Dear All, Semoga nyambung dengan runtutan email sebelumnya. Menurut Si Kabayan lagi- lagi mengenai keberpihakan kepada "Kelas Kakap" / "Berat" dibanding "Kelas Bulu" ataupun "Kelas Terbang" bantuan likuiditas 6,8 T bahkan di beberapa media pun Rp.6,76 T agar terkesan "sedikit" dibulatkan kebawah menjadi Rp. 6,7 T ;)). Dan sekarang mulai diopinikan bahwa hal tersebut adalah wajar? Jangan-2 sebentar lagi akan dianggap pemberian bantuan tsb adalah tindakan yang HEROIK? Padahal untuk kelas bulu mah koma terakhir dibelakangnya pun sangat berarti 0,06 T setara dengan 60 M hemmm cukup untuk membenahi berapa pasar tradisional dan kaki lima agar setara dengan kaki lima-nya di Orchard Road SQ atau jongko-2 yang ada di seputar Esplanade SQ... mengapa kelas bulu atau terbang ini selalu terpinggirkan? Beberapa waktu lalu di Media sambil menunggu buka puasa ada tontonan aparat Satpol PP menggusur secara paksa pedagang, padahal katanya para pedagang tersebut telah bayar "pajak retribusi"??
Beberapa pengamat menilai kasus Bank Century adalah "mis management" toh bank yang lainnya yang management-nya okeh kan baik- baik saja? Jadi apakah perlu bantuan likuiditas tersebut? Mengapa para kelas bulu dan kelas terbang ini yang justru lebih memerlukan pertolongan hanya untuk berusaha bertahan hidup saja yg tidak ditolong? Malahan dibebani dengan persaingan tidak sehat dimana harus masuk ring tinju dimana lawan bermainnya adalah "Mike Tyson" yang punya gelar WBA, WBC, IBF sekelas Heavy Weight-lah. Mengenai pembayaran pajak atau retribusi siapa bilang para kelas bulu tidak membayarnya? Ooooh yaa mereka bahkan mungkin membayar lebih dari yang seharusnya? Pajak retribusi, uang preman, uang sampah... Namun entah masuknya kemana? Bagi mereka tidaklah penting siapa yang memungut uang mereka tersebut dan kemana uangnya masuk yang penting mereka bisa berdagang toh katanya masuknya juga ke "pemerintah" juga hanya saja karena dianggap sektor informil barangkali pemerintahnya juga ada yang "informil" juga... Jadi kenapa ngak diformilkan saja ya? Ah katanya yang penting mereka telah mendapatkan "izin" untuk bisa menjalankan fitrah mereka sesuai dengan hadits Rosul bahwa pintu surga itu ada 10 dan 9 diantaranya adalah berniaga/ berbisnis/ berdagang? Mereka tidak mencuri... mereka bagaikan kabilah-2 seperti halnya Rosululloh sebelum mendapatkan kerasulannya senantiasa berniaga ikut pada armada dagang yg berkeliling timur tengah untuk menjajakan dagangannya. Yang mencuri atau lebih tepatnya "MERAMPOK" justru adalah para pengusaha kaya raya yang entah bagaimana caranya mendapatkan "Bantuan Likuiditas" dengan nilai yang mungkin bagi kelas bawah sudah tidak tahu 0 -nya itu ada berapa? Secara yang mereka dapatkan hanyalah uang recehan... Kangkung seikat hanya seribu aaaaah katakanlah marginnya 20% artinya untungnya seikat hanya 200 perak, nah berapa ikat Kangkung kah uang 6,8 T tersebut? Jadi begitulah nasib Masyakarat Nusangsara dan sekedar untuk pembenaran, kan hal demikian tidak hanya terjadi di Indonesia!! Di Amerika atau negara lainnya juga kan begitu keberpihakan selalu ada pada Kelas Kakap? Jadi wajar doooong? Heroik dooong? Lalu kapankah ada keberpihakan kepada kaum miskin dan dhuafa barangkali itu hanyalah cerita yang ada pada kitab - kitab suci saja... pada kenyataannya mah? Wallohualam :((. Salam Sedih, KAsep From: ia-...@yahoogroups.com [mailto:ia-...@yahoogroups.com] On Behalf Of Suryanto - Sent: 29 Agustus 2009 19:22 To: ia-...@yahoogroups.com Subject: Re: [IA-ITB] RE: [Senyum-ITB] Pemerintah RI, Bagaimana Kalau Carrefour dan Sejenisnya 1 Hari Libur? Ikut nimbrung ya. Dengan pendapat yang berseberangan tentunya. Terlepas dari janji kampanye untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasar tradisional, ekonomi kerakyatan, dan lain sebagainya, pasar tradisional tidak harus dipertahankan selama-lamanya. Memang pasar tradisional berkaitan langsung dengan nasib para pedagang kecil. Namun, bila profesi sebagai pedagang kecil sudah tidak menjanjikan lagi, saatnya mereka beralih profesi dan mencurahkan tenaga mereka untuk pekerjaan yang lebih produktif. Saya kurang setuju bila solusi yang ditawarkan adalah dengan mengurangi keunggulan pasar retail modern. Seharusnya solusi ditujukan untuk menaikkan daya tawar pasar tradisional. Bila memang pasar tradisional layak dipertahankan, mereka harus bisa memberikan keunggulan lebih. Bila tidak, jangan dipertahankan lagi. Paling tidak biarkan insentif untuk menjadi pedagang kecil berkurang, sehingga mereka bisa menekuni profesi lain. Dalam bayangan saya, bila pasar retail modern tidak dipersulit dan dapat tumbuh pesat, aliran barang akan lebih baik. Volume penjualan barang yang besar memungkinkan mereka untuk beroperasi secara lebih ekonomis dan membuat mereka dapat menawarkan barang yang dijual dengan lebih murah, yang ujung-ujungnya menguntungkan para rakyat kecil juga. Belum lagi kita perhitungkan faktor jaminan kualitas produk yang ditawarkan, terutama terkait produk makanan. Semua rakyat (kecil atau besar) layak mendapatkan makanan yang layak. Jangan sampai kasus ayam formaline atau ikan formaline lagi (yang bukan merupakan makanan layak bagi manusia) terjadi lagi. Kita ada masalah serius dengan efisiensi. Banyak rakyat kita bekerja di sektor tidak produktif. Sebuah toko kadang mempekerjakan 10 pelayan, padahal toko yang sama dapat beroperasi dengan 3 pelayan. Pekerjaan yang dapat diselesaikan 1 orang dalam waktu 1 hari kadang dikerjakan 3 orang dalam waktu 3 hari. Dan masalahnya, kita tidak melihat sesuatu yang salah dengan itu. Padat karya atau pemborosan? regards, Suryanto