Minggu, 01 Februari 2009
 *Dalem Haji dan Karya-karyanya*
  *DALEM* haji adalah seorang penulis produktif dengan minat luas. Ia
menulis soal ekonomi, perjalanan, sejarah, politik, administrasi
pemerintahan, tafsir Alquran, dan soal-soal spiritual Islam. Soal keislaman
ini menarik ditelisik, dari mana ia belajar? Belum ada riwayat yang
menuturkan dirinya pernah belajar khusus di pesantren. Hanya ia memang
dikenal berhubungan baik dengan banyak ulama. Misalnya ketika menjadi bupati
di Cianjur, ia sangat menghormati K.H. R. Muhammad Isa Al-Kholidi. Ulama
besar Cianjur pada masanya ini seorang musryid tarekat Naqsyabandiyah
Kholidiyah. Begitu pula ketika menjadi bupati di Bandung, publik mengenang
Dalem Haji sebagai sahabat Haji Hasan Mustapa, seorang pujangga Sunda yang
penganut tarekat Syatariyah.

Melalui pergaulan yang rapat dengan para ahli tarekat, tidak mengherankan
jika di kemudian hari ia menulis buku tentang mikraj Nabi dan khalwat.
Khalwat adalah mengasingkan diri dari keramaian untuk khusus bermunajat
kepada Allah, suatu laku pada tingkatan tertentu dalam tasawuf Islam. Apakah
dengan demikian Dalem Haji juga seorang penganut tarekat tertentu?
Wallahualam.

Di antara buku-buku Dalem Haji yang bisa kita temukan adalah Rede door
Gebed, Mijn Reis naar Mekka, 1924, Riwayat Kangjeng Nabi Muhammad SAW, 1941,
Obor, 1921-24, Khotbah Lebaran, 1937, Miraj Kangjeng Nabi Muhammad SAW,
Khalwat, Kredit Koperasi di Negeri Belanda, Islamiestische Democratie in
Theorie en Praktijk, 1948, Moreele en Geetelijke Herbewapening uit
Islamietisch Oogpunt, 1939, dan Surat Al-Baqarah: Tafsir Sunda.

Buku Mijn Reis naar Mekka diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1925
menjadi Perjalanan Saya ke Mekah. Lalu diterjemahkan Memed Sastrahadiprawira
ke dalam bahasa Sunda (1926) menjadi Lalakon Kangjeng Dalem Angkat Jarah ka
Mekah. Buku ini bisa dianggap sebagai rintisan dalam buku catatan
perjalanan. Dalem Haji secara detail menjelaskan perjalanan haji mulai dari
keberangkatan, selama di Tanah Haram hingga kepulangan di Tanah Air. Buku
ini sangat menarik karena bahasanya mudah dan dilengkapi puluhan foto yang
menggambarkan perubahan sosial politik di MEkah menjelang runtuhnya
kekuasaan penguasa Sunni yang beralih kepada kekuasaan Wahabi.

Melalui buku perjalanan ini, kita sedikit mengenal kepribadian Dalem Haji,
misalnya kemampuannya memainkan biola. Dengan alat gesek itu, selain bisa
memainkan lagu-lagu Sunda, ia juga piawai memainkan lagu-lagu Eropa.

Soal pribadinya, antara lain ia menuturkan kebimbangannya sebagai seorang
bumiputera yang dipaksa keadaan harus mengenal budaya asing Eropa. Ia
menjelaskan pertentangan batinnya yang hebat melihat perbedaan dua dunia
itu. Ia merasa seperti dipindahkan dari dunia Bumiputera ke dunia Eropa.
"Saya rasakan, bagaimana sejak kecil saya, hati saya tertarik ke dalam dunia
bumiputera, dan saya rasakan pula betapa beberapa hal yang mendesak saya ke
dunia Eropa."

Sekalipun pada awalnya ada pertentangan batin, Dalem Haji mengakui pada
akhirnya ia berhasil mendamaikan kedua dunia itu. Oleh sebab itu, bagi orang
Sunda kiwari, Dalem Haji boleh disebut sebagai "monumen" pertemuan budaya
Timur dan Barat. Ia berhasil menginternalisasi budaya Barat itu untuk
dijadikan pendorong kebangkitan budaya Sunda. Ia pemimpin dengan pengetahuan
administrasi modern, tapi sangat nyunda dan nyantri di mata rakyatnya. Ia
menjadi sosok yang sangat penting dan menarik untuk dikaji lebih jauh.
Bukankah orang Sunda sampai hari ini masih gamang mendamaikan budaya Barat
dan budayanya sendiri?

Buku Riwayat Kangjeng Nabi, sebelumnya diterbitkan dalam bahasa Belanda, Het
Leven van Muhammad, de Profeet van Allah (1940). Buku tersebut berupa
saduran dari karya E. Dinet dan Sliman bin Ibrahim, The Life of Mohammad.
Sementara Dinet dan Sliman menyadur buku itu dari dua sejarawan muslim
terkenal, Ibnu Saad dan Ibnu Hisyam. Dalam sadurannya, Dalem Haji berhasil
menghadirkan nuansa Sunda dengan sejumlah dangding sebagai penyelang
antarbahasan dan pada terjemahan ayat-ayat Alquran.

Proses penerbitan buku sejarah Nabi itu sangat menarik dicermati. Dalem Haji
menerbitkan edisi berbahasa Belanda terlebih dahulu. Ada kesengajaan untuk
mengenalkan sejarah Islam kepada mereka yang mampu berbahasa Belanda.
Pribumi yang bisa berbahasa Belanda pada saat itu rata-rata boleh disebut
abangan, kurang memiliki perhatian kepada ajaran Islam, apalagi sejarahnya,
sekalipun secara lisan (atau KTP) mungkin sudah menyatakan Islam.

*Dekat dengan ulama*

Dalem Haji rupanya ingin pertama-tama berdakwah pada level atas. Baru
setelah itu, ia mengupayakan penerbitan edisi Sunda. Menurutnya, "Di tanah
Pasundan parantos aya miliunan anu tariasa maca aksara Walanda, ku jisim
kuring ieu riwayat Nabi SAW, disalin deui tina basa Walanda kana basa Sunda
ku aksara Walanda. Peryogi urang Pasundan aruninga ka riwayat Panutan Islam,
anu pameredihna dilampahkeun lima kali dina sadinten sawengi. Buku setebal
hampir 300 halaman itu bisa disebut buku sejarah Nabi terlengkap yang pernah
diterbitkan dalam bahasa Sunda.

Obor, sebenarnya bukan buku, melainkan satu bundel koran bulanan. Koran ini
adalah media komunikasi antara bupati dan aparat di bawahnya. Di dalam Obor,
berbagai aturan disosialisasikan. Aparat di bawahnya, seperti camat atau
lurah, dengan leluasa dapat merespons aturan baru yang dipublikasikan. Yang
menarik, seringkali pengumuman dan respons atasnya, ditulis dalam bentuk
dangding. Mungkin masa itu bisa disebut era paling berbudaya di wilayah
Bandung, di mana bupati dan aparatnya dapat berkomunikasi dialogis mengenai
urusan pemerintahan dalam bentuk karya sastra.

Selain dekat dengan ulama-ulama pesantren, Dalem Haji juga menjalin relasi
yang baik dengan ormas-ormas Islam. Buku Chotbah Lebaran dapat menjadi
contoh. Buku tersebut diterbitkan bagian pustaka Persatuan Islam. Buku ini
berisi khotbahnya di Masjid Agung Bandung pada Idulfitri 1 Syawal 1355 H.

Dalam buku Islamiestische Democratie, Dalem Haji sudah mengajukan tesis yang
mengagumkan. Sekalipun bukan aktivis gerakan Islam, Dalem Haji justru mampu
menunjukkan pemahamannya yang mendalam atas substansi ajaran Islam. Tak
berlebihan jika ia disebut menak nu nyantri. Menurutnya, "Agama ini
mengajarkan prinsip-prinsip perwakilan dan kesamaan sosial dan hak-hak sipil
kepada setiap orang, tanpa membedakan kebangsaan dan agama. Demokrasi Islam
berdasarkan kebebasan ruhaniah individual. Tak seorang pun punya hak ilahiah
untuk memerintah..."

Sebagian dari koleksi bukunya itu sampai sekarang masih tersimpan dengan
baik di Perpustakaan Nasional di Jln. Selemba Raya Jakarta. (iip dari
berbagai sumber)**  *DALEM* haji adalah seorang penulis produktif dengan
minat luas. Ia menulis soal ekonomi, perjalanan, sejarah, politik,
administrasi pemerintahan, tafsir Alquran, dan soal-soal spiritual Islam.
Soal keislaman ini menarik ditelisik, dari mana ia belajar? Belum ada
riwayat yang menuturkan dirinya pernah belajar khusus di pesantren. Hanya ia
memang dikenal berhubungan baik dengan banyak ulama. Misalnya ketika menjadi
bupati di Cianjur, ia sangat menghormati K.H. R. Muhammad Isa Al-Kholidi.
Ulama besar Cianjur pada masanya ini seorang musryid tarekat Naqsyabandiyah
Kholidiyah. Begitu pula ketika menjadi bupati di Bandung, publik mengenang
Dalem Haji sebagai sahabat Haji Hasan Mustapa, seorang pujangga Sunda yang
penganut tarekat Syatariyah.

Melalui pergaulan yang rapat dengan para ahli tarekat, tidak mengherankan
jika di kemudian hari ia menulis buku tentang mikraj Nabi dan khalwat.
Khalwat adalah mengasingkan diri dari keramaian untuk khusus bermunajat
kepada Allah, suatu laku pada tingkatan tertentu dalam tasawuf Islam. Apakah
dengan demikian Dalem Haji juga seorang penganut tarekat tertentu?
Wallahualam.

Di antara buku-buku Dalem Haji yang bisa kita temukan adalah Rede door
Gebed, Mijn Reis naar Mekka, 1924, Riwayat Kangjeng Nabi Muhammad SAW, 1941,
Obor, 1921-24, Khotbah Lebaran, 1937, Miraj Kangjeng Nabi Muhammad SAW,
Khalwat, Kredit Koperasi di Negeri Belanda, Islamiestische Democratie in
Theorie en Praktijk, 1948, Moreele en Geetelijke Herbewapening uit
Islamietisch Oogpunt, 1939, dan Surat Al-Baqarah: Tafsir Sunda.

Buku Mijn Reis naar Mekka diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1925
menjadi Perjalanan Saya ke Mekah. Lalu diterjemahkan Memed Sastrahadiprawira
ke dalam bahasa Sunda (1926) menjadi Lalakon Kangjeng Dalem Angkat Jarah ka
Mekah. Buku ini bisa dianggap sebagai rintisan dalam buku catatan
perjalanan. Dalem Haji secara detail menjelaskan perjalanan haji mulai dari
keberangkatan, selama di Tanah Haram hingga kepulangan di Tanah Air. Buku
ini sangat menarik karena bahasanya mudah dan dilengkapi puluhan foto yang
menggambarkan perubahan sosial politik di MEkah menjelang runtuhnya
kekuasaan penguasa Sunni yang beralih kepada kekuasaan Wahabi.

Melalui buku perjalanan ini, kita sedikit mengenal kepribadian Dalem Haji,
misalnya kemampuannya memainkan biola. Dengan alat gesek itu, selain bisa
memainkan lagu-lagu Sunda, ia juga piawai memainkan lagu-lagu Eropa.

Soal pribadinya, antara lain ia menuturkan kebimbangannya sebagai seorang
bumiputera yang dipaksa keadaan harus mengenal budaya asing Eropa. Ia
menjelaskan pertentangan batinnya yang hebat melihat perbedaan dua dunia
itu. Ia merasa seperti dipindahkan dari dunia Bumiputera ke dunia Eropa.
"Saya rasakan, bagaimana sejak kecil saya, hati saya tertarik ke dalam dunia
bumiputera, dan saya rasakan pula betapa beberapa hal yang mendesak saya ke
dunia Eropa."

Sekalipun pada awalnya ada pertentangan batin, Dalem Haji mengakui pada
akhirnya ia berhasil mendamaikan kedua dunia itu. Oleh sebab itu, bagi orang
Sunda kiwari, Dalem Haji boleh disebut sebagai "monumen" pertemuan budaya
Timur dan Barat. Ia berhasil menginternalisasi budaya Barat itu untuk
dijadikan pendorong kebangkitan budaya Sunda. Ia pemimpin dengan pengetahuan
administrasi modern, tapi sangat nyunda dan nyantri di mata rakyatnya. Ia
menjadi sosok yang sangat penting dan menarik untuk dikaji lebih jauh.
Bukankah orang Sunda sampai hari ini masih gamang mendamaikan budaya Barat
dan budayanya sendiri?

Buku Riwayat Kangjeng Nabi, sebelumnya diterbitkan dalam bahasa Belanda, Het
Leven van Muhammad, de Profeet van Allah (1940). Buku tersebut berupa
saduran dari karya E. Dinet dan Sliman bin Ibrahim, The Life of Mohammad.
Sementara Dinet dan Sliman menyadur buku itu dari dua sejarawan muslim
terkenal, Ibnu Saad dan Ibnu Hisyam. Dalam sadurannya, Dalem Haji berhasil
menghadirkan nuansa Sunda dengan sejumlah dangding sebagai penyelang
antarbahasan dan pada terjemahan ayat-ayat Alquran.

Proses penerbitan buku sejarah Nabi itu sangat menarik dicermati. Dalem Haji
menerbitkan edisi berbahasa Belanda terlebih dahulu. Ada kesengajaan untuk
mengenalkan sejarah Islam kepada mereka yang mampu berbahasa Belanda.
Pribumi yang bisa berbahasa Belanda pada saat itu rata-rata boleh disebut
abangan, kurang memiliki perhatian kepada ajaran Islam, apalagi sejarahnya,
sekalipun secara lisan (atau KTP) mungkin sudah menyatakan Islam.

*Dekat dengan ulama*

Dalem Haji rupanya ingin pertama-tama berdakwah pada level atas. Baru
setelah itu, ia mengupayakan penerbitan edisi Sunda. Menurutnya, "Di tanah
Pasundan parantos aya miliunan anu tariasa maca aksara Walanda, ku jisim
kuring ieu riwayat Nabi SAW, disalin deui tina basa Walanda kana basa Sunda
ku aksara Walanda. Peryogi urang Pasundan aruninga ka riwayat Panutan Islam,
anu pameredihna dilampahkeun lima kali dina sadinten sawengi. Buku setebal
hampir 300 halaman itu bisa disebut buku sejarah Nabi terlengkap yang pernah
diterbitkan dalam bahasa Sunda.

Obor, sebenarnya bukan buku, melainkan satu bundel koran bulanan. Koran ini
adalah media komunikasi antara bupati dan aparat di bawahnya. Di dalam Obor,
berbagai aturan disosialisasikan. Aparat di bawahnya, seperti camat atau
lurah, dengan leluasa dapat merespons aturan baru yang dipublikasikan. Yang
menarik, seringkali pengumuman dan respons atasnya, ditulis dalam bentuk
dangding. Mungkin masa itu bisa disebut era paling berbudaya di wilayah
Bandung, di mana bupati dan aparatnya dapat berkomunikasi dialogis mengenai
urusan pemerintahan dalam bentuk karya sastra.

Selain dekat dengan ulama-ulama pesantren, Dalem Haji juga menjalin relasi
yang baik dengan ormas-ormas Islam. Buku Chotbah Lebaran dapat menjadi
contoh. Buku tersebut diterbitkan bagian pustaka Persatuan Islam. Buku ini
berisi khotbahnya di Masjid Agung Bandung pada Idulfitri 1 Syawal 1355 H.

Dalam buku Islamiestische Democratie, Dalem Haji sudah mengajukan tesis yang
mengagumkan. Sekalipun bukan aktivis gerakan Islam, Dalem Haji justru mampu
menunjukkan pemahamannya yang mendalam atas substansi ajaran Islam. Tak
berlebihan jika ia disebut menak nu nyantri. Menurutnya, "Agama ini
mengajarkan prinsip-prinsip perwakilan dan kesamaan sosial dan hak-hak sipil
kepada setiap orang, tanpa membedakan kebangsaan dan agama. Demokrasi Islam
berdasarkan kebebasan ruhaniah individual. Tak seorang pun punya hak ilahiah
untuk memerintah..."

Sebagian dari koleksi bukunya itu sampai sekarang masih tersimpan dengan
baik di Perpustakaan Nasional di Jln. Selemba Raya Jakarta. (iip dari
berbagai sumber)**

http://klik-galamedia.com/indexedisi.php?id=20090201&wartakode=20090201131902

-- 
sikandar
kumincir.blogspot.com
su.wikipedia.org
www.urangsunda.or.id


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke