Fadjroel quo vadis ? Asa karak nagdenge diskriminasi sosial-ekonomi...pan nu
aya mah economics disparity..kulantaran nagnut sistim kapitalis......

On 10/29/08, Rahman <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>   Dua Indonesia, Satu Sumpah Pemuda
> Rabu, 29 Oktober 2008 | 00:32 WIB
>
> Oleh M Fadjroel Rachman
>
> Apa gunanya merayakan 80 tahun Sumpah Pemuda bagi 52,1 juta buruh dan
> satu juta keluarga nelayan yang masih menerima upah kurang dari dua
> dollar AS per hari, bagi 13,7 juta kepala keluarga petani dengan
> lahan kurang dari 0,5 hektar, bagi 9.427.600 orang penganggur terbuka?
>
> Jadi, apa gunanya Sumpah Pemuda bagi 52,1 juta buruh plus 68,5 juta
> petani (13,7 juta KK x 5 orang) plus lima juta nelayan (satu juta KK
> x 5 orang) = 125,6 juta orang ditambah 9.427.600 penganggur terbuka,
> di mana sebanyak 4.516.100 adalah lulusan SMA, SMK, program diploma,
> dan universitas. Mereka berpendapatan kurang dari 2 dollar AS per
> hari?
>
> Secara sosial-ekonomi, mereka adalah warga negara Indonesia kelas
> dua. Partisipasi politik mereka disepelekan, hanya diperlukan untuk
> memilih calon presiden/wakil presiden dari partai politik dan
> independen (seyogianya dikabulkan Mahkamah Konstitusi agar 171 juta
> warganegara pemilih memiliki hak untuk dipilih sebagai calon presiden
> 2009 nanti dan seterusnya) serta anggota DPR/DPD/DPRD I/ DPRD II pada
> tahun 2009.
>
> Diskriminasi sosial-ekonomi
>
> Bila ada 125,6 juta orang ditambah 9.427.600 penganggur sebagai warga
> negara kelas II, lalu siapa warga negara kelas I secara sosial-
> ekonomi dan politik? Sepanjang empat tahun terakhir (2002-2006) 40
> persen warga negara kelas II hanya menguasai pendapatan nasional
> sekitar 20,92 persen (2002), 20,57 persen (2003), 20,80 persen
> (2004), 18,81 persen (2005) dan 19,75 persen (2006), sedangkan 20
> persen warga negara kelas satu menguasai pendapatan nasional sekitar
> 42,19 persen (2002), 42,33 persen (2003), 42,07 persen (2004), 44,78
> persen (2005) dan 42,15 (2006) dari Income Distribution by
> Classification World Bank, BPS, 2002-2006.
>
> Tentu ada segelintir puncaknya, misalnya untuk 40 konglomerat nilai
> kekayaan mereka 40,1 miliar dollar AS atau rata-rata 1 miliar dollar
> AS (Forbes Asia 2007, dan Tempo 18 Mei 2008), termasuk Wakil Presiden
> Jusuf Kalla di urutan ke-30 dengan kekayaan 230 juta dollar AS; Wakil
> Ketua MPR Aksa Mahmud 340 juta dollar AS. Dan, yang ada di puncak
> adalah keluarga Aburizal Bakrie (Menko Kesejahteraan Rakyat) sebesar
> 5,4 miliar dollar AS. Bahkan, Globe Asia (Mei 2008) menobatkannya
> terkaya nomor satu di Asia Tenggara dengan nilai 9,2 miliar dollar
> AS, jauh di atas Robert Kuok (Malaysia), 7,6 miliar dollar AS dan Ng
> Teng Pong (Singapura), 6,7 miliar dollar AS.
>
> Kemiskinan akut dan ketimpangan sosial-ekonomi (antarpenduduk,
> daerah, Jawa versus Luar Jawa, serta sektoral) atau diskriminasi
> sosial-ekonomi. Inilah yang membelah dua wajah Indonesia, wajah
> 220.963.634 penduduk (BPS, 2004) di wilayah seluas 1.860.359,67
> kilometer persegi. Kita memiliki manusia terkaya di Asia Tenggara
> tetapi juga dihantui kematian tragis empat anak berusia di bawah lima
> tahun atau balita penderita gizi buruk di Kabupaten Lebak, Banten
> (Kompas, 5/2).
>
> Kata Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006 sebagai perintis
> Bank Grameen di Banglades, "Separuh penduduk dunia (tiga miliar jiwa)
> hidup dengan 2 dollar AS per hari. Lebih dari satu miliar dari mereka
> hidup dari pendapatan kurang dari 1 dollar AS per hari. Ini bukan
> formula perdamaian." Berarti diskriminasi sosial-ekonomi di Indonesia
> sekarang juga bukan formula perdamaian.
>
> Sumpah Pemuda
>
> Diskriminasi sosial-ekonomi itu terjadi karena Sumpah Pemuda hanya
> dimaknai sekadar bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan
> berbahasa Indonesia. Sekadar merasa bersatu secara kolektif dari
> sekelompok manusia sebagai sebuah keluarga besar (Gustavo de las
> Casas, Foreign Policy, 2008). Bila Sumpah Pemuda dimaknai ala
> kadarnya, nama Indonesia dapat saja lenyap seperti sebelum sebutan
> antropologis tahun 1850, ketika JR Logan memerlukan sebuah nama untuk
> menyebut penduduk serta kepulauan yang membentang antara benua
> Australia dan Asia.
>
> Indonesia bukan sekadar kata, tetapi kumpulan makna dan cita-cita
> yang dipilih dengan kesadaran historis. Dari Kebangkitan Nasional,
> Sumpah Pemuda, Proklamasi dengan Pembukaan UUD 1945, setidaknya ada
> tiga makna tak terpisahkan yang merupakan upaya abadi manusia yang
> dikukuhkan founding mothers and fathers kita, yaitu emansipasi sosial
> dan emansipasi individual.
>
> Makna praktis-visioner Indonesia itu berupa: Pertama, pembebasan
> nasional; Kedua, pembebasan sosial; Ketiga, pembebasan individual.
>
> Makna pembebasan nasional dipertanyakan hari ini bila aset strategis
> sumber daya alam kita tak bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat,
> sebagian besar hanya memperkaya korporasi global yang beroperasi di
> Indonesia, Untuk apa pembebasan nasional bila tidak diikuti
> pembebasan sosial dan individual, bila tidak menjamin setidaknya lima
> hak dasar warga negara (hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan
> budaya), bukankah lebih baik bangsa-bangsa pembentuk Indonesia
> berpisah, menciptakan demokrasi dan kesejahteraannya sendiri-sendiri?
>
> Pilihan strategis untuk melakukan nasionalisasi selektif dan pajak
> progresif merupakan upaya menciptakan Indonesia tanpa kemiskinan,
> meminimalkan diskriminasi sosial-ekonomi yang membelah wajah
> Indonesia. Diskriminasi sosial-ekonomi itu pula yang menyumbang
> hancurnya solidaritas nasional di Indonesia: 69,5 persen (lemah),
> 27,0 persen (kuat), 3,5 persen (tidak tahu) karena tak ada toleransi
> antargolongan (kaya-miskin): 73,1 persen (lemah), 23,7 persen (kuat),
> 3,2 persen (tidak tahu) dari Jajak Pendapat Kompas 21-23 Mei 2008.
>
> Regenerasi kepemimpinan nasional 2009 dan 2014, terutama kepada kaum
> muda-progresif, nanti hendaknya memberi makna Sumpah Pemuda sebagai
> pembebasan nasional, pembebasan sosial, dan pembebasan individual.
> Bila tidak, benarlah ucapan Bung Hatta, "Revolusi kita menang dalam
> menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa.
> Tetapi, revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya."
>
> M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara
> Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
>
>  
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke