Tulisan dari seorang pengajar Ponpes di Rembang (kebetulan mantan teman sekelas 
sewaktu di SMA 1 Teladan Yogyakarta di awal 80-an) yang pernah sangat dekat 
dengan mantan RI 1 dan dimuat di Kompas hari ini sebagai Catatan Awal Tahun : 
"CATATAN ATAS CATATAN".
Sebuah tulisan sederhana dengan hikmah yg sangat dalam.
Semoga bermanfaat.




Catatan  Awal Tahun 

Catatan atas Catatan




Yahya C Staquf

 


Tuhan
memperingatkan, "Takutlah kalian pada bencana yang tidak hanya menimpa
orang-orang zalim kalian saja." Artinya, ada bencana "sapu bersih" yang
melahap semua, tak peduli orang-orang saleh. Ini ancaman "baru", mulai
berlaku sejak kerasulan Musa AS. Sebelum itu, orang-orang saleh tidak
pernah tidak diselamatkan. 
Ancaman
baru itu berkaitan dengan suatu perintah baru. Sejak "paruh kedua"
periode kerasulan Musa AS, yaitu setelah Firaun ditenggelamkan dan Musa
beserta para pengikutnya diseberangkan dengan aman, Tuhan mewajibkan
manusia untuk bertindak ketika terjadi kezaliman. Sebelum itu, Tuhan
senantiasa "turun tangan sendiri": penentang Nabi Nuh ditenggelamkan
banjir, penentang Nabi Saleh ditelan bumi, penentang Nabi Luth diuruk
batu, dan seterusnya, sampai dengan karamnya Firaun. Sesudah itu, orang
saleh yang harus bertindak, berjuang sendiri mengoreksi kezaliman dan
memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya. 
Setelah
turun perintah baru, Tuhan mengancam akan menimpakan bencana "sapu
bersih" jika, menurut Rasulullah SAW, kerusakan merajalela, sedangkan
orang-orang saleh berpangku tangan pura-pura tidak tahu. "Untuk
mencapai kemenangannya di muka bumi, bagi setan cukup dengan orang baik
tidak berbuat apa-apa," kata Edmund Burke, seorang filsuf. Kita hidup
bersama ibarat menumpang perahu yang sama. Jika ada orang zalim kita
biarkan membocori perahu kita, semua orang akan tenggelam meskipun
tidak ikut-ikutan zalim. 
Mungkin
semangat inilah yang mengilhami kegiatan-kegiatan (politik) bertajuk
"Catatan Akhir Tahun" yang memenuhi hari-hari terakhir 2007 ini. Dalam
kegiatan-kegiatan itu, sebagian besar wacananya berisi kritik, gugatan,
bahkan umpatan terhadap pemerintah. Memang wajar saja, dan barangkali
pemerintah pantas menerimanya. Tapi akan tidak adil dan tidak maslahat
jika orang lupa bahwa rakyat pun perlu dikritik dan digugat. 
Kalau
mau jujur, sebenarnya kelakuan pemerintah dan mayoritas rakyat itu
setali tiga uang. Ini niscaya mengingat pemerintah adalah "produk"
mayoritas rakyat. Mencemooh pemerintah sama halnya menepuk air di
dulang. Nyiprat-nya ke muka kita-kita juga. Sungguh sahih sabda
Rasulullah SAW, "Sesuai dengan apa adamu, dijadikanlah penguasa
atasmu." Rakyat lurus menghasilkan pemerintahan lurus, rakyat bengkok
pemerintahnya pun bengkok. 
Tak
perlu kaget kalau pemerintah mengabaikan golongan miskin. Bukankah
sebagian besar kita juga begitu? Jangan kata yang kaya terhadap yang
miskin, sesama miskin saja tak saling peduli. Pejuang-pejuang pembela
orang miskin senantiasa minoritas di antara kita. 
Kalau
pemerintah sering bersikap tega terhadap yang lemah, menggusuri yang
gurem-gurem, menelantarkan masa depan ribuan korban kezaliman, rakyat
pun tak jauh beda: bersikap sewenang-wenang terhadap minoritas,
mengusir mereka dari tempat berkumpulnya, bahkan menganiaya dengan
kekerasan. Pemerintah memanjakan si kaya, rakyat pun menjadikan mereka
idola. Lihat saja, pada setiap pemilihan pejabat publik oleh rakyat, si
kaya selalu jadi pilihan utama. 
Pemerintah
mempraktikkan tebang pilih dalam penegakan hukum? Rakyat toh sering
juga hanya mau tahu keadilan untuk kelompoknya sendiri. Kalau perlu,
mereka ramai-ramai berdemo membela teman separtai atau seorganisasi
atau seagama walaupun salah. Pemerintah sembrono menunjuk pejabat?
Mengapa heran? Bukankah pemerintah itu sendiri hasil kesembronoan
rakyat menentukan pilihan? Demikian juga akan terasa "normal" takluknya
pemerintah kepada kekuatan asing jika kita akui juga mentalitas kita
yang masih suka memuja buatan luar negeri sambil merendahkan karya
bangsa sendiri. 
Tambahkanlah
contoh sebanyak-banyaknya. Pasti tidak sulit karena hampir semua yang
dengan geram kita kecam dari kelakuan orang lain (pemerintah), kita
temukan juga pada diri kita sendiri. Pemerintah bodoh, kita bodoh.
Pemerintah lamban, kita lamban. Pemerintah brengsek, kita brengsek. Dan
seterusnya. 
Hanya
satu hal yang masih muskil bagi saya, yaitu tuduhan bahwa pemerintah
ini peragu. Muskil karena saya belum melihat imbangannya dari sisi
rakyat. Tampaknya, rakyat kita tidaklah peragu. Tindakan-tindakan
paling ngawur pun amat sering mereka nekat melakukannya. Lebih dari
itu, peragu itu makqamnya orang berilmu. Hanya orang pintar yang bisa
bimbang. Orang bodoh bisanya bingung. Persis seperti keadaan mayoritas
rakyat hari ini. Maka, jangan-jangan pemerintah pun belum sampai ke
maqam bimbang, tapi baru bingung. 
Di
atas semua itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa kritik, termasuk
dalam rangka catatan-catatan akhir tahun ini, akan lebih bijaksana dan
maslahat jika dilakukan dalam nuansa introspeksi. Cita-cita memiliki
pemerintah yang baik hanya mungkin terwujud jika rakyat juga
sungguh-sungguh berusaha menjadi baik. Ketidakberesan tak boleh
dibiarkan. Tapi pastilah tindakan yang diperlukan bukan hanya
"memberesi orang lain", tapi harus pada saat yang sama "memberesi diri
sendiri". 
Lebih
lanjut, tidakkah kita ingat bahwa yang kita perlukan adalah perubahan,
bukan pertarungan, apalagi penghancuran? Jika Rasulullah SAW bersabda,
"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia
mengubahnya (falyughoyyirhu)…," maka benar-benar yang beliau maksudkan
adalah mengubah, bukan menggasak pelakunya. 
Saudara-saudara
kita yang kalap melihat kesesatan sekelompok kecil orang lalu menyerbu,
menyegel tempat-tempat ibadah, merusak rumah-rumah, jelas keblinger.
Mereka tidak mengubah (menuju perbaikan), tapi menambah kerusakan. 
Respons
yang benar terhadap ketidakberesan haruslah memenuhi sejumlah syarat
yang dapat menjamin bergulirnya proses menuju perubahan. Antara lain:
rasional, tidak emosional; terencana dengan baik, tidak ngawur;
terorganisasi rapi, tidak asal jalan; dalam kebersamaan, tidak berebut
jadi pahlawan kesiangan; dan seterusnya. 
Di
atas segala-galanya, yang paling mendasar bagi orang beriman adalah
"keikutsertaan" Tuhan. Ketidakberuntungan pemerintah kita saat
ini—begitu banyak bencana, begitu banyak masalah—dikarenakan "salah
kampanye". "Bersama kita bisa!" begitu slogan utama mereka dulu.
Seolah-olah hanya dengan bersama-sama di antara mereka saja sudah bisa.
Tuhan tidak diajak. Jangan salahkan Tuhan kalau sekarang Dia tidak mau
tahu. 
Penulis adalah Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang 





      ________________________________________________________ 
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda! Kunjungi 
Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.yahoo.com/

Kirim email ke