Prinsip-Prinsip Dasar Perkawinan (2)

7. Bahwa pergaulan dalam rumah tangga juga membu­tuhkan suasana 
dinamis, dialog dan saling menghargai. Kekurangan keuangan keluarga 
misalnya, oleh orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan 
suasana dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana mapan yang lama 
(baik mapan cukup maupun mapan dalam kekurangan) dapat menimbulkan 
suasana rutin yang menjenuhkan. Oleh karena itu suami isteri harus 
pan­dai menciptakan suasana baru, baru dan diperbaharui lagi, karena 
faktor kebaruan secara psikologis membuat hidup menjadi menarik. 
Kebaruan tidak mesti dengan  mendatangkan hal-hal yang baru, tetapi 
bisa juga barang lama dengan kemasan baru.

8. Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah adanya orang 
ketiga bagi suami atau bagi isteri (other women/man). Datangnya orang 
ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena kelalaian/kurang was­
pada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu), atau karena pergaulan 
terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena 
ketidak puasan kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. 
Suami/isteri harus saling mempercayai, tetapi harus waspada terhadap 
kemungkinan masuknya virus orang ketiga.

Artinya: "Nabi melarang seorang lelaki memasuki kamar wanita yang 
bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya memasuki 
kamar saudara ipar. Nabi men­jawab: Masuk ke kamar ipar itu sama 
dengan maut (berbahaya)." (Hadis)

artinya: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah 
dan hari akhir, untuk bepergian selama tiga hari tanpa disertai 
muhrimnya. (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud, dari  Ibn Umar)

9. Bahwa perkawinan itu bukan hanya mempertemukan  dua orang; suami 
dan isteri, tetapi juga dua keluarga besar antar besan. Oleh karena 
itu suami/isteri harus bisa berhubungan secara proporsional dengan 
kedua belah pihak keluarga, orang tua, mertua adik, ipar dst.

10. Bahwa masalah harta benda sering menjadi sumber perselisihan 
keluarga, baik selagi masih hidup maupun setelah ditinggal mati 
(warisan). Orang tua diajarkan untuk  berlaku adil terhadap anak-
anaknya -termasuk dalam hal pemberian harta-. Ada dua jalan untuk 
menga­lihkan hak pemilikan harta orang tua kepada anak, yaitu hibah, 
yakni pemberian ketika orang tua masih hidup, dan  pembagian harta 
warisan setelah orang tua mati. 

Pedoman pembagian harta warisan dalam Islam sudah sangat jelas, 
tetapi kesepakatan keluarga (ahli waris) dapat membuat keputusan lain 
dalam pemba­gian harta. Harta waris yang diperoleh dengan cara re-
butan/perselisihan biasanya tidak berkah, karena cara perolehannya 
disertai rasa permusuhan/tidak ridla.

artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta dari sebagian 
yang lain diantaramu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu 
membawa urusan harta itu ke  pengadilan supaya kamu dapat menguasai 
(harta orang lain)  dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui 
(kesalahanmu). (Surat al Baqarah, 188)

11. Bahwa karena selalu berdekatan, komunikasi antara suami isteri 
biasanya menjadi sangat intens. Kehar­monisan hubungan antara suami 
isteri dipengaruhi oleh kesamaan atau keseimbangan watak/temperamen, 
kesamaan hobbi, kedekatan visi dan sebagainya. Kehar­monisan suami dan 
isteri akan terwujud jika masing-masing berfikir untuk memberi, bukan 
untuk menun­tut, saling menghargai, bukan saling merendahkan. Dalam 
kehidupan, seringkali dijumpai bahwa kesu-litan yang dihadapi justeru 
mengandung hikmah yang besar, asal orang dapat menerima dan 
menghadapinya secara benar dan sabar. Isteri biasanya kurang senang 
dinasehati suami  jika nasehat itu seperti nasehat guru kepada murid, 
meskipun ia mengakui kebenaran na­sehat suaminya, demikian juga 
sebaliknya.

artinya: Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai 
wanita dengan secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka 
karena hendak mengambil kembali seba­hagian dari apa yang telah engkau 
berikan kepada mereka, terkecualijika mereka melakukan perbuatan keji 
yang nyata. Pergauilah mereka dengan secara patut, tetapi jika kamu 
tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena  boleh jadi kamu 
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya  kebaikan 
yang banyak. (an Nisa 19)

artinya: Tidak bisa memuliakan wanita, kecuali lelaki yang mulia 
juga, dan tidak sanggup    merendahkan derajat wanita kecuali lelaki 
yang rendah (tercela) juga. (Hadis)

12. Pada dasarnya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami. 
Poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, bagaikan pintu 
darurat, dan dengan per­syaratan-persyaratan yang berat. Secara 
sosiologis, poligami terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain:

a. Suami hanya menuruti dorongan syahwatnya, tanpa mengukur tanggung 
jawabnya.

b. Isteri kurang mengerti  hal-hal yang dapat mengikat perasaan suami 
untuk tetap  konsentrasi di rumah.

c. Pergaulan yang terlalu akrab dengan wanita lain, misalnya karena 
setiap hari selalu bersama (seperti teman sekerja), atau karena 
simpati kepada problem yang dihadapi si wanita itu sehingga si lelaki 
ter­dorong ingin menjadi dewa penolong.

d. Perpisahan yang terlalu lama antara suami dan isteri.

e. Campur tangan luar atau pelecehan harga diri suami oleh 
isteri/keluarganya sehingga suami merasa tidak berwibawa di rumah, 
dan selanjutnyya mencari kewibawaan  di luar rumah.

f.Isteri tak berdaya menghadapi kehendak suami, atau sefaham bahwa 
poligami itu  manusiawi saja. 

Poligami yang dilakukan demi menjaga kesucian,  adalah lebih baik 
daripada toleransi terhadap perzinahan. Ungkapan yang berbunyi; jika 
ingin makan daging kambing cukup beli sate, tidak harus repot-repot 
me­melihara kambing, sebenarnya adalah ungkapan sesat dari orang bodoh.
Seorang  bijak mengatakan bahwa poligami hanya bisa dilakukan oleh 
tiga orang, yaitu:

(1)     oleh "raja", yang dengan kekuasannya ia dapat mengatur isteri-
isterinya,

(2)     oleh orang berilmu, dimana dengan ilmunya ia bisa meminij 
keluarga besarnya,

(3)     orang ngawur, dimana ngawurnya  itu membuat­nya tak perduli 
dengan problem.

13. Perceraian. Dilihat dari sudut hak dan kewajiban, perkawinan 
merupakan kontrak  sosial yang mengikat antara suami dan isteri, 
yakni bahwa suami memikul kewajiban yang melahirkan hak, sebagaimana 
juga isteri memiliki hak-hak yang lahir dari kewajiban yang 
dipikulnya. 

Jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hal itu 
berpengaruh kepada hak-hak yang dimilikinya, dan sebaliknya menjadi 
hak bagi pihak lain untuk menggugatnya. Misalnya; suami wajib memberi 
nafkah keluarga, yang dengan itu suami memiliki hak untuk memimpin 
rumah tangga. Jika suami ternyata  tidak sanggup memberi nafkah, seba­
liknya isteri justeru bekerja keras dan bisa memberi nafkah 
keluarganya, maka hak kepemimpinan suami dalam rumah  tangga pasti 
menjadi tidak penuh karena terdesak oleh kontribusi yang diberikan 
oleh isteri.

a. Ta'lik talak yang diucapkan suami setelah akad nikah merupakan 
bentuk perlindungan kepada isteri dari kelalaian suami.

b. Jika suami/isteri merasa bahwa hak-hak mereka tidak dipenuhi, 
sementara jalan keluar tidak ada, maka agama memberikan jalan keluar 
kepada pasangan itu untuk memilih satu   dari dua pilihan: Kembali 
bersatu secara terhormat, atau berpisah secara baik-baik.
artinya: Talak yang dapat dirujuk itu hanya dua kali, setelah itu 
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikannya dengan 
cara yang baik. (Q/2:229)

c. Perceraian (talak) adalah sesuatu yang dihalalkan tetapi tidak 
disukai Tuhan.

artinya : Sesuatu yang halal yang sangat dimurkai Allah adalah talak.

d. Untuk mencegah terjadinya perceraian, dianjurkan keluarga turun 
tangan, yakni dengan mengirimkan tenaga mediasi (hakam).
artinya: Jika kamu khawatir akan terjadi persengeketaan di antara 
keduanya (suami isteri), maka kirimkanlah seorang pendamai (hakam) 
dari keluarga suami dan dari keluarga siteri.  Jika kedua juru damai 
itu berniat untuk mendamaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq 
kepada kedua suami isteri itu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi 
Maha Mengenal. (an Nisa, 35)

e. Perceraian yang ke I dan yang ke II (talak raj'i) tidak langsung 
memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk 
selama masa 'iddah. Masa 'iddah merupakan peluang bagi kedua belah 
pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah 
tangga yang beran­takan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama 
dari apa yang dilakukan orang tuanya.


Wassalam,
agussyafii

==============================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
http://mubarok-institute.blogspot.com
==============================================

Kirim email ke