Di Mana dan ke Mana Indonesia?
Sabtu, 18 Oktober 2008 | 00:41 WIB 

Ahmad Syafii Maarif

Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia sesudah China, 
India, dan Amerika Serikat. Tahun 2015 penduduk bumi naik menjadi 
delapan miliar. Indonesia sekarang sekitar 225 juta orang, naik lebih 
tiga kali lipat saat kita menyatakan kemerdekaan tahun 1945.

Optimisme untuk melawan kemiskinan global kian kuat. Angka statistik 
sebagaimana dikutip Fareed Zakaria dalam buku terbaru, The Post-
American World (Mei 2008) dan sumber lain menjelaskan semua itu. 
Tahun 1981 ada sekitar 40 persen penduduk dunia dengan penghasilan 
hanya satu dollar AS per hari, tahun 2004 tinggal 18 persen. 
Diharapkan pada tahun 2015 akan menurun sampai 12 persen. Terorisme 
juga akan jauh berkurang dalam beberapa tahun mendatang karena rakyat 
telah semakin membencinya. Dengan demikian, ketakutan kaum neokons 
AS, termasuk McCain, terhadap bahaya teror kian kehabisan alasan.

Kelompok neokons tidak saja cemas terhadap bahaya teror yang dapat 
mengancam negerinya, mereka juga amat khawatir bahwa AS akan kian 
kehilangan wibawa global, bahkan keruntuhan, sebagaimana penulis 
Perancis Emmanuel Todd telah mengatakan demikian sejak tahun 2002 
dalam buku terkenal: After the Empire: The Breakdown of the American 
Order. Todd juga yang pernah meramalkan kehancuran Uni Soviet tahun 
1975, jauh sebelum perestroika Mikhail Gorbachev dilancarkan.

Saya sendiri saking marah terhadap Bush pernah terpukau oleh Todd 
bahwa nasib AS tinggal menunggu waktu untuk jatuh. Namun dengan karya 
Fareed Zakaria itu, saya harus bersikap lebih berhati-hati tentang 
hari depan AS. Yang akan terjadi bukan hancurnya AS sebagai bangsa 
dan negara, tetapi dalam ungkapan Zakaria adalah karena the rise of 
the rest (munculnya pusat-pusat kekuatan baru) yang dapat menyaingi, 
bahkan mengalahkan AS, khususnya di bidang ekonomi dan investasi. 
Bukankah sekarang dana investasi terbesar di planet bumi ada di Abu 
Dhabi, pusat industri film terbesar dunia adalah Bollywood (Mumbai, 
India), bukan lagi Hollywood? Gedung tertinggi kini di Taipei, 
sebentar lagi di Dubai. Perusahaan publik terbesar ada di Beijing, 
bukan di New York. Pesawat penumpang terbesar dibuat di Eropa, bukan 
di AS.

Dengan demikian, AS sebagai adikuasa satu-satunya pasca-Perang Dingin 
telah berakhir. Meski dari segi militer, AS masih kuat, hulu ledak 
nuklirnya berjumlah 830, dibandingkan China hanya 20, tetapi sudah 
tidak bisa lagi mendikte dunia, seperti dilakukan selama lebih dari 
setengah abad terakhir. Beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan 
Afrika kini berlomba bangkit.

Indonesia 2015

Berbagai kekuatan baru itu sebenarnya sudah dikenali, yaitu: China, 
India, Brasil, plus Korea Selatan, Singapura, Taiwan, Cile, Afrika 
Selatan, Malaysia, Argentina, dan Rusia. Pertanyaannya, di mana dan 
ke mana Indonesia tahun 2015? Brasil yang dulu sarat korupsi, dengan 
kepemimpinan visioner, segalanya mulai berubah secara fundamental. 
Negeri jiran Malaysia, meski terjadi keretakan politik domestik, toh 
fundamental ekonominya lebih tertata.

Di Indonesia, dalam tenggang 10 tahun reformasi belum terjadi 
perubahan yang mendasar di bidang ekonomi. Birokrasi kita masih korup 
dan tidak efisien. Kita tetap rentan menghadapi gejolak pasar dunia; 
bukan saja rentan, bahkan sering lingkung. Apakah negeri kita terlalu 
luas dan sulit diatur? Inilah yang memprihatinkan, mengapa negeri 
kepulauan ini belum melahirkan negarawan yang siuman dan paham betul 
bagaimana memperbaiki keadaan agar bangsa ini lebih bermartabat dan 
punya kebanggaan diri.

Memang ada administrator di posisi bagian puncak yang cakap dan 
berani, tetapi sungguh sulit untuk dijual di pangsa pasar politik. 
Polling-polling yang ada tetap menyudutkan tokoh ini, padahal dialah 
pemain sebenarnya di balik keberhasilan negara ini dalam mengatasi 
masalah Poso dan Aceh.

Adapun di bidang ekonomi, kita masih rapuh. Resep-resep IMF dan Bank 
Dunia untuk perbaikan fundamental ekonomi sejak beberapa tahun ini 
adalah cerita kegagalan meski ada saja ekonom kita yang tercuci 
otaknya oleh resep itu.

Pemimpin visioner

Fareed Zakaria tentu belum akan memasukkan Indonesia dalam kategori 
the rise of the rest karena argumen dan data statistik untuk itu 
belum tersedia. Inilah sebuah negeri yang sebenarnya tidak terlalu 
miskin dalam sumber alam, tetapi amat sulit menemukan pemimpin 
visioner yang berani ambil risiko untuk kepentingan lebih besar: 
bangsa dan negara.

Politisi jangan ditanya lagi. Prioritas utama mereka umumnya adalah 
bagaimana menggerogoti harta negara untuk kepentingan sesaat. Sungguh 
tragis, lingkungan kultur kita tetap kumuh. Dengan tingkat kemiskinan 
sekarang berdasar standar dua dollar AS per hari per kepala, angkanya 
pasti di atas 100 juta warga negara atau sekitar 40 persen yang masih 
berkubang dalam kemiskinan.

Mati karena berebut zakat beberapa waktu lalu adalah salah satu 
indikator tentang keadaan riil masyarakat kecil kita. Drama ini amat 
menyakitkan. Namun, itulah realitas kita. Saya tidak tahu berapa 
jumlah elite politik kita yang benar-benar punya keprihatinan tentang 
bangsa ini?

Jika pada tahun 2015, angka kemiskinan dunia akan turun menjadi 12 
persen, bagaimana Indonesia tahun 2014 saat pemilu kita laksanakan 
lagi? Proses demokratisasi yang tidak punya dampak positif bagi 
perbaikan gizi rakyat adalah sebuah malapetaka meski peradaban 
manusia belum menemukan sistem politik yang lebih baik dari 
demokrasi. Di sinilah dilemanya, di sinilah tantangan besar itu 
sedang berada di depan bangsa kita. Bahwa kita bisa bangkit, saya 
tidak meragukan, tetapi itu harus dilakukan dengan kesadaran penuh 
dan siap berkorban, dimulai dari pemimpin sebagai pelayan publik.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum Muhammadiyah
 

Kirim email ke