Rajam, cenah sabenerna model hukuman urang Yahudi jaman baheula. Hukuman ieu 
telenges pisan sabab jelema dibaledogan ku batu tepi ka hanteuna. Rarasaan teh 
asa patojaiyah jeung Islam, nu tong boro ka jelema, rek barang peuncit ka sato 
wae, kudu make peso anu seukeut, supaya ulah nyiksa sato nu rek dipeuncit.

Kuring oge kungsi maca, cenah Ibnu Batutah saurang "penjelajah" Muslim kacida 
hookeunana waktu nempo urang Eropa dina ngahukum pati. Jalma nu dihukum pati 
teh dihaja disiksa lila-lila. Keur Ibnu Batutah, Urang Eropa jaman harita jalma 
barbar, nu teu boga kabudayaan ....

Nyanggakeun Caping Tempo minggu ieu:


Perajam

Senin, 28 September 2009

INI sebuah cerita yang telah lama beredar, sebuah kisah yang termasyhur dalam 
Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pelataran Baitullah, ketika Yesus duduk 
mengajar.

Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan orang Farisi datang. Mereka 
membawa seorang perempuan yang langsung mereka paksa berdiri di tengah orang 
banyak.

Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. "Hukum Taurat Musa 
memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian dengan 
batu," kata para pemimpin Yahudi itu pula. Mereka tampak mengetahui hukum itu, 
tapi toh mereka bertanya: "Apa yang harus kami lakukan?"

Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan orang Farisi itu 
memang berniat "menjebak" Yesus. Mereka ingin agar sosok yang mereka panggil 
"Guru" itu (mungkin dengan cemooh?) mengucapkan sesuatu yang salah.

Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya mengira-ngira latar 
belakang kejadian ini: para pakar Taurat dan kaum Farisi agaknya curiga, Yesus 
telah mengajarkan sikap beragama yang keliru. Diduga bahwa ia tak mempedulikan 
hukum yang tercantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan 
bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar, bagi Yesus iman 
tak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah menghayati hidup yang terus-menerus 
diciptakan Tuhan dan dirawat dengan cinta-kasih.

Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hukum Taurat tak bisa 
dibiarkan. Terutama di mata kaum Farisi yang, di antara kelompok penganut 
Yudaisme lain, paling gigih ingin memurnikan hidup sehari-hari dengan menjaga 
konsistensi akidah.

Maka pagi itu mereka ingin "menjebak" Yesus.

Tapi Yesus tak menjawab. Ia hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan 
jari-jarinya di tanah. Dan ketika "pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya," 
demikian menurut Yohanes, Yesus pun berdiri. Ia berkata, "Barangsiapa di antara 
kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada 
perempuan itu." Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah.

Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak seorang pun siap 
melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan "satu demi satu orang-orang itu 
pergi, didahului oleh yang tertua." Akhirnya di sana tinggal Yesus dan 
perempuan yang dituduh pezina itu, kepada siapa ia berkata: "Aku pun tak 
menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Tak ada rajam. Tak ada hukuman. Kejadian pagi itu kemudian jadi tauladan: 
menghukum habis-habisan seorang pendosa tak akan mengubah apa-apa; sebaliknya 
empati, uluran hati, dan pengampunan adalah laku yang transformatif.

Tapi bagi saya yang lebih menarik adalah momen ketika Yesus membungkuk dan 
menuliskan sesuatu dengan jarinya ke atas tanah. Apa yang digoreskannya?

Tak ada yang tahu. Saya hanya mengkhayalkan: itu sebuah isyarat. Jika dengan 
jarinya Yesus menuliskan sejumlah huruf pada pasir, ia hendak menunjukkan bahwa 
pada tiap konstruksi harfiah niscaya ada elemen yang tak menetap. 
Kata-kata—juga dalam hukum Taurat—tak pernah lepas dari bumi, meskipun bukan 
dibentuk oleh bumi. Kata-kata disusun oleh tubuh ("jari-jari"), meskipun bukan 
perpanjangan tubuh. Pasir itu akan diinjak para pejalan: di atas permukaan 
bumi, memang akan selalu melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau 
hilang dari makna itu.

Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak menampik ketentuan Taurat. Ia 
tak meniadakan sanksi rajam itu. Tapi secara radikal ia ubah hukum jadi sebuah 
unsur dalam pengalaman, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah 
saat di sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di mana 
saja, kapan saja. Ketika Yesus berbicara "barangsiapa di antara kamu yang tak 
berdosa", hukum serta-merta bersentuhan dengan "siapa", bukan "apa"—dengan 
jiwa, hasrat, ingatan tiap orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu.

Para calon perajam itu bukan lagi mesin pendukung akidah. Mendadak mereka 
melihat diri masing-masing. Aku sendiri tak sepenuhnya cocok dengan hukum 
Allah. Aku sebuah situasi kompleks yang terbentuk oleh perkalian yang 
simpang-siur. Kemarin apa saja yang kulakukan? Nanti apa pula?

Dan di saat itu juga, si tertuduh bukan lagi hanya satu eksemplar dari 
"perempuan-perempuan yang demikian". Ia satu sosok, wajah, dan riwayat yang 
singular, tak terbandingkan—dan sebab itu tak terumuskan. Ia kisah yang kemarin 
tak ada, besok tak terulang, dan kini tak sepenuhnya kumengerti. Siapa gerangan 
namanya, kenapa ia sampai didakwa?

Perempuan itu, juga tiap orang yang hadir di pelataran itu, adalah nasib yang 
datang entah dari mana dan entah akan ke mana. Chairil Anwar benar: "Nasib 
adalah kesunyian masing-masing".

Dalam esainya tentang kejadian di pelataran Baitullah itu, René Girard—yang 
menganggap mimesis begitu penting dalam hidup manusia—menunjukkan satu adegan 
yang menarik: setelah terhenyak mendengar kata-kata Yesus itu, "satu demi satu 
orang-orang itu pergi…." Pada saat itulah, dorongan mimesis—hasrat manusia 
menirukan yang dilakukan dan diperoleh orang lain—berhenti sebagai faktor yang 
menguasai perilaku. Dari kancah orang ramai itu muncul individu, orang seorang. 
"Teks Injil itu," kata Girard, "dapat dibaca hampir secara alegoris tentang 
munculnya ke-person-an yang sejati dari gerombolan yang primordial."

Tapi kepada siapakah sebenarnya agama berbicara: kepada tiap person dalam 
kesunyian masing-masing? Atau kepada "gerombolan"? Saya tak tahu. Di pelataran 
itu Yesus membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia berdiri, 
ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat itu tak berteriak.

Goenawan Mohamad


Kirim email ke