Presiden Bangsa Indonesia
Kamis, 9 Juli 2009 | 03:49 WIB

Oleh Heru Nugroho

Setelah pemilu 8 Juli 2009, masyarakat Indonesia akan segera memiliki kepala 
pemerintahan yang baru dari hasil pertarungan tiga pasangan kandidat, 
Megawati-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. 
Siapa pun yang akan menjadi pemenang wajib mengemban dan mengimplementasikan 
amanat rakyat atas harapan mewujudkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari 
keadaan sekarang.

Melalui politik representasi kampanye pilpres, berbagai harapan rakyat itu 
dituangkan baik dalam bentuk program-program, jargon, maupun kecenderungan 
demagog. Contohnya, pasangan Megawati-Prabowo yang merepresentasi kepentingan 
wong cilik dalam putaran akhir kampanye membuat tujuh seri iklan dengan tema 
Bangkrut, Mencintai, Harga, Pekerjaan, Persatuan, Maju, dan Tim, yang isinya 
cenderung menyerang incumbent.

Iklan SBY-Boediono dengan jargon "Lanjutkan!" mengklaim telah sukses 
menjalankan roda pemerintahan, tetapi perlu memacu lebih cepat pertumbuhan 
ekonomi, perluasan lapangan kerja, penurunan kemiskinan, dan lain-lain. Iklan 
politik Jusuf Kalla-Wiranto menonjolkan spirit "lebih cepat lebih baik" untuk 
menyindir kelemahan incumbent.

Masalahnya adalah apakah pasangan capres-cawapres yang akan keluar sebagai 
pemenang merepresentasikan kepentingan rakyat dan dianggap menjadi pemimpin 
bangsa masa depan? Tidak secara otomatis demikian karena kemungkinan distorsi 
politik citra melalui media yang dilekatkan oleh masing-masing pasangan seperti 
"kultus Bung Karno" bagi Mega-Pro; "kesantunan/kehati-hatian" SBY-Boediono; dan 
"keterbukaan, keberanian, dan kecepatan" dari JK-Wiranto cenderung berpotensi 
memengaruhi pemilih.

Media amat dimungkinkan menciptakan realitas hiper yang kadang jauh dari 
kenyataan. Karena itu, yang diperlukan adalah aneka instrumen untuk mengukur 
bagaimana seharusnya kiprah presiden Indonesia pada masa datang.

 Berbagai ukuran pemimpin bangsa harapan rakyat tetap menjaga spirit reformasi 
dalam berbagai aspek kehidupan, beberapa di antaranya yang paling mendasar 
adalah menjaga keberlanjutan proses demokrasi yang substansial; mewujudkan 
kemajemukan berlandaskan keadilan; dan mewujudkan penegakan hukum. Tanpa 
tegaknya tiga pilar itu, program-program yang diusung oleh masing-masing 
pasangan, seperti pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, peningkatan 
pendapatan, dan pemberdayaan, tidak akan banyak dinikmati rakyat, tetapi 
potensial menghasilkan negasi seperti disparitas dan marjinalisasi di tengah 
merebaknya globalisasi. Apakah realitas politik kita sedang menuju terwujudnya 
pemimpin masa depan harapan bangsa itu?

 Ancaman demokrasi beku

Demokratisasi yang bergulir sejak reformasi dan sudah berlangsung satu dekade 
lebih harus diakui telah menghasilkan kemajuan di berbagai bidang. Capaian 
monumental adalah terselenggaranya pemilu legislatif langsung tahun 1999 yang 
kemudian menjadi titik awal era multipartai.

Pada tahun 2004 terselenggara pemilihan langsung presiden dan wakil presiden 
dan sejak 2005 hingga sekarang telah terselenggara ratusan kali pilkada 
gubernur, wali kota, dan bupati. Demokrasi prosedural dalam bentuk 
penyelenggaraan pemilu langsung telah menempatkan Indonesia sebagai negara 
demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India.

Situasi seperti ini juga mendorong meningkatnya partisipasi warga dalam 
politik, terbangunnya regulasi tata kelembagaan, independensi penyelenggaraan 
pemilu, penjaminan hak sipil dan politik, penguatan isu-isu perempuan, 
terwujudnya kebebasan pers, otonomi daerah dan desentralisasi, dan lain-lain.

Ironisnya, demokrasi prosedural yang sedang berlangsung kadang tidak disertai 
terbentuknya demokrasi substansial. Demokrasi yang sedang berproses ada di 
bawah bayang-bayang terwujudnya demokrasi beku (frozen democracy), yaitu suatu 
fase yang ditandai kemandekan (Sorensen, 2003). Buktinya, pemilu langsung yang 
telah terselenggara dengan biaya cukup besar dari jenjang pilpres hingga 
pilkada tidak otomatis menghasilkan berbagai kebijakan publik yang memihak 
rakyat kecil. Demokrasi yang digunakan sebagai instrumen (means) untuk mencapai 
tujuan seperti kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan sosial masih sekadar 
menjadi cita-cita kita semua.

Politik uang masih merebak di segala tingkat pemilu. Akibatnya, mereka yang 
dapat maju sebagai calon pemimpin hanya terbatas dari kalangan yang memiliki 
dana besar, bukan karena kapasitas dan kapabilitas sebagai calon pemimpin. 
Banyak contoh bisa disebut, misalnya seorang mantan preman yang telanjur kaya 
dapat terpilih menjadi pemimpin, bekas penjarah hutan terpilih menjadi wali 
kota, bekas cukong bisnis gelap terpilih menjadi anggota legislatif, dan 
sebagainya.

Selain itu, oligarki partai yang dipicu kepentingan para elite menghasilkan 
para calon pemimpin yang bukan pilihan rakyat, tetapi yang punya uang dan 
memiliki relasi kolusif dengan elite-elite partai. Wajar jika para pemimpin 
yang telah terpilih tidak merepresentasikan kepentingan rakyat (speaking of), 
tetapi cenderung melakukan politik representasi atas kepentingan rakyat 
(speaking for) dalam rangka mengembalikan modal ekonomi yang telah 
diinvestasikan selama masa pemilu (Spivak, Can the Subaltern Speak?, 1988).

Dibayangi pluralisme semu

Jargon "Bhinneka Tunggal Ika" yang mengakui kemajemukan tetap dibayang-bayangi 
paradigma nation state yang mengintrodusir politik monokultur satu nusa, satu 
bangsa, dan satu bahasa. Bahkan, ada fase di mana praktik-praktik monokultur 
menjelma menjadi kebijakan resmi seperti ketika rezim Orla menggelar Politik 
Benteng dan rezim Orba berupaya mendefinisikan apa itu "kebudayaan nasional".

Politik Benteng merupakan kebijakan untuk membatasi ruang gerak China hanya 
sampai di ibu kota kabupaten dalam upaya melindungi usaha ekonomi pribumi di 
pedesaan. Sementara karena kebudayaan nasional diartikan sebagai "puncak 
kebudayaan", maka kebudayaan-kebudayaan lokal dianggap sebagai subordinatnya. 
Kondisi seperti ini jelas bukan mencerminkan multikultur sejati karena telah 
mendiskreditkan minoritas dan cenderung mengonstruksikan oposisi biner antara 
budaya "pinggiran" dan "pusat".

Tonggak dimulainya politik kemajemukan di Tanah Air adalah saat Gus Dur 
menjabat Presiden RI mencabut Inpres No 14/1967 tentang pembatasan ritual 
keagamaan dan kebudayaan China yang dampaknya juga membatasi hak sosial dan 
politik mereka. Keputusan Presiden Megawati, Keppres No 19/2002 tentang hari 
libur nasional Imlek, membuat etnis China dapat merayakan ritual Imlek seperti 
etnis atau penganut kepercayaan lain merayakan ritual keagamaannya.

Namun, saat etika semangat multikultur terus bergulir, pemerintahan SBY 
dihadapkan soal besar yang belum selesai, yaitu diskriminasi dan tindak 
kekerasan terhadap Ahmadiyah. Sungguh merupakan ironi politik multikultur 
karena pada satu sisi memberi kebebasan melakukan ritual keagamaan terhadap 
etnis China, tetapi gagal memberi perlindungan kebebasan mengekspresikan 
kepercayaan bagi penganut Ahmadiyah. Apa pun argumen di balik pelarangan 
praktik Ahmadiyah, aspek keadilan cenderung diabaikan dalam politik multikultur 
kita.

Bisa jadi, kita kini sedang terjebak fenomena pseudo multiculturalism yang 
ditandai dengan sekadar mengekspresikan keyakinan, meritualkan tradisi, dan 
merayakan perbedaan, tetapi sebetulnya kita sedang menjauh dari esensi 
multikulturisme yang seharusnya berbasis keadilan. Dalam politik multikultur, 
keadilan merupakan prasyarat mutlak dengan tiga aspek rekognisi, redistribusi 
(penguasaan sumber-sumber ekonomi), dan representasi sebagai pilar-pilar 
penopangnya (Nancy Fraser, Radical Imagination: Between Redistribution and 
Recoqnition, 2003).

Maka tidak mengherankan jika ritual Imlek di klenteng-klenteng yang ditandai 
dengan membagi-bagi angpau oleh etnis China kepada pribumi justru merupakan 
legitimasi peneguhan posisi kelas dominan. Fenomena ini merepresentasikan 
minoritas etnis yang menguasai mayoritas sumber daya ekonomi. Politik 
kemajemukan budaya tanpa mempertimbangkan aspek pengakuan, redistribusi, dan 
representasi yang hakiki sama artinya dengan mengingkari keadilan dan cenderung 
terjebak perangkap kemajemukan semu.

Hipokrisi penegakan hukum

Penegakan hukum pascareformasi merupakan faktor penting dalam menjaga arah 
demokrasi. Tanpa tegaknya sistem hukum di Tanah Air, demokratisasi hanya akan 
melahirkan deviasi-deviasi baru seperti anarkisme, kekerasan, dan 
ketidakpastian yang ujung-ujungnya rakyat menjadi korbannya.

Perlu diakui, demokratisasi telah membuat warga dapat mengekspresikan dan 
mengartikulasikan kehendaknya, tetapi kadang artikulasi kepentingan oleh massa 
sering tidak terkontrol sehingga sering mengarah pada tindakan anarkisme massa 
yang melawan hukum. Misalnya, berbagai tuntutan buruh, resistensi masyarakat 
terhadap berbagai proyek pemerintah, dan tuntutan mahasiswa sering kali tidak 
mengindahkan rule of the game dan rule of law sehingga memunculkan tindakan 
kekerasan sipil atau brutalisme massa.

Selain itu, maraknya tindak penyalahgunaan kekuasaan oleh jajaran eksekutif, 
legislatif, dan yudikatif (mafia peradilan) merupakan indikator belum adanya 
penghayatan dan toleransi terhadap penderitaan rakyat sehingga mengancam proses 
demokrasi.

Meski pemerintahan SBY telah berupaya mengatasi masalah ini, hasilnya belum 
maksimal. Berbagai produk perundang-undangan sebenarnya sudah banyak yang 
dilandasi spirit demokrasi, tetapi pelaksanaannya jauh dari gambaran normatif, 
bahkan tidak jarang justru yang terjadi sebaliknya, membuat undang-undang untuk 
tidak ditaati, atau ramai-ramai dilanggar. Kondisi seperti ini menghasilkan 
efek imitasi sehingga melahirkan gejala "spiral pelanggaran hukum" yang tak 
berujung pangkal.

Kalau fenomena-fenomena seperti itu tidak bisa diatasi, sebenarnya kita sedang 
masuk kerangkeng hipokrisi penegakan hukum. Pada satu sisi berbicara, membuat, 
dan menegakkan aturan yang secara normatif benar (seperti warisan adiluhung), 
tetapi pada sisi lain, pelanggaran dan pengingkaran terhadap norma hukum 
sedemikian marak. Jangan-jangan hipokrisi ini berakar pada perilaku budaya kita 
yang memang munafik, seperti mengusung nilai gotong royong tetapi kenyataannya 
egoisme, mempromosikan kemanusiaan tetapi melanggar HAM di mana-mana, mengaku 
majemuk tetapi memaksakan kehendak, menyebut dirinya Pancasilais tetapi brutal 
dalam berpolitik, dan lain-lain.

 Tiga problem

Tiga masalah besar yang sedang bergulir dalam perpolitikan kita, yaitu 
kecenderungan demokrasi beku, pluralisme semu, dan hipokrisi penegakan hukum, 
telah menghadang para calon pemenang dalam pemilu presiden kali ini. Siapa pun 
pemenangnya, baik pasangan incumbent maupun pasangan penantang, harus mampu 
memecahkan masalah-masalah itu.

Ada tiga problem mendasar yang harus dicarikan solusinya. Pertama, membawa 
bangsa ini keluar dari kondisi demokrasi beku melalui cara mewujudkan 
konsolidasi para elite politik pascapemilu. Para elite politik yang 
terkonsolidasi di bawah kepemimpinan terpilih akan mengurangi risiko 
destabilisasi sosial sehingga kondisi seperti ini dapat menjadi fondasi bagi 
terwujudnya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Kedua, memecahkan perangkap kemajemukan semu dengan cara memberikan proteksi 
bagi minoritas termarjinal (bisa etnis, penganut agama, kelas, dan lainnya). 
Proteksi ini dilakukan dalam upaya mewujudkan pengakuan eksistensi, 
redistribusi sumber ekonomi, dan representasi kepentingan agar mereka juga 
memiliki jaminan keadilan di republik ini.

Ketiga, hipokrisi penegakan hukum yang menjelma dalam fenomena "spiral 
pelanggaran hukum" harus dipatahkan melalui sistem kepemimpinan yang tegas, 
pemberian ganjaran memadai bagi yang mengikuti aturan hukum dan sanksi berat 
bagi yang terbukti melanggarnya.

Seandainya ketiga hal itu dapat diwujudkan, presiden dan wakil presiden itu 
layak disebut sebagai pemimpin harapan bangsa Indonesia.

Heru Nugroho Guru Besar Sosiologi UGM

Kirim email ke