Kurban Memberdayakan Rakyat
Besar Potensi Ekonomi dari Hulu sampai Hilir
Selasa, 9 Desember 2008 | 02:06 WIB 

Jakarta Kompas - Pelaksanaan kewajiban memotong hewan kurban setiap 
hari raya Idul Adha, bukan hanya menjadi momentum penyantunan fakir 
miskin. Berkurban hendaknya diarahkan pula kepada paradigma 
pemberdayaan ekonomi rakyat dalam konteks pembangunan bangsa untuk 
mengatasi kemiskinan.

Demikian kesimpulan pengamatan lapangan dan wawancara Kompas dengan 
sejumlah ahli agama dan ekonomi serta praktisi peternakan terkait 
pelaksanaan Idul Adha kali ini, yang di dalamnya terdapat pula 
kewajiban memotong hewan kurban bagi masyarakat muslim mampu untuk 
dibagikan kepada dhuafa.

Tidak ada catatan pasti kebutuhan hewan kurban setiap tahun. Yang 
pasti, secara nasional produksi daging dan kebutuhan konsumsi daging, 
termasuk ternak untuk kurban, masih timpang. Indonesia masih 
mengimpor sapi sebanyak 450.000 ekor setiap tahun.

Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI memperkirakan 
kebutuhan hewan kurban tahun ini tidak kurang dari 4.667 sapi, 100 
kerbau, 33.491 kambing dan 1.892 ekor domba.

Kebutuhan akan hewan kurban setiap momentum tahunan Idul Qurban tiba, 
pada sisi lain terbukti menggerakkan ekonomi rakyat, mulai dari budi 
daya peternakan hewan sampai industri manufaktur yang mengolah daging 
menjadi kornet dan produk lainnya.

Dompet Dhuafa misalnya, telah mengubah gerakan berkurban untuk 
santunan menjadi gerakan ekonomi rakyat. Begitu pula Rumah Zakat 
Indonesia, memasuki tahap industrialisasi, mengelola daging kurban 
menjadi produk olahan tahan lama. Dengan demikian, dua tujuan 
mendasar dapat tercapai, yakni menyantuni kaum miskin dan 
memberdayakan ekonomi rakyat.

"Inilah yang dinamakan kurban sebenarnya. Tidak hanya menyembelih 
hewan dan membagi daging, tetapi mampu membuat suatu gerakan 
perekonomian kuat dan meningkatkan pendapatan keluarga miskin," kata 
Agustianto ahli ekonomi Islam menanggapi gerakan sejumlah badan zakat 
dan sosial yang mengelola gerakan berkurban menjadi gerakan 
pemberdayaan masyarakat.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam 
ini menambahkan, momentum Idul Adha dengan menyembelih hewan kurban 
untuk miskin hanyalah makna simbolik. Pada dasarnya semangat untuk 
berbagi dan membantu kaum miskin untuk bisa hidup mandiri adalah 
filosofi sebenarnya.

Seharusnya hal itu dilakukan setiap saat, tidak hanya waktu Idul 
Adha. Pengelolaan zakat setiap tahun, katanya, seharusnya juga 
menjadi gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Menurut dia, dengan penduduk 230 juta lebih dan sekitar 200 juta di 
antaranya umat muslim, potensi kurban, zakat, infaq, sadaqah bisa 
mencapai Rp 100 triliun per tahun. Dari angka Rp 100 triliun itu, 
sebagian bisa dipakai untuk menafkahi warga tidak mampu, misalnya 
lanjut usia, janda, ataupun anak yatim. Sebagian lainnya membangun 
fasilitas umum. "Warga miskin lain yang masih bisa bekerja hendaknya 
diberikan pelatihan kerja, pelatihan wirausahawan, dan diberi 
pinjaman modal kerja," katanya.

Kendala dokrinal

Akan tetapi, potensinya besar itu terkendala masalah doktrinal dan 
manajerial, sehingga menguap begitu saja. "Hari itu hewan kurban 
dipotong, hari itu dibagikan, dan hari itu juga habis. Belum terjadi 
investasi lebih jauh," kata JM Muslimin, Penanggung Jawab Program 
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Zakat, Infak, Wakaf, Shodaqoh, dan 
Kurban, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif 
Hidayatullah, Ciputat.

Potensi kurban, menurut Muslimin menjadi semakin besar jika ditambah 
potensi ekonomi haji. Sekitar 200.000 orang per tahun berhaji dengan 
biaya sekitar Rp 32 juta tiap orang. Sayangnya, kegiatan kurban masih 
cenderung bersifat doktrinal penyantunan sesaat. Padahal, kegiatan 
berkurban sebenarnya bisa diarahkan ke aspek yang lebih luas dan 
produktif. Kurban tidak sekedar aset konsumtif yang habis seketika, 
tetapi bisa dikelola lebih produktif, menggerakkan ekonomi rakyat 
lebih luas dan sesuai prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Kemandirian

Awalnya hanya ingin membawa daging korban dari Jakarta ke daerah 
lain, tetapi lembaga zakat dan infaq Dompet Dhuafa (DD) tidak hanya 
membuat warga miskin menikmati daging saat lebaran, tetapi masyarakat 
bisa pula merasakan jadi juragan kambing kecil-kecilan, sampai 
menjaga varietas bibit unggul ternak.

Purnomo, Direktur Tebar Hewan Kurban DD mengatakan pihaknya telah 
mempunyai "Kampoeng Ternak", program pembudidayaan peternakan di 18 
provinsi. Kampung Ternak ini melibatkan 1.564 petani dan peternak 
miskin. Awalnya hanya program penggemukan ternak dengan menyerahkan 
5-8 ternak untuk dibesarkan, tetapi ketika ternak jantan 
dikhawatirkan berkurang karena selalu dipotong ketika musim kurban, 
timbul ide mengembangbiakkan bibit ternak.

Gerakan penyebaran daging itu kini menjadi sebuah gerakan ekonomi 
yang menyebar dari Garut hingga Halmahera, melibatkan tidak kurang 
dari 2.000 orang secara langsung dan menciptakan wirausahawan baru di 
berbagai daerah mulai dari Klaten, Tulungagung dan berbagai daerah 
lain. "Peternak yang dulu miskin kini sudah banyak berhasil berbisnis 
ternak. Bisa beli tanah, bisa mandiri," kata Purnomo.

Omzet DD untuk kegiatan kurban saja mencapai sekitar Rp 14 miliar. 
Kampoeng Ternak bahkan sudah jadi tempat wisata bahkan tempat 
pelatihan beternak kambing atau sapi.

Rantai bisnis hewan kurban itu belum berhenti sampai di sini. RZI 
melalui program Superkurban, memproses daging menjadi kornet 
kalengan, yang berarti melibatkan proses industrialisasi. Proses 
pengalengan semula di luar negeri, kini diolah di dalam negeri, 
sehingga memberi nilai tambah dan kemandirian ekonomi domestik.

Hewan kurban tetap dipotong sesuai hukum berkurban, yakni sampai hari 
ketiga Idul Adha. Namun, daging dikemas tahan lama, bisa sampai tiga 
tahun. Jangkauan penerimanya lebih luas dan tidak terkendala ruang 
atau komunitas di sekitar rumah orang yang berkurban.

Produksi RZI berupa kornet kaleng 200 gram, bukan hanya menjangkau 
orang miskin, juga telah berkontribusi dalam membantu warga yang 
terkena bencana, seperti di Aceh, Sulawesi, dan daerah lainnya.

Selain itu, menurut Manajer Marketing dan Komunikasi RZI Dyana 
Widiastuti, RZI juga mendisribusikan kornet mungil ini untuk 
perbaikan gizi masyarakat. Ada 207 tempat yang menjadi sasaran 
kegiatan yang dinamai integrated community development, salah satunya 
daerah Cilincing, Jakarta Utara. Sejumlah warga menerima kornet 1 
kali dalam 2-4 minggu.

Kendala doktrinal

Apabila dikelola secara baik, maka potensi kurban untuk wilayah 
Jabodetabek saja bisa mencapai hampir Rp 100 miliar. Sebuah nilai 
yang besar, hanya saja karena kendala doktrinal dan manajerial, 
membuat potensi itu menguap.

"Hari itu hewan kurban dipotong, hari itu dibagikan, dan hari itu 
juga habis. Belum terjadi sebuah investasi lebih jauh," kata DR JM 
Muslimin Penanggung Jawab Program Pemberdayaan Masyarakat Melalui 
Zakat, Infak, Wakaf, Shodaqoh, dan Kurban, Fakultas Syariah dan Hukum 
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat.

Potensi kurban, menurut Muslimin menjadi semakin besar jika ditambah 
dengan haji. Ada sekitar 200.000 orang (per tahun) berangkat ke Arab 
Saudi dengan biaya sekitar Rp 32 juta tiap orang. Sehingga tidak 
berlebihan jika bulan ini, kata dia, bisa disebut sebagai bulan 
akumulasi uang dalam skala besar, baik itu untuk tujuan pengabdian 
kepada Tuhan (ibadah) maupun menjalin hubungan baik antarsesama.

Sayangnya, Muslimin berpendapat kegiatan kurban yang terjadi saat ini 
masih cenderung bersifat penyantunan, membantu orang dalam waktu 
sesaat, serta melatih sikap mental untuk peduli terhadap sesama. 
Untuk mendukung ekonomi masyarakat belum bisa dilakukan secara 
maksimal.

Padahal, kegiatan berkurban sebenarnya bisa diarahkan ke aspek yang 
lebih luas dan produktif. Kurban tidak sekedar menjadi aset konsumtif 
yang habis dalam waktu singkat, tetapi bisa dimanajemen ke arah 
produktif. Dengan kata lain kurban bisa menggerakkan ekonomi rakyat 
secara lebih luas dan tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi 
Islam.

Belum efektifnya kegiatan kurban, menurut Muslimin karena adanya 
kendala doktrinal. "Manajemen efektifitas korban masih ada kendala 
doktrinal di kalangan kita. Ada pendapat bahwa daging kurban dan 
pembagian aset terkait hewan harus habis dibagikan saat itu juga. 
Padahal, kalau kita bicara, tidak bisa konteksnya hanya menyantuni 
saja, tidak memberdayakan. Kalau kita bicara soal pemberdayaan sosial 
dan manajemen ekonomi Islam, itu sesunguhnya masih banyak potensi 
yang baru dimaknai sebatas gerakan karikatif atau penyantunan, 
setelah itu habis. Tidak long lasting," katanya.

Selama ini, menurut Muslimin masih ada masyarakat yang sulit menerima 
perlakuan bahwa kurban bisa dimanajemen dan dijadikan aset produksi. 
Kalau ada, jumlahnya masih sedikit dan itu lebih banyak dilakukan 
oleh lembaga pengumpul zakat dan shadaqoh yang sudah berpikir jauh ke 
depan.

"Nah ini problem. Jadi bagaimana agar korban ini dimaknai dalam 
konteks produktifitas, bukan dimaknai malah membuat orang menjadi 
konsumtif. Ini perlu disadarkan secara pelan-pelan," katanya.

Padahal, potensi kurban serta sumbangan lain, seperti infaq dan 
shodaqoh, sebenarnya luar biasa besar. Dalam sebuah survei potensi 
zakat, infaq, dan sadaqah ternyata besaran uang jika dirupiahkan bisa 
melebihi APBN. Kurban sendiri sudah menjadi gerakan massif dan 
membudaya. "Potensinya secara kasar Rp 1 triliun (di seluruh 
Indonesia) saya kira ada," kata Muslimin yang berpendapat potensi 
terbesar kurban sebenarnya ada pada kemauan orang untuk menyumbang.

Empowerment

Dalam kaitan ini, menurut pria yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat 
Kajian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Syariah dan Hukum UIN 
Syarif Hidayatullah, itu, perlu ditempuh sebuah cara agar kurban 
mampu mengangkat potensi ekonomi masyarakat. Cara itu adalah melalui 
pemberdayaan sosial (empowerment) dengan menerapkan memanajemen yang 
sesuai. Bukankah saat ini animo masyarakat untuk berkurban cukup 
tinggi. Begitu pula keterlibatan pengurus masjid hingga pengurus RT 
dan RW dalam kegiatan pemotongan dan pembagian daging juga cukup 
besar.

Sedang untuk mengatasi kendala doktrinal, perlu ada penafsiran 
kembali secara kontekstual apa yang ada dalam doktrin mengenai 
korban. Setelah intepretatif baru itu dapat diterima, baru langkah 
selanjutnya adalah melakukan sosialisasi ke masyarakat. Berikutnya 
melakukan manajemen pemberdayaan sosial.

"Selanjutnya yang perlu diterapkan adalah manajemen yang bersifat 
pemberdayaan, berorientasi non profit, serta gerakan kemanusiaan. 
Islam sendiri mendukung ke arah itu," katanya.

Dalam menghadapi masalah doktrinal, menurut pria asal Bojonegoro, 
Jawa Timur, itu perlu adanya sosialisasi gagasan yang terus menerus, 
bahwa kurban, termasuk infak dan shodaqoh, harus menjadi kegiatan 
yang bersifat produktif. Aspek ibadah tetap jalan, namun aspek 
sosialnya tidak terlupakan.

Disinggung apakah menjadikan kurban sebagai aset produktif tidak 
menyalahi aturan? Muslimin berpendapat "Kalau saya secara pribadi. 
Ini juga terkait pendapat dalam fikih Islam. Kalau kita mengacu pada 
pemikiran hukum Islam kontenporer, itu bisa. Tapi memang, hukum-hukum 
Islam dengan pendapat yang lama, tidak membuka kemungkinan untuk 
itu," katanya. (WER)


Kirim email ke