Wilujeung Enjing kasadayana,

Sim kuring gaduh artikel ti milis nu sanes, abdi hoyong terang ari 
"Higher Self" pengertian tina Kasundaan, kumaha ? manawi Ambu sareng 
kang Engkus tiasa masihan gambaran..

Baktos

ti milis sabeulah...

T = Apa yang Mas Leo sangkakan bahwa "Higher Self" = Allah itu perlu 
ditelusuri lagi deh, karena yg Mas Leo sangkakan itu baru Manifestasi 
Dzat Allah, terusin lagi dong Mas Leo, jadi orang yg baca ngga salah 
tanggap.

J = Saya cuma bilang bahwa apa yg kita biasa sebut sebagai Allah adalah 
bagian dari kesadaran kita sendiri. Kalau kita diam saja, dan gelombang 
otak kita turun ke level Alpha, Theta, dan Delta, maka kita akan 
merasakan bahwa kita satu dengan alam semesta ini. Istilahnya samadhi, 
ketika kita cuma merasakan bahwa kita ada karena kita ada.

Kita ada karena kita ada adalah pengertian tertinggi yg bisa dicapai 
oleh seorang manusia.

Nabi Musa cuma bisa mencapai pengertian: "Aku adalah aku".

Nabi Isa cuma bisa mencapai pengertian: "Allah hidup di dalam aku, dan 
aku di dalam Allah".

Al Hallaj cuma bisa mencapai pengertian: "Ana al haq"

Syech Siti Jenar cuma bisa mencapai pengertian: "Kulo gusti".

Hamzah Fansuri dari Aceh cuma bisa menulis bahwa Yahudi, Nasrani, dan 
Islam itu essensinya sama. Tapi, sebagaimana Syech Siti Jenar di Jawa, 
Hamzah Fansuri lalu di-dzolimi oleh mereka yg memiliki kepentingan di 
agama.

Mereka yg memiliki kepentingan untuk berkuasa atas nama agama di Jawa 
lalu men-dzolimi Syech Siti Jenar. Dan mereka yg berkepentingan untuk 
berkuasa atas nama agama di Aceh lalu men-dzolimi Hamzah Fansuri.

Tidak ada bedanya dengan Nabi Isa di Palestina. Mereka yg berkepentingan 
untuk berkuasa atas nama agama di Palestina lalu men-dzolimi Nabi Isa.

Semua orang yg berkepentingan untuk berkuasa atas nama agama akan 
men-dzolimi mereka yg bilang secara terus terang bahwa Allah itu 
kesadaran tinggi (higher self) yg adanya di kesadaran tiap manusia.

Dalam tradisi non semitik, Sidharta Gautama juga cuma bisa bilang bahwa 
tidak ada gunanya untuk berspekulasi tentang apa itu dzat Allah. Yg 
penting kita bisa mencapai samadhi, sadar bahwa kita sadar. Kalau kita 
rutin meditasi dan bisa mencapai kesadaran itu, maka berbagai pengertian 
akan muncul dengan sendirinya.

Lao Tze di Cina bilang bahwa Tao yg bisa dibicarakan bukanlah Tao. Tuhan 
yg bisa dibicarakan bukanlah Tuhan.

So, segala macam spekulasi tentang manifestasi dzat Allah dan sebagainya 
bisa saja dilakukan, tetapi itu merupakan pilihan. Kalau mau, ya bisa 
saja dilakukan. Kalau tidak mau juga tidak apa-apa karena tidak akan 
sedikitpun mengurangi kenyataan bahwa Allah itu adanya di dalam 
kesadaran anda sendiri.

Kalau anda sudah mengkutak-kutik fakta mendasar itu dan menguraikannya, 
maka anda sudah masuk dalam filsafat, namanya Metafisika which is 
oke-oke saja. Sayangnya, filsafat tentang Tuhan itu akhirnya 
diperdebatkan dan di-perangkan oleh manusia-manusia yg bernafsu angkara 
murka. Akhirnya jadilah agama.

Agama itu isinya pemikiran tentang Tuhan yg sebenarnya tidak perlu juga. 
Tetapi di masa lalu, mereka ingin memperoleh justifikasi atau 
pembenaran, sehingga di-jagokanlah salah satu aliran pemikiran menjadi 
ajaran agama yg orthodox.

Agama itu ideologi, artinya pemikiran. Tetapi sayangnya pemikiran yg 
takabur karena agama menggunakan konsep sorga neraka, dan amal ibadah 
sebagai kriteria seorang manusia layak masuk sorga atau neraka.

Allah-nya itu dimana, in this case? In this case, Allah-nya itu adalah 
buatan doang. Allah yg sudah dijual oleh agama-agama itu merupakan 
buatan manusia saja, konsep saja, pemikiran saja.

Pedahal Allah yg asli itu tetap saja ada di semua manusia, baik beragama 
ataupun tidak, baik disebut dengan istilah apapun.

Kesadaran tinggi yg adanya di dalam kesadaran anda itu tidak menuntut 
untuk disebut dengan nama apapun. Nama yg anda gunakan adalah nama yg 
anda berikan. Anda bisa menyebutnya sebagai Allah, sebagai Tao, sebagai 
Buddha, sebagai Kristus. Sama saja.

T = Mas Leo, membedakan domain pribadi dan publik, bagi saya, memang 
penting sekali artinya. Dalam domain publik, setiap pribadi akan semakin 
dituntut untuk merelativisir keyakinan-keyakinan nya ketika berjumpa 
dengan pribadi lain yang belief systemnya berbeda atau berseberangan.

J = Ya, itulah praktek di negara-negara Barat yg sudah maju. Indonesia 
ini masih jatuh bangun membedakan domain pribadi dan domain publik, 
masih banyak salah kaprahnya.

Orang-orang beragama di Indonesia masih petantang petenteng meminta 
dihormati keyakinan mereka bahwa Allah mereka menurunkan kitab suci 
mereka dari atas langit, dan nabi mereka adalah nabi terakhir, dan agama 
mereka adalah agama yg terakhir dan sempurna, pedahal semuanya itu 
berada di dalam domain pribadi.

Kalau belief system pribadi seperti itu sudah dipertontonkan di domain 
publik atau kemasyarakatan, maka semua orang akan bisa berkomentar bahwa 
itu omong kosong belaka. Siapa bilang bahwa Allah yg menurunkan kitab 
suci mereka dari atas langit? Siapa bilang nabi mereka adalah nabi 
terakhir? Siapa bilang agama mereka agama yg terakhir dan sempurna? Yg 
bilang itu mereka sendiri, dan itu Hak Azasi Manusia (HAM) yg adanya di 
diri mereka, namanya HAM Kebebasan Beragama (Religious Freedom).

Tetapi kalau belief system pribadi itu sudah dibawa ke domain publik 
atau kemasyarakatan, maka mereka yg tidak sependapat bisa saja 
berkomentar, namanya HAM Kebebasan Berbicara (Free Speech).

Dan agama-agama yg petantang petenteng di muka umum itu tidak bisa minta 
dilindungi dari komentar orang. Wong sama-sama pendapat kok!

Yg satu berpendapat agamanya terakhir dan sempurna, dan orang lain 
berpendapat bahwa itu omong kosong. Sama-sama pendapat belaka.

Karenanya, di negara-negara Barat yg telah maju, segala macam belief 
systems itu tidak dipertontonkan. Kalau di ruang publik, kita berbicara 
tentang hal yg menjadi concern publik, dan bukan petantang petenteng 
minta pengakuan bahwa agama kita terakhir dan sempurna.

Tetapi di Indonesia, pengertian HAM seperti itu masih rancu, orang pikir 
agama itu dilindungi hukum sehingga tidak tersentuh oleh siapapun. Siapa 
bilang tidak tersentuh?

Semua warganegara memiliki hak dan kewajiban yg sama di depan hukum, 
baik beragama maupun tidak. Dan agama-agama itu adanya di domain 
pribadi. Kalau sudah dibawa ke muka umum, seperti praktek jualan agama 
dan Allah seperti dilakukan oleh kaum agamis di Indonesia, maka orang yg 
tidak sependapat bisa saja berkomentar. Bisa berkomentar apa saja, dan 
jelas orang-orang agama itu tidak akan bisa menjawab.

Menurut pengalaman saya, orang-orang yg fanatik beragama dan petantang 
petenteng di muka umum itu biasanya akan mencaci-maki ketika agamanya 
ditelanjangin. Semua agama itu telanjang, dan kita sebenarnya juga tahu. 
Telanjang dalam arti bahwa segalanya itu merupakan buatan manusia, 
pemikiran manusia, walaupun manusianya ditinggikan oleh manusia lain 
sebagai nabi besar ataupun nabi biasa-biasa saja.

T = Dalam hal ini tidak hanya fundamentalis agama yang merusak 
kepentingan/ hak asasi orang, tetapi kepentingan orang banyak juga 
dirusak oleh fundamentalisme pasar yang kelewat batas menyembah 
kebebasan pribadi.

J = Ya, kalau kita konfrontir, maka jadinya akan seperti pasar yg 
semrawut, pedahal lebih enak masuk mall saja. Solusi dari segala macam 
konflik mulut dari berbagai macam orang yg jualan agama-agama berbeda 
cuma satu, yaitu memisahkan dengan TEGAS antara domain pribadi dan 
domain publik.

Agama-agama itu adanya di domain pribadi, dan bukan di domain publik. 
Mereka yg beragama bisa saja petantang petenteng bahwa hanya Yesus yg 
bisa menyelamatkan manusia dari neraka. Dan itu sah saja, tetapi adanya 
di dalam domain pribadi ketika mereka berbicara dengan sesama mereka. 
Kalau mereka mau bicara sama saya bahwa saya harus bertobat dan terima 
Yesus supaya saya masuk Sorga, maka secara otomatis saya akan bilang 
"Sorga neraka adanya di jidat luh doang!"

This will be true also terhadap orang-orang yg bilang kepada saya bahwa 
Al Quran jatoh gedebuk dari atas langit. Saya akan bilang: "Langit nenek 
moyang luh!".

Dan apa yg saya ucapkan terhadap orang-orang agamis itu bukan pelecehan 
agama melainkan HAM Kebebasan Berbicara (Free Speech) yg ada di saya.

T = Menyangkut masalah Allah adalah kesadaran tinggi (manusia). 
Bagaimana dengan konsep penciptaan? Apakah kesadaran ini yang kemudian 
menciptakan alam semesta (dalam konteks ini konsep-konsep yang 
mengatas-namakan ilmiah tentang kapan manusia muncul dan proses evolusi 
serta umur bumi kita nafikan).

J = Kita bisa melihat penciptaan alam semesta dari dua sudut pandang, at 
least.

Sudut pandang pertama melihat dari luar kesadaran manusia, dengan 
menggunakan segala macam faktor yg bisa diukur dengan obyektif 
menggunakan perangkat yg berada di dimensi ruang dan waktu. Ini adalah 
pendekatan yg paling umum saat ini karena bersifat ilmiah. Terkadang 
disebut juga sebagai Teori Evolusi dan berbagai varian-nya.

Pendekatan kedua adalah aliran "Creationist" atau Penciptaan. Yg 
termasuk di sini adalah kisah tentang penciptaan langit, bumi, manusia, 
hewan, dlsb... yg dimuat di dalam Alkitab yg dipakai oleh kaum Yahudi 
dan Nasrani. Teori Penciptaan dulu diajarkan di sekolah-sekolah di 
Barat, tetapi yg umumnya diajarkan sekarang adalah Teori Evolusi.

Teori Penciptaan berkaitan erat dengan agama, dalam hal ini agama 
Nasrani dan, karena negara-negara Barat sudah tegas memisahkan antara 
negara dan agama-agama, maka di-usirlah Teori Penciptaan ini dari 
ruang-ruang kelas. Kisah Adam dan Hawa di Taman Firdaus masuk dalam 
teori ini.

Saya sendiri memakai pengertian pribadi saya sendiri bahwa dunia fisik 
ini ada karena ada kesadaran saya. Saya sadar bahwa saya sadar, dan saya 
sadar bahwa saya memiliki tubuh fisik. Saya sadar bahwa ada pula dunia 
fisik di sekitar saya, di luar tubuh saya. Kapan dunia fisik ini 
tercipta is not my business karena yg paling penting adalah saya sadar 
bahwa saya sadar, dan segalanya itu ada karena saya sadar, I am aware.

Awareness itu sama di setiap orang. Setiap orang sadar bahwa dirinya 
sadar, walaupun level kesadarannya itu berbeda-beda. Ada yg baru merasa 
sadar bahwa dirinya itu hanya hidup demi agama dan negara, for instance. 
Amrozi Cs. itu masuk dalam kategori ini. Ada pula orang yg sudah bisa 
berpikir dan mengerti bahwa kita semua manusia bebas, dan ternyata 
agama-agama maunya membodohi kita saja. Banyak manusia di Barat sudah 
sadar bahwa agama itu ternyata, kalau dibiarkan, akan terus membodohi 
manusia, makanya mereka memisahkan negara dari agama.

Agama bisa membuat kisah apapun, itu namanya HAM Kebebasan Beragama. 
Tetapi negara tidak akan mempertahankan dan membela segala macam sahibul 
hikayat yg dirangkai oleh agama, dan warganegara juga tidak dipaksa 
untuk beragama seperti praktek pemerintah Indonesia saat ini yg 
mendorong WNI untuk menikah dengan sesama agama.

Mana ada negara maju yg mencatatkan pernikahan warganya dengan 
rekomendasi dari agama-agama?

UU Perkawinan No 1 tahun 1974 itu pelecehan HAM. Seharusnya negara cuma 
mencatatkan pernikahan warganya saja. Siapa yg menikah dengan siapa. 
Cuma itu saja.

Tetapi karena UU Perkawinan No 1 tahun 1974 itu warisan dari Rezim 
Suharto yg menggunakan institusi agama untuk melanggengkan kekuasannya, 
maka dipaksakanlah warganegara untuk menikah dengan sesama agama. Ini 
suatu kenajisan yg tidak akan kita temui di negara-negara maju yg 
menghormati HAM.

Coba lihat: isi UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, bab I ayat 2, yg 
berbunyi, sbb: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum 
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."

Pedahal negara cuma mencatatkan warganegaranya yg menikah dan TIDAK ada 
hubungannya dengan agama. Mau orangnya beragama apa saja, dan menikah 
dengan orang yg beragama apa saja merupakan urusan orang. Yg penting 
kedua calon mempelai itu sepakat untuk menikah. Bahkan, tidak perlu 
kedua mempelai melakukan upacara perkawinan keagamaan. Perkawinan 
keagamaan merupakan suatu pilihan, dan BUKAN merupakan prasyarat agar 
perkawinan menjadi legal.

So, Indonesia ini masih negeri simsalabim di mana negara MASIH 
melindungi agama-agama dalam hal membodohi masyarakat. Ada enam agama 
"resmi" yg diakui oleh pemerintah RI, pedahal agama itu jumlahnya 
ratusan. Ada ratusan agama di muka bumi ini, dan sama sekali tidak 
membutuhkan pengakuan dari pemerintah, kecuali kalau mau mencatatkan 
diri sebagai lembaga keagamaan.

Dan lembaga keagamaan bisa apa saja. Lia Eden itu bisa mencatatkan diri 
sebagai kepala lembaga keagamaan baru, bisa mengaku menjadi nabi baru, 
dan bisa mengumpulkan sumbangan dari pengikutnya. Anda juga bisa menjadi 
nabi baru, dan mencatatkan lembaga keagamaan anda.

Itu Indonesia di masa depan ketika menjadi negara maju yg menghormati 
HAM, dan tegas-tegas ada pemisahan antara negara dan agama, ketika 
agama-agama tidak lagi bisa mendiktekan apa yg haram dan halal dilakukan 
oleh negara dan masyarakat, dan ketika negara tidak mensyaratkan 
warganya untuk menjadi warganegara yg beragama.

Ketika kolom agama di KTP secara tegas dihapuskan.

Ketika segala persyaratan keagamaan dihapuskan dari lembaga-lembaga negara.

Itu semua sudah dipraktekkan oleh negara-negara maju di Barat, makanya 
mereka bisa bilang bahwa mereka tidak mempraktekkan diskriminasi.

Indonesia ini masih diskriminasi, dengan mensyaratkan agama bagi banyak 
hal, termasuk bagi perkawinan. Dan itulah SARA yg asli. SARA itu 
diskriminasi, termasuk diskriminasi berdasarkan agama, dan bukan 
pembicaraan terus terang tentang pengertian domain pribadi dan domain 
publik seperti yg saya sharing dengan banyak rekan di facebook dan di 
mailing lists.

Leo

Kirim email ke