Membangun Tradisi Oposisi
Selasa, 14 Juli 2009 | 04:44 WIB

Oleh SUHARDI SURYADI

Meski masih menunggu hasil perhitungan resmi KPU, teka-teki siapa bakal calon 
presiden dan wakil presiden Indonesia 2009-2014 sudah terjawab. Hasil 
penghitungan cepat menempatkan SBY-Boediono meraih sekitar 60 persen suara.

Pada sisi lain, pasangan JK-Win yang diramalkan menjadi pesaing kuat justru 
terperosok pada angka sekitar 12 persen, lebih rendah dibandingkan dengan 
perolehan Partai Golkar pada pemilu legislatif. Tak ayal kekalahan ini membuat 
para elite partai memikirkan kemungkinan membawa Golkar sebagai oposisi meski 
ada suara lain yang merasa pesimistis atau tidak setuju dengan peran oposisi 
ini.

Selain masalah akses pada sumber daya, kekhawatiran paling besar yang dihadapi 
suatu partai jika menempatkan diri sebagai oposisi, kemungkinan dipandang 
sebagai penyebab instabilitas dan menjadi kekuatan destruktif dalam sistem 
politik nasional. Pandangan ini amat keliru mengingat dalam demokrasi, oposisi 
adalah bagian dari sistem pemerintahan yang mengontrol tugas pemerintah, 
mendorong kompetisi politik, bahkan membantu peningkatan efektivitas kebijakan 
pemerintah.

Kalaupun ada konfrontasi antara pemerintah dan oposisi terkait kepentingan 
dalam kompetisi politik, justru merupakan fenomena positif untuk kemajuan 
negara.

Vira Nanivska menyebut hubungan pemerintah dan oposisi seperti dua pedal sepeda 
yang memutar rantai hubungan dan perpindahan mekanisme kebijakan (ICPS 2006).

Sebaliknya, instabilitas politik hanya terjadi jika pemerintah melakukan 
tindakan yang memarjinalisasi partai politik oposisi. Misalnya, menciptakan 
dualisme kepemimpinan partai, membatasi akses partai pada unit-unit ekonomi, 
media, dan lainnya sebagaimana pada masa Orde Baru.

Tradisi oposisi

Salah satu kekurangan—jika tidak mau disebut kegagalan—gerakan reformasi 1998 
dalam bidang politik adalah menumbuhkan kekuatan oposisi yang terlembaga di 
DPR. Selama 10 tahun terakhir, hampir tidak ada partai politik yang konsisten 
melakukan counter atas kebijakan pemerintahan dengan menawarkan kebijakan 
alternatif yang lebih baik. Kalaupun ada kritik atau ketidaksetujuan partai 
atas kebijakan ekonomi pemerintah misalnya, namun partai sendiri sering tidak 
mempunyai tawaran konsep dan program ekonomi yang jelas dan nyata.

Suara kritis yang disampaikan partai melalui wakilnya di DPR pada dasarnya 
bukan mencerminkan bentuk oposisi mengingat suara-suara berbeda di DPR sering 
bersifat individu dan tidak mewakili suara partai.

Kesan kuat yang dapat ditangkap adalah

orientasi dari sikap kritis DPR lebih dimaksudkan sebagai upaya "penjegalan" 
atas rencana kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah ketimbang perdebatan 
konsep program. Karena itu, perbedaan pandangan politik antara politisi dan 
pemerintah yang kemudian bermuara pada hak angket acap kali berakhir dengan 
kompromi.

Beberapa faktor yang melatarbelakangi belum tumbuhnya kehidupan oposisi dalam 
praktik politik dewasa ini adalah pertama, persepsi dari politisi bahwa 
terlibat dalam cabang kekuasaan lebih memberikan berkah dalam bentuk akses 
terhadap sumber daya ketimbang menjadi oposisi. Oposisi sering dikonotasikan 
dengan tersumbatnya akses partai pada sumber daya ekonomi, baik yang ada di 
sektor swasta maupun melalui penguasaan pada jabatan-jabatan publik.

Kedua, selama 30 tahun para politisi tenggelam dalam kehidupan sistem politik 
otoritarian dan tidak kenal oposisi. Hal ini membuat partai atau politisi tidak 
terbiasa membangun kultur politik berbeda dengan penguasa, baik dalam dataran 
artikulasi maupun konsep operasional.

Ketiga, kelahiran partai politik umumnya belum mendasarkan pada panggilan atas 
masalah yang dihadapi bangsa, tetapi lebih memanfaatkan momentum keterbukaan 
politik. Implikasinya, antara satu partai dan partai lain nyaris tidak ada 
perbedaan substantif dalam platform dan program. Ditambah lagi dalam 10 tahun 
terakhir, sistem perekrutan anggota dalam partai dan DPR bersifat instan dan 
kurang melalui proses kaderisasi intensif.

Oposisi jalanan

Ketiadaan oposisi yang terlembaga dalam kehidupan politik sebenarnya dapat 
menjadi ancaman pelembagaan demokrasi ke depan. Kurang berfungsinya 
partai-partai politik yang mendapat posisi di DPR dalam menjalankan peran-peran 
kontrol sekaligus menawarkan kebijakan alternatif kepada pemerintah akan 
membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya kekuatan oposisi ekstra 
parlementer.

Selain itu, situasi ini juga akan mengakibatkan krisis legitimasi baik pada 
pemerintah maupun partai politik, tecermin pada rendahnya partisipasi politik 
masyarakat. Karena itu, ide atau keinginan Partai Golkar menjadi kekuatan 
oposisi ke depan amat positif, terutama dalam memberikan konsep alternatif atas 
kebijakan pemerintah. Minimal Partai Golkar dapat menjadi oposisi di bidang 
pembangunan ekonomi, sosial, pertahanan, dan politik luar negeri.

Kemampuan membangun oposisi secara sehat dan efektif jauh lebih dapat 
menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat daripada duduk di kursi kekuasaan. 
Ajaran konfusianisme tentang pemerintahan mengatakan, suatu negeri lebih baik 
tanpa senjata dan makanan ketimbang tanpa kepercayaan rakyat.

 SUHARDI SURYADI Direktur LP3ES

Kirim email ke