mun nagara siga kieu?!

--- Pada Sen, 19/4/10, Insan Sains <insansa...@gmail.com> menulis:

Dari: Insan Sains <insansa...@gmail.com>
Judul: [forum_pembangunan] Serial Samurai Muslim : Fatihah
Kepada: "Forum Pembangunan" <forum_pembangu...@yahoogroups.com>
Tanggal: Senin, 19 April, 2010, 1:22 PM







 



  


    
      
      
      



Beberapa bulan terakhir saya dibuat terkesan dengan mempelajari budaya-budaya 
Jepang. Banyak buku serta pengalaman-pengalam an dari rekan maupun dosen yang 
pernah tinggal cukup lama di sana. Ketertarikan ini menyulut rasa ingin tahu 
lebih dalam sehingga dilanjutkan dengan mempelajari catatan sejarah negeri 
sakura ini. Yang pada akhirnya, sampailah saya pada satu titik kulminasi, 
kesimpulan sementara bahwa ada sebuah jati diri yang telah mengakar kuat di 
negeri bertanah sempit ini. Jati diri dan jalan hidup itu bernama, “Samurai”. 





Catatan kecil ini tidak berbicara tentang sejarah klan Samurai dan pertarungan- 
pertarungannya. Tidak juga berbicara tentang pengagungan bangsa lain. Tidak! 
Catatan ini murni berbicara tentang bagaimana hidup terhormat. Hanya karena 
kebudayaan Jepanglah yang nampak saat ini, maka tidak ada yang dapat menyangkal 
fakta hidup ini. Meski jika boleh kita membandingkan dengan lembaran sejarah 
silam, tentu ada kebudayaan yang lebih “fantastis”, yaitu kebudayaan Islam.





Catatan kecil ini pula merupakan “kuliah-kuliah” singkat saya di kantor. 
Catatan seorang insan yang menginginkan perubahan di jamannya, di tempatnya 
menggarap ladang, yang panennya mudah-mudahan bisa ditukar dengan keridhaan 
Allah. Catatan kecil ini saya beri nama “Serial Samurai Muslim”.





Membuka kuliah pertama ini, saya share tulisan yang sudah banyak tersebar di 
milis-milis. Tulisan seorang mahasiswa WNI yang menyelesaikan S3 di Jepang. 
Selamat “kabita” ^_^






Etos Kerja Orang Jepang

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala; namun 
berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang 
mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski 
Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan 
universal terealisir yang menarik untuk disimak dan diaplikasikan di tanah air 
tercinta. 



Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan beberapa kawan 
dekat kami di Jepang. 






Kantor pemerintahan dan pelayanan publik

Anda pernah melihat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor 
pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi 
membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai 
kerja hingga pulang larut malam. 



Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang sedang bekerja 
tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan - jangan mereka sedang 
ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui 
makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup 
berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak 
berubah tersebut. 



Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada 
satu ruangan yang sama - tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya 
bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya 
dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun 
staf dalam melayani masyarakat. 



Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang 
sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam - dalam dengan pola serius 
utuh diselingi dengan senyuman. Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan 
saya yang mempelajari system pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para 
"semut" tersebut - tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah 
di Jepang. Yang saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi 
sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda 
dengan profesi yang lain. 



Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas 
dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus 
mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat. 
Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. 
Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda 
melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda 
tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak 
hal, pertanyaan - pertanyaan tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau 
tidak. Tidak perlu surat - surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya 
percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran. 



Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus sangat 
efisien. Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar 
berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat 
mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri 
saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah mengatakan, 
begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada 
(dan harus ada) solusinya. Lain hari saya membaca prinsip "the biggest 
(service) for the small" yang kurang lebih bermakna pelayanan dan perhatian 
yang maksimal untuk orang - orang yang kurang beruntung. 



Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di Jepang. 
Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk 
menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, 
di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di kantor 
tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya 
harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah 
ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi 
tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen 
pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. 



Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya 
jumpai di Jepang. 



Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat 
terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat. 



Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan 
pencatatan meter listrik oleh petugas. Sebuah kesalahan yang tidak umum di 
negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai 
untuk mengkonfirmasikan kesalahan tersebut. Berkali - kali kata sumimasen (yang 
bisa pula berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya 
sudah selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. 
Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari 
rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip 
tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang datang 
bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang ditinggalkannya) dan 
tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf, karena bingkisan berisi 
sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai kartu nama petugas tersebut. 
Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa
 petugas pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam 
bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di Negara ini. 



Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang akan 
sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk 
kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di 
Jepang), maka atasan dan kawan - kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak 
memiliki niat bekerja". Saya membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari 
saya bersepeda melintasi kantor walikota (shiyakusho) . Sebagian besar lampu di 
kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf 
kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini 
berarti, mereka semua memiliki niat bekerja - versi Jepang. 






Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian

Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah - buahan dengan bandrol murah; 
favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa 
ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada permukaan beberapa buah - 
buahan - sesuai dengan harga murah yang disematkan padanya. Pada saat kami 
hendak membayar buah tersebut, penjual buah buru-buru menerangkan dan 
menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan 
kembali memastikan niat kami membeli nya. Sembari tersenyum, tentu saja kami 
mengatakan "daijobu" (tidak apa-apa), karena kami sudah melihatnya dari awal. 
Beberapa kawan kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian yang bagi 
kami cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur tersebut tidak dimonopoli 
oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran adalah prasyarat 
utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam 
jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan
 pelanggan. 



Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima uang 
kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada slip 
pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil di Jepang). 
Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai pengganti nominal tertentu. 
Selain kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami sekaligus kagum 
dengan sistem perbankan Jepang yang mampu menyediakan uang recehan untuk 
pedagang dan vending machine (mesin penjual otomatis) di se-antero Jepang. 
Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa 
menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli . 



Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan" 
anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah - buahan bisa meluncur ke 
lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat keriangan 
anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang mudah penyok. Pada semua kejadian 
tersebut, petugas supermarket melihat dan segera mengganti barang - barang 
tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang dengan wajah lelah dan pasrah 
untuk membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami. 
Bahkan pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat 
kami menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak - anak kami, dengan 
ramah petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa). 



Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk sebuah 
konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas supermarket di Jepang. 
Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang, maka petugas tidak 
sekedar memberi arah petunjuk pada anda, namun dia akan mengantarkan anda 
hingga berjumpa dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan meninggalkan 
anda setelah memastikan bahwa everything is ok. Hal ini tidak berarti bahwa 
jumlah petugas supermarket di Jepang demikian banyaknya hingga mereka 
berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang sangat besar; justru 
sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan kebutuhan, dan mereka 
selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko elektronik, seorang petugas 
yang menjelaskan spesifikasi komputer yang anda tanyai adalah juga kasir tempat 
anda membayar serta petugas yang melakukan packing akhir terhadap komputer yang 
anda beli . 






Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi

Kami sempat terheran - heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe demi 
melihat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan 
dengan petugas pos di Indonesia . Benar, ini bukan metafora. Memang ada pula 
polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah mengendarai motor besar bak 
Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota besar seukuran Kobe - salah 
satu kota metropolis di Jepang, posturnya tidak segagah polisi yang sering saya 
jumpai di jalan-jalan Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila 
saya mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya serupa benar dengan 
bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau. Ini Kobe dan Ashiya, dua kota 
di negara macan ekonomi dunia. Bebek terbang tersebut dilengkapi dengan boks 
besi di bagian belakang - mirip dengan petugas pengantaran barang kiriman. 
Namun, sekali bapak atau mbak polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah 
saya melihat ada diantaranya yang
 berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang 
sangat baik ini. Ke mana pun anda lari, kesitu pula polisi dengan uniform yang 
serupa akan menghampiri anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa 
polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan (decision 
maker) - kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot 
dan berisi. Tak heran saya melihat mas - mas polisi muda berkacamata melakukan 
patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat, mengawasi, dan 
mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja. 






Lingkungan hidup dan transportasi

Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir 
separuh populasi Republik tercinta. Di sisi lain, wilayah negara ini didominasi 
oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang tetap hijau, membuat 
saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan 
melekat pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah 
penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di 
mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan 
tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan kebersihan. Anda 
akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat aktivitas 
manusia) di jalan- jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang, maka kesitulah 
anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi. Orang Jepang meletakkan 
sepatu /alas kaki dengan tangan, bukan dengan kaki ataupun dilempar begitu 
saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space) yang mereka
 miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan alas 
kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan pada saat kita keluar 
ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa 
well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; 
seorang pasien yang sedang menunggu giliran di depan saya berbicara dan 
menggerakkan anggota tubuhnya sendiri. Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan 
kami bukan ditempati psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu 
dari kawan yang belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang 
mempersiapkan dialog dengan dokternya. 



Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta 
(lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar 
wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda tidak 
perlu berkeinginan untuk memiliki kendaraan sendiri - kecuali bila anda tinggal 
di country-side yang tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta dan 
shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda transportasi di 
Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas 
kereta di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan 
shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi 
udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah satu 
sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga berkontribusi 
pada rendahnya polusi udara karena, praktis PLTN tidak mengemisikan CO2. 



Nasehat "tengoklah duru kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin tidak 
sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang telah 
disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang pejalan kaki berubah warna 
menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa perlu 
menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di 
Asia, kebiasaan menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir terserempet 
motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini. 






Kesehatan dan rumah sakit

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu 
memajukan bangsa dan negaranya. Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe 
University , wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun sekali. 
Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah. 
Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program 
asuransi nasional. Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu membayar 30% 
dari biaya berobat. 



Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan 
potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian 
Pendidikan Jepang. Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi 
per-bulan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari 
laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya 
bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang 
saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke 
rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan lagi menjadi hal yang menakutkan 
bagi keluarga kami di Jepang. Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau 
klinik swasta akan memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu 
asuransi - apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga 
tidak mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak 
berkurang serta prosedur yang sama sederhananya.
 Keramahan di sini berarti keramahan yang sebenar - benarnya. Baik anda kaya 
ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit di Jepang adalah sama 
mudahnya. 



Saat istri melahirkan di rumah sakit pemerintah di Ashiya, saya disodori 
formulir yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi 
sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran 
di hari dia harus keluar dari rumah sakit. Kami mendapatkan keringanan biaya 
melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit 
tanpa bayar pada hari itu, tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong 
subsidi dari pemerintah) juga baru datang dua bulan kemudian. 





Ditulis oleh : Yuli Setyo Indartono,

Mahasiswa S3 di Graduate School of Science and Technologi, Kobe University, 
Japan.

Peneliti Istecs dan Ketua Teknologi Energi INDENI

www.indeni.org. Email : indart...@yahoo. com



sumber : http://www.beritaip tek.com/zberita- beritaiptek- 2006-09-13- 
Dongeng-dari- Jepang.shtml










      Best Regards,





       Insan Sains

http://forumsains. com

http://insansains. wordpress. com 










    
     

    
    


 



  





Kirim email ke