
buah mudah dilakukan. Pekebun biasanya merebus buah ganitri dalam air
mendidih selama 2 jam. Setelah kulit luar melunak, pekebun
membersihkan dan menjemurnya selama 18 jam.

Pekebun seperti Komari menyetorkan biji kering kepada eksportir di
Jakarta. 'Berapa pun volumenya diambil,' katanya. Eksportir
membutuhkan 320 ton ganitri sekali kirim. Syaratnya biji ganitri harus
cerah. Dibutuhkan saringan untuk menyeleksi biji ganitri dalam 11
kelompok dan menghitung jumlah biji setiap kelas.

Berapa pun harganya, selalu dibayar tunai. Dari setiap kelas yang ia
beli, Komari mengutip minimal Rp10 per butir. Setiap musim panen
rata-rata ia membeli hingga 1,5 ton ganitri dengan total pembelian
seharga Rp600-juta. Sebagai pengepul, laba bersihnya lebih dari
Rp100-juta per bulan.

Menurut Indian Times, setiap tahun jutaan biji rudaksa asal Indonesia
masuk ke India. Nilai transaksi diestimasi mencapai Rp500-miliar.
Kelangkaan dan tingginya kebutuhan itu memunculkan penjual nakal yang
memperdagangkan biji ganitri palsu. Tidak semestinya berbisnis
pengingat Tuhan kok menyediakan mala palsu. |sumber:tbs]

Citation: 
http://korannias.wordpress.com/2007/11/12/mengolah-buah-ganitri-omzet-ratusan-juta-rupiah/


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke