Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Suatu hari ada orang aneh mendatangi anda. Lalu berucap: "Fa-ainaa 
tadzhabuun…?". Maksud orang itu; Mau kemana sih, loe?, Gampang. Anda 
jawab saja: "Gue mau kekantor!". Atau, "Gue mau kekampus." 
Bilang "kerumah pacar" juga boleh. Pertanyaannya hanya satu; "Mau 
kemana sih, loe?" Tetapi, jawabannya bisa banyak sekali. Sekarang, 
jawaban mana yang benar? Tidak seperti soal ebtanas yang menuntut 
hanya satu jawaban yang benar, pertanyaan itu memberikan keleluasaan 
kepada setiap individu untuk menemukan jawabannya masing-masing. 
Apakah anda bilang hendak kekantor atau ke kampus, atau kerumah 
pacar; itu tidak dipersoalkan. Sebab, orang yang mempunyai tujuan, 
akan selalu mempunyai jawabannya. Sedangkan, seseorang yang tidak 
tahu hendak menuju kemana dia; pasti tidak bisa menjawabnya. Ngomong-
ngomong,  `Fa-ainaa tadzhabuun…?'.  Mau kemana sih, loe? 

Saya baru diingatkan kembali tentang salah satu episode dari Alice 
in Wonderland, buah karya legendaris Lewis Carroll. Dalam suatu 
perjalanan, Alice tiba di sebuah persimpangan jalan. Jalan yang 
dilaluinya bercabang menjadi dua. Satu kekiri, dan satu lagi 
kekanan. Alice bingung mau mengambil jalan yang mana. Dalam 
bimbangnya, ia bertanya kepada Cheshire Cat yang lucu itu; "Would 
you tell me please," katanya "which way I ought to go from here?"  
Kucing bijaksana itu menatap wajah Alice. Lalu dia berkata; "That's 
depend on a good deal on where you want to go…" Kata Cheshire Cat. 
Mendengar nasihat itu, Alice berkata bahwa dirinya tidak terlalu 
peduli dengan tujuan. Dan sang kucing kembali tersenyum, lalu 
berkata dengan lemah lembut; "Then, it doesn't matter which way you 
go…." Jalan mana yang kamu tempuh - my dear - bergantung kepada 
tujuanmu. 

Kalo elo nggak tahu kemana tujuan elo, ngambil jalan manapun nggak 
urusan. Terserah elo. Itu bukan gue yang bilang. Tapi, si Cheshire 
Cat. Kalau bangsa kucing aja bisa bilang begitu; kenapa elo nggak 
bisa bilangin hal yang sama buat diri elo sendiri? Elo suka 
kebingungan kalo berhadapan dengan dua pilihan. Jadinya hidup elo 
gamang. Jiwa elo ngambang. Hati elo bimbang. Nggak bisa bikin 
keputusan. Ujung-ujungnya elo cuma bengong doang.  Nggak ngambil 
jalan yang ini. Nggak juga yang itu. Nggak ngambil tindakan ini. 
Nggak juga yang itu. Elo jadi pasif. Nggak ngapa-ngapain. Dan tahu-
tahu elo nyadar kalau udah tua. Padahal elo nggak tahu dipake apa 
aja tuch umur! Begitu, sang sosok dicermin berkata ketika saya 
menatapnya. 

Sebenarnya, hal itu tidak perlu terjadi jika saja kita sudah 
mempunyai jawaban yang jelas atas pertanyaan dari orang aneh 
tadi. "Fa-ainaa tadzhabuun…?". Sesungguhnya, ini bukan sekedar 
pertanyaan tentang sebuah tindakan. Melainkan tentang misi hidup 
kita. Pendek kata, `Fa-ainaa tadzhabuun…' mengingatkan kita bahwa 
Tuhan menciptakan manusia dengan suatu tujuan. Oleh karenanya, 
setiap manusia yang dilahirkan memiliki misi hidupnya masing-masing. 
Kita diajak untuk sadar tentang tujuan hidup kita itu. Sebab, tujuan 
hidup kita akan menentukan tindakan kita. Jika tujuan hidup kita 
baik; maka kita akan menjauhi tindakan-tindakan yang buruk. Tetapi, 
jika tujuan hidup kita buruk; ngapain kita buang-buang waktu untuk 
melakukan tindakan yang baik? Kalaupun kita melakukan kebaikan, maka 
itu bertujuan supaya kita bisa menutupi keburukan lain yang kita 
lakukan. Topeng. Karena, kebaikan kita pasti tidak didasari oleh 
niat baik. Mungkin kita hanya sekedar ingin dipuji orang. Mungkin 
kita hanya ingin agar orang mencoblos kita pada pemilihan ketua RT 
nanti. Apa saja.

Sedangkan tujuan yang baik memberi kita panduan. Supaya kita tidak 
melakukan tindakan yang berlawanan dengan tujuan kita. Jika kita 
bertujuan baik, kita tidak akan pernah mau mencemarinya dengan 
setitik dengki didalam hati. Apalagi merusaknya dengan tindakan yang 
merugikan orang lain. Atau hal-hal buruk lainnya. Sebab, seperti air 
dan minyak, tujuan baik belum bisa berintim-intim dengan perilaku 
buruk. Makanya, jika seseorang lebih banyak berperilaku buruk. 
Mementingkan dirinya sendiri. Menghalalkan segala cara; bisa 
dipastikan bahwa orang itu mendefinisikan tujuan hidupnya kearah 
yang buruk. Sebab, jika tujuan mereka baik; pasti akan tercermin 
pula didalam sikap, tindak-tanduk, dan lakunya setiap hari. Pendek 
kata, tujuan yang kita tentukan memberi arah kepada kita; atas jalan 
mana yang harus kita tempuh ketika kita berada disebuah persimpangan.

Selain memberi arah, tujuan hidup juga memberi kekuatan jiwa. Jika 
kita sudah mempunyai tujuan mulia; maka kesulitan hidup macam apapun 
yang merintangi, pasti akan kita hadapi. Jadinya, kita tidak mudah 
menyerah. Karena kita tahu, meskipun sulit; tapi itu adalah jalan 
yang akan membawa kita menuju ke tempat yang kita tuju. Sedangkan, 
jalan lain – meskipun kelihatannya indah – bukan membawa kita ke 
tempat yang kita cita-citakan. Dengan begitu kita bisa menjadi 
pribadi yang tangguh.  

Dalam pekerjaan pun demikian. Jika kita mempunyai tujuan dalam karir 
atau pekerjaan, maka kita akan bersedia untuk melakukan banyak hal 
yang memungkinkan kita mencapai tujuan itu. Meskipun mungkin itu 
membutuhkan usaha ekstra. Kesabaran yang lebih besar. Dan keuletan 
yang luar biasa. Jika tujuan kita lebih besar dari orang lain; maka 
kita tahu dong bahwa usaha yang kita lakukan mestinya juga lebih 
berkualitas daripada orang lain. Oleh sebab itu, agak aneh juga ya 
kalau kita bercita-cita untuk melampaui pencapaian orang lain, tapi 
kita bekerja dengan kualitas dan kuantitas yang sama dengan mereka. 
Betapa banyak orang yang ingin sukses dalam karirnya. Ingin menjadi 
manajer yang hebat. Tidak jarang juga yang berambisi untuk menjadi 
direktur secepat kilat. Tapi, mereka bekerja tidak lebih baik dari 
teman-temannya. Bahkan, jujur saja; orang lain banyak yang lebih 
bersungguh-sungguh dari mereka. Menurut pendapat anda; jika 
kesempatan itu memang ada, siapa yang layak mendapatkannya? Tentu 
adalah orang yang lebih ulet. Lebih giat. Lebih berdedikasi. 

Ada pertanyaan; Jika kita punya tujuan, belum tentu bisa mencapainya 
kan? Benar. Tidak semua orang yang mempunyai tujuan berhasil 
mewujudkannya. Karena ada beberapa faktor yang menentukan. Misalnya, 
kita keburu meninggal. Jika sang pemilik hidup mengambil hidup kita, 
mau apa lagi? Terima saja. Lagipula, jika selama hidup kita sudah 
dituntun oleh tujuan hidup yang baik, maka pastilah maut akan 
membawa kita ke tempat yang lebih baik. Bagaimana kalau kelakuan 
kita dikendalikan oleh tujuan hidup yang buruk? Jadi, kematian 
bukanlah sesuatu yang mesti kita takutkan. 

Lain ceritanya kalau ketidakberhasilan itu disebabkan karena kita 
tidak memaksimalkan kemampuan yang kita miliki. Betapa banyak orang 
yang sesungguhnya mempunyai kemampuan tinggi, sekolah tinggi, 
kesempatan banyak; tapi mereka tidak memaksimalkannya. Jadi, 
meskipun cita-citanya tinggi; pencapainnya tetap rendah. Mengapa? 
Karena mereka tidak memacu diri untuk mengerahkan semua potensi diri 
yang dimiliki. 

"Fa-ainaa tadzhabuun…?" bukan pertanyaan yang semata-mata bersifat 
duniawi. Dia juga mewakili kepentingan ukhrowi. Pertanyaan itu 
mengingatkan kita bahwa nanti, kita ini akan kembali menghadap sang 
Khalik. Sang pemilik hidup, yang sudah meminjamkan hidup itu kepada 
kita. Maka, "Fa-ainaa tadzhabuun…?" mengandung makna; `apa yang akan 
engkau pertanggungjawabkan kelak ketika engkau kembali menghadap 
sang pencipta?'. Bukankah pasti Dia bertanya; "Elo pake apa tuch 
kehidupan yang sudah Gue pinjamkan itu?"

Ketika mendengar seseorang meninggal dunia, Anda bilang: "Saya turut 
berduka cita." Lalu anda berkata: "Semoga arwahnya diterima disisi 
Tuhan, dan diberikan tempat baginya disurga…."  Itu sebetulnya bukan 
sekdar do'a. melainkan juga cita-cita kita. Kita ingin kembali 
ketempat yang layak di sisi Tuhan kelak. Makanya, aneh juga ya kita 
ini. Kita berdoa begitu untuk orang yang meninggal,. Tapi, kita suka 
lupa bahwa doa itu hanya akan dikabulkan jika orang yang kita doakan 
memang orang baik. Jika dia bukan orang baik; memangnya kita ini 
sesakti apa sehingga Tuhan mau mendengarkan doa kita? Apalagi jika 
doa itu kita ucapkan hanya sekedar basa-basi belaka. Sebaliknya, 
orang-orang baik yang meninggal. Meskipun kita tidak berdoa kepada 
Tuhan supaya Dia memberinya tempat paling mulia: dia tetap saja akan 
mendapatkan tempat mulia itu. Sebab, memang dasarnya dia orang baik. 
Dan memenuhi syarat untuk mendapatkan kemuliaan disisin Tuhan. 

Lantas, bagaimana seandainya yang mati itu bukan orang yang kita 
doakan; melainkan diri kita sendiri? Apakah doa orang lain akan 
sanggup merayu Tuhan supaya memberi kita tempat yang layak? Ataukah, 
perilaku baik kita selama hidup yang menentukan? Well, it is worth 
to reflect when it comes to Fa-ainaa tadzhabuun….

Hore, 
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dizhang.multiply.com/
http://www.dadangkadarusman.com/ 

Catatan Kaki:
Doa memang mempunyai kekuatan yang menakjubkan. Namun, jika perilaku 
kita bertolak belakang dengan bunyi doa-doa itu; masihkah ada alasan 
untuk meyakini bahwa doa itu akan dikabulkan?


Kirim email ke