Sufisme Islam untuk Perdamaian Dunia
Banyak yang Terjebak Pola Keagamaan yang Instan dan Sesaat
Selasa, 9 September 2008 | 00:13 WIB

Jakarta, Kompas - Nilai-nilai sufisme Islam dapat dijadikan sebagai
nilai yang mendorong tercipta dan terjaganya perdamaian dunia. Ajaran
sufi menempatkan setiap peristiwa dalam kerangka takdir Allah dan
menempatkan setiap usaha yang dilakukan dalam kerangka untuk mencari
rida Allah.

Demikian diungkapkan pengasuh sejumlah majelis sufi KH Luqman Hakim
dalam peringatan hari jadi ke-4 The Wahid Institute (TWI) di Jakarta,
Senin (8/9). Peringatan yang bertema "Sufisme Islam untuk Perdamaian
Dunia" ini dihadiri sejumlah penggiat keagamaan yang moderat dan
plural, pendiri TWI Abdurrahman Wahid, dan Direktur TWI Zannuba Arifah
Chafsoh.

Menurut Luqman, umat Islam saat ini banyak yang terjebak dalam
pola-pola keagamaan yang instan dan sesaat. Kondisi ini terlihat dari
upaya sekelompok orang untuk memaksakan pemahamannya tanpa dilandasi
ilmu yang memadai. Kelompok ini selalu beranggapan, semua persoalan
kehidupan dapat diselesaikan hanya dengan Islam.

"Ini merupakan upaya pemaksaan terhadap nilai-nilai Islam. Padahal,
mereka sebenarnya bukan sedang menyuarakan Islam. Mereka justru sedang
menyuarakan nafsu mereka tentang Islam," katanya.

Banyak pula masyarakat yang hanya ingin melakukan ibadah secara
praktis dan populis. Mereka hanya mau melakukan ritual keagamaan
secara sesaat dan cepat. Selanjutnya, mereka meminta Tuhan yang
bekerja atas apa yang mereka pinta

Luqman menambahkan, keberhasilan perdamaian dunia sangat ditentukan
oleh para pelakunya. Penyelesaian berbagai persoalan tanpa kekerasan
harus dilakukan secara konsisten oleh para penggiat perdamaian.

Ideologi kekerasan yang ada selama ini, lanjut Luqman, muncul dari
pemikiran atas kekerasan. Dalam konteks sufi, upaya mencegah perbuatan
jahat hanya boleh dilakukan dengan mulut dan tangan tanpa melibatkan
hati. Hati hanya melihat persoalan yang terjadi sebagai takdir Tuhan.
Pelibatan hati dalam setiap penyelesaian persoalan hanya akan
melahirkan kemarahan dan kekerasan. "Laut dapat menjadi contoh
kehidupan plural yang sesungguhnya. Meskipun di laut terdapat berbagai
hal, mulai dari organisme hingga limbah, tetapi sifat asli air laut
yang asin tak berubah," katanya.

Sementara itu, Zannuba berharap TWI ke depan akan lebih mampu menjaga
kehidupan bangsa yang berbeda-beda dan mengelola kebhinnekaan itu agar
tidak menimbulkan perpecahan bangsa. (MZW)

Kirim email ke