Tadi sore sempat lihat liputan seabad memerangi kemiskinan. Ternyata dana APBD 
sekitar lebih dari 30 % dipakai belanja birokrat yang banyak mark up dan 
program fiktif nya. 
Terus di NTT yang kemarin banyak terdapat balita gizi buruknya ada rumah dinas 
bupati yang seluas istana negara dan makan biaya pembuatan milyaran, itu juga 
terhambat karena terkorupsi hingga kehabisan dana sebelum pembuatan selesai. 
Kebangetan. 
Sedih liat Indonesia kayak gini

Wawan Purnomo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                             Akhirnya 
harga BBM dipastikan naik lagi. Kepastian naiknya harga BBM
 diumumkan Pemerintah melalui Menko Ekonomi Boediono setelah rapat
 terbatas di Kantor Presiden Senin (5/5) lalu. Menurut Presiden SBY
 sendiri, tahapan sekarang bukan lagi membahas harga BBM naik atau
 tidak, tetapi bagaimana imbas kenaikan BBM 20-30 persen terhadap
 berbagai komoditas, termasuk instrumen untuk melindungi rakyat miskin
 dan berpenghasilan rendah (Republika, 6/5/). Padahal sehari sebelumnya
 Presiden SBY sepakat untuk tidak terlalu cepat menaikkan harga BBM.
 Kebijakan menaikkan BBM adalah langkah terakhir (Kompas, 5/5).
 
 Faktanya, "langkah terakhir" inilah yang justru dengan cepat ditempuh
 oleh Pemerintah. Alasan utamanya, sebagaimana berkali-kali diungkap
 Pemerintah, adalah tekanan yang semakin berat terhadap APBN 2008
 akibat terus membengkaknya anggaran subsidi BBM sebagai dampak
 langsung dari terus meroketnya harga BBM di pasaran internasional
 hingga nyaris menembus US$ 120 perbarel.
 
 Yang amat disesalkan, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM
 akan diberlakukan justru di tengah-tengah jeritan masyarakat dari
 berbagai lapisan yang tengah menderita akibat himpitan ekonomi dan
 beban hidup yang semakin berat. Tidak jarang, bagi yang tipis iman,
 frustasi hingga bahkan diakhiri dengan aksi bunuh diri menjadi
 pilihan. Ini sudah banyak terjadi dan diekspos oleh banyak media
 akhir-akhir ini.
 
 Karena itu, apapun alasannya, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan
 harga BBM rata-rata 30% adalah kebijakan yang zalim karena akan
 semakin menyengsarakan rakyat.
 
 Betulkah Tidak Ada Langkah Lain?
 
 Sebagaimana yang sudah-sudah, ketika krisis ekonomi terjadi, kebijakan
 menaikkan tarif kebutuhan pokok seperti BBM pada akhirnya selalu
 menjadi "langkah terakhir" yang menjadi favorit Pemerintah. Dengan
 menyebut kebijakan menaikkan BBM sebagai "langkah terakhir" Pemerintah
 seperti berupaya meyakinkan masyarakat, bahwa Pemerintah telah
 sungguh-sungguh menempuh cara-cara lain di luar "langkah terakhir"
 tersebut. Padahal jelas masih ada cara atau langkah lain yang bisa
 ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi ini.
 
 Jika kita memperhatikan struktur pengeluaran APBN, ada tiga kelompok
 besar yang secara seksama peranannya masing-masing dalam menjaga
 kesinambungan fiskal, yaitu: (1) pengeluaran Pemerintah pusat
 (investasi sektoral dan belanja rutin); (2) transfer ke pemerintah
 daerah dalam rangka desentralisasi fiskal; (3) pembayaran bunga dan
 cicilan pokok utang (luar negeri dan dalam negeri).
 
 Karena itu, secara teknis pun, setidaknya ada tiga cara/langkah lain
 sebelum Pemerintah menempuh langkah menaikkan harga BBM:
 
 Penghematan belanja rutin. Ini sudah dilakukan Pemerintah, yang
 memotong anggaran untuk kementerian dan lembaga sebagai kompensasi
 kenaikan subsidi yang berkaitan dengan BBM, termasuk subsidi listrik.
 Hendaknya penghematan ini juga dilakukan di seluruh daerah.
 
 Memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI yang
 bunganya jelas menambah beban Pemerintah. Sepanjang tahun 2007 saja,
 menurut catatan Pemerintah, dana APBD yang mengendap di BI dalam
 bentuk SBI mencapai sedikitnya Rp 146 triliun (Waspada Online,
 27/8/07). Lebih dari itu, sepanjang tahun 2007, ternyata APBD kita
 rata-rata surplus cukup besar (Okezone.com, 6/5/08). Ini jelas bisa
 dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi beban Pemerintah dan
 masyarakat.
 
 Penangguhan pembayaran utang luar negeri. Tahun 2008 ini cicilan
 pembayaran utang plus bunganya mencapai Rp 151,2 triliun
 (Beritasore.com, 25/11/2007). Penangguhan ini jelas akan membantu
 mengurangi beban berat APBN.
 
 Selain itu, menurut Ekonom Dr. Hendri Saparini, Pemerintah bisa
 mengurangi anggaran subsidi bank rekap yang mencapai puluhan triliun
 rupiah. Langkah lainnya adalah memotong rantai broker (baik dalam
 ekspor maupun impor minyak oleh Pertamina) yang sangat merugikan.
 (al-Wa'ie, No. 92/April/2008).
 
 Akar Persoalan
 
 Jika kita cermati, kebijakan untuk menaikkan harga BBM sesungguhnya
 terkait dengan rencana lama Pemerintah untuk mengurangi secara
 bertahap—bahkan menghapus sama sekali—subsidi di bidang energi.
 Artinya, bisa dikatakan, kenaikan harga BBM di pasar internasional
 hanyalah "faktor kebetulan" saja, yang kemudian dijadikan momentum
 oleh Pemerintah. Pasalnya, penghapusan subsidi adalah konsekuensi
 logis dari penerapan sistem Kapitalisme. Dalam Kapitalisme, negara
 sama sekali tidak berkewajiban untuk menjamin kebutuhan publik seperti
 BBM, listrik, pendidikan atau kesehatan masyarakat. Seluruhnya
 diserahkan pada mekanisme hukum pasar. Hal ini diperparah sejak krisis
 yang menimpa Indonesia tahun 1997. Pemerintah Indonesia secara resmi
 meminta bantuan dan campur tangan IMF dan Bank Dunia dalam mengatasi
 krisis ekonomi dan moneter. Salah satu tuntutan IMF adalah agar
 Pemerintah menghapuskan subsidi yang sebelumnya digunakan untuk
 membantu masyarakat membeli BBM dan mengurangi tarif dasar listrik.
 IMF berdalih bahwa untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara,
 salah satu cara yang harus dilakukan adalah mengurangi dan
 menghapuskan subsidi Pemerintah terhadap BBM dan TDL.
 
 Selain itu, yang tak kalah besar dampak buruknya bagi masyarakat,
 adalah kebijakan Pemerintah untuk melakukan liberalisasi ekonomi,
 khususnya di sektor energi. Liberalisasi sektor energi tidak hanya di
 sektor hulu (eksplorasi), tetapi juga di sektor hilir (distribusi dan
 pemasaran). Pemerintah lewat UU Migas berjanji untuk mengikis habis
 monopoli di Pertamina. Yang ditawarkan kemudian adalah membuka
 kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam
 distribusi dan pemasaran migas. Dengan alasan supaya kompetisi dalam
 distribusi dan pemasaran bisa 'adil', lagi-lagi subsidi minyak harus
 dicabut. Sebab, jika masih ada minyak bersubsidi di pasaran, pemain
 asing enggan masuk. Ini setidaknya pernah ditegaskan oleh Menteri ESDM
 Purnomo Yusgiantoro, "Liberalisasi sektor hilir migas membuka
 kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran
 migas…Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang
 disubsidi Pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena
 disubsidi, pemain asing enggan masuk." (Kompas, 14/5/03).
 
 Sepintas ide ini cukup menarik. Namun, ancaman di balik itu sungguh
 sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah
 perusahaan-perusahaan multinasional. Karena mereka yang paling siap,
 maka merekalah yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran
 migas di Indonesia.
 
 Menurut Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat
 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir
 migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU)
 (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa
 seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro
 China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
 
 Dikeluarkannya Undang-Undang Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001 bisa
 mengancam keamanan pasokan BBM di dalam negeri karena memperbolehkan
 perusahaan minyak yang menjadi kontraktor bagi hasil (KPS) di
 Indonesia untuk menjual sendiri minyaknya. Pasalnya, jika terjadi
 penurunan produksi di dalam negeri, bisa saja mereka tetap menjual
 minyak mereka ke luar negeri. Kilang-kilang Indonesia juga terancam
 tidak mendapatkan minyak mentah saat liberalisasi Migas dimulai tahun
 2005. Alasannya, biaya produksi minyak di dalam negeri yang rata-rata
 3 dolar AS dinilai terlalu mahal, sementara di luar negeri lebih rendah.
 
 Adapun di sektor hulu, di Indonesia saat ini ada 60 perusahaan
 kontraktor; 5 (lima) di antaranya masuk kategori super majors yaitu,
 Exxon Mobil, Chevron, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco, dan
 Texaco; selebihnya masuk kategori majors yaitu, Conoco, Repsol,
 Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, dan perusahaan
 kontraktor independen. Dari 160 area kerja (working area) yang ada,
 super majors menguasai cadangan masing-masing minyak 70% dan gas 80%.
 Adapun yang termasuk kategori majors menguasai cadangan masing-masing,
 minyak sebesar 18% dan gas sebesar 15%. Perusahaan-perusahaan yang
 masuk kategori independen, menguasai minyak sebesar 12% dan gas 5%.
 
 Solusi Mendasar
 
 Bagaimanapun, krisis BBM dan krisis ekonomi secara keseluruhan tidak
 bisa dilepaskan dari Kapitalisme global yang semakin mencengkeramkan
 kakinya di Indonesia. Cengkeraman tersebut antara lain melalui
 lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia yang terus
 memaksakan kehendaknya terhadap Indonesia, khususnya melalui beragam
 UU dan berbagai macam kebijakan ekonomi Pemerintah maupun melalui
 perusahaan-perusahaan asing yang terus menghisap habis kekayaan alam
 Indonesia.
 
 Karena itu, jelas diperlukan keberanian Pemerintah dan rakyat
 Indonesia untuk keluar dari jeratan Kapitalisme global ini, untuk
 kemudian segera memberlakukan sistem yang baik, yang tidak lain
 bersumber dari sang Pencipta, Allah Yang Mahatahu. Allah SWT berfirman:
 
 &#1571;&#1614;&#1601;&#1614;&#1581;&#1615;&#1603;&#1618;&#1605;&#1614; 
&#1575;&#1604;&#1618;&#1580;&#1614;&#1575;&#1607;&#1616;&#1604;&#1616;&#1610;&#1617;&#1614;&#1577;&#1616;
 &#1610;&#1614;&#1576;&#1618;&#1594;&#1615;&#1608;&#1606;&#1614; 
&#1608;&#1614;&#1605;&#1614;&#1606;&#1618; 
&#1571;&#1614;&#1581;&#1618;&#1587;&#1614;&#1606;&#1615; 
&#1605;&#1616;&#1606;&#1614; &#1575;&#1604;&#1604;&#1607;&#1616; 
&#1581;&#1615;&#1603;&#1618;&#1605;&#1611;&#1575; 
&#1604;&#1616;&#1602;&#1614;&#1608;&#1618;&#1605;&#1613; 
&#1610;&#1615;&#1608;&#1602;&#1616;&#1606;&#1615;&#1608;&#1606;&#1614;
 
 Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang
 lebih baik (sistem hukumnya) daripada Allah bagi orang-orang yang
 yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
 
 Sistem yang baik tentu harus dijalankan oleh pemimpin yang baik.
 Pemimpin yang baik tidak lain adalah pemimpin yang amanah, yang mau
 tunduk pada sistem yang baik tersebut. Pemimpin yang baik antara lain
 yang tidak akan pernah tega membebani rakyatnya dengan berbagai
 kebijakan yang menyengsarakan mereka, karena ia takut dengan doa
 Rasulullah saw.:
 
 «&#1575;&#1604;&#1604;&#1617;&#1614;&#1607;&#1615;&#1605;&#1617;&#1614; 
&#1605;&#1614;&#1606;&#1618; &#1608;&#1614;&#1604;&#1616;&#1610;&#1614; 
&#1605;&#1616;&#1606;&#1618; &#1571;&#1614;&#1605;&#1618;&#1585;&#1616; 
&#1571;&#1615;&#1605;&#1617;&#1614;&#1578;&#1616;&#1610; 
&#1588;&#1614;&#1610;&#1618;&#1574;&#1611;&#1575; 
&#1601;&#1614;&#1588;&#1614;&#1602;&#1617;&#1614; 
&#1593;&#1614;&#1604;&#1614;&#1610;&#1618;&#1607;&#1616;&#1605;&#1618; 
&#1601;&#1614;&#1575;&#1588;&#1618;&#1602;&#1615;&#1602;&#1618; 
&#1593;&#1614;&#1604;&#1614;&#1610;&#1618;&#1607;&#1616;»
 
 Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia membebani
 mereka, maka bebanilah dia! (HR Muslim dan Ahmad). []
 
 KOMENTAR:
 
 Kenaikan BBM Beri Kepastian Kepada Investor (Mediaindonesia.com,
 6/5/2008).
 
 Memang, kenaikan BBM lebih berpihak kepada pemilik modal, ketimbang
 kepada rakyat.
 
 
     
                                       

       

Kirim email ke