Ari sugan teh hayam di paranje we nu bisa leungit teh. Geuning kecap
ge bisa leungit nya.
Lain 'kecap' bumbu masak ieu mah. Tapi kecap alias 'kata' alias 'word'. Hehehe.
Eta cenah kecap 'tembakau' dina revisi undang-undang kasehatan
anyar-anyar ieu barang
nepi ka Setneg ti  DPR ngadadak leungit tina redaksi draft undang-undang. Beu!
-mh-
====


Ayat Tembakau Hilang dari Undang-undang Kesehatan

Rabu, 07 Oktober 2009 | 15:52 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ayat yang mengatur tembakau hilang dari
Undang-undang tentang Kesehatan yang telah disahkan dalam sidang
Paripurna DPR bersama pemerintah pertengahan September lalu. Ayat
dalam pasal 113 yang mengatur pengamanan zat adiktif tersebut, raib
sebelum undang-undang ditandatangani oleh presiden dan dicatat dalam
lembar negara di Sekretariat Negara.

Ahli Kesehatan Kartono Muhammad dan anggota Panitia Khusus Rancangan
Undang-undang Kesehatan Hakim Sorimuda Pohan baru mengetahui hal
tersebut setelah mendapatkan informasi dari beberapa rekan yang
mengawal proses pembahasan. "Saya datang ke sekretariat DPR, benar
ayat 2 hilang," kata Hakim dalam diskusi "Korupsi" Ayat Undang-undang
Kesehatan di Hotel Soyfan, Rabu (7/10).

Ayat 2 yang hilang itu berbunyi "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat,
cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat
menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masyarakat
sekelilingnya.". Namun, dalam bagian penjelasan pasal 113 masih
terdiri dari tiga ayat termasuk penjelasan tentang ayat 2.

Hakim semakin yakin ayat itu hilang setelah datang ke sekretariat DPR
dan melihat langsung undang-undang yang sudah dilengkapi lembar putih
berlogo emas DPR. "Drafnya sudah final karena sampul luarnya berlogo
emas DPR-RI," tambah Hakim. Sekretariat DPR mengaku tidak tahu menahu
adanya perubahan tersebut, katanya perubahan terjadi setelah
diserahkan kepada Sekretariat Negara.

Menurut Hakim, oknum yang mencatut ayat tersebut bisa dari pihak
legislatif maupun eksekutif. Ia pun telah menanyakan perubahan itu
kepada Departemen Kesehatan namun mereka pun mengaku tak tahu menahu.
Departemen, tambahnya, tidak keberatan apabila ayat itu dikembalikan.
Pernyataan itu mengindikasikan sudah ada kesepakatan menghilangkan
ayat, jika tidak penghilangan itu seharusnya dianggap sebagai
kelalaian.

Ada beberapa kemungkinan ayat bisa hilang, pertama faktor
ketidaksengajaan yang terjadi dalam proses transkrip rekaman rapat
pembahasan undang-undang. Kedua, penghilangan itu kemungkinan
disengaja sehingga harus ada upaya hukum karena merupakan bentuk
pelanggaran konstitusional. Undang-undang tersebut sudah melalui
pengesahan di sidang parupurna antara DPR dan pemerintah, sehingga
sudah berlaku dan mengikat semua warga negara.

Penghilangan ayat itu termasuk tindakan pidana karena melanggar
Undang-undnag Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan apabila dilakukan oleh internal DPR merupakan
bentuk pelanggaran kode etik sebagai perilaku yang tercela. Kejahatan
ini harus diinvestigasi dan diusut tuntas dan pelakunya harus
bertanggungjawab.

Kartono Muhammad menambahkan meski ayat itu dikembalikan, tetapi
kejahatan sudah dilakukan sehingga harus dipertanggungjawabkan.
Seperti halnya tindakan pidana korupsi, meski uang hasil korupsi sudah
dikembalikan tetapi kejahatannya tetap harus dimintai tanggungjawab.
"Jangan sampai jadi kebiasaan, undang-undang yang sudah disahkan di
paripurna masih diotak-atik lagi, stop kebiasaan ini," tegasnya.

Siapapun pelakkunya harus dilaporkan ke Kepolisian dan diadili. Kasus
ini harus diungkap kepada masyarakat luas karena telah terjadi
kejahatan legislasi. Masyarakat harus terus memantau proses legislasi
agar hal itu tak terjadi lagi. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia Tulus Abadi mengatakan, kasus ini menjadi preseden buruk,
baru kali ini terungkap ada penghilangan ayat. "Kebetulan aja kali ini
terpantau, jangan-jangan sebelumnya juga banyak terjadi, ayat bisa
hilang atau bertambah," katanya.

Ada tiga alternatif yang akan ditempuh yakni melaporkan kepada
Kepolisian atas hilangnya ayat dalam dokumen negara. Kemudian,
dilakukan gugatan kepada pengadilan atas kasus tersebut, dan terakhir
mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan ayat
tersebut. Namun, menurut Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia
Corruption Watch Abdullah Dahlan, uji materi maupun uji legislasi
tidak perlu dilakukan tetapi ayat tersebut otomatis dikembalikan saja
karena sudah disahkan dalam sidang paripurna. "Kalau uji materi atau
legislasi jadi membenarkan kejahatan itu, seolah telah melalui proses
formal," katanya.

Ia menduga penghilangan ayat tersebut terjadi di DPR, karena setelah
disahkan di paripurna kemudian dirapikan redaksionalnya langsung
diserahkan ke sekretariat negara dan tidak perlu dikembalikan ke DPR
lagi. Apalagi, undang-undang yang ada di sekeretariat DPR masih
berlogo DPR-RI belum berlogo Garuda Indonesia karena belum mendapatkan
nomor lembar negara dari sekretariat negara.

AQIDA SWAMURTI
cite: 
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/10/07/brk,20091007-201344,id.html

Kirim email ke