Saya tidak bisa bantu, 
tapi saya pernah nulis catatan harian, siapa tahu menarik dibaca!

Cukuplah Mati sebagai Guru!
Ibnu Muhammad Salim
 
 
Waktu Anda lahir, Anda menangis, padahal semua orang di sekitar Anda tertawa 
bahagia. Berkhidmatlah kepada manusia, sehingga ketika Anda mati, semua orang 
di sekitar Anda menangis, padahal Anda sendiri tertawa bahagia
 
Kepastian yang Tak Pasti
Beberapa tahun lalu, dua orang pasien dijadwalkan untuk operasi di sebuah rumah 
sakit besar di Jakarta. Yang pertama pria belia berpenyakit usus buntu, dan 
yang kedua pria tua berpenyakit kanker. Ahli bedah yang sama melakukan operasi 
pada kedua orang tersebut.. Operasi usus buntu dilakukan secara sederhana dan 
berakhir dengan cepat. Ketika sang dokter mengoperasi pria yang berpenyakit 
kanker, ia melihat kanker tersebut telah menyebar sedemikian rupa sehingga ia 
tidak mungkin lagi dioperasi. Ia sekadar menutup kembali pembedahan tersebut.
Sang dokter mengatakan, si pemuda mungkin memiliki kesempatan hidup yang 
panjang, tetapi si pria tua tidak akan bertahan lama. Malam itu, pria muda 
tersebut meninggal dunia, dan beberapa hari berselang, si pria tua meninggalkan 
rumah sakit.. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke rumah sakit membawakan 
sang dokter buah-buahan dan sayuran segar dari kebunnya. Tampaknya, ia dalam 
kondisi kesehatan yang baik.
Kita tidak mengetahui berapa lama lagi waktu yang kita miliki. Kita mungkin 
berpikir bahwa kita kuat dan sehat dan memiliki masih banyak waktu, tapi kita 
harus selalu sadar bahwa kematian dapat datang kapan saja. Bahkan, jika kita 
memiliki penyakit yang serius, seperti kanker, kita harus ingat bahwa jika 
Tuhan mengizinkan, kita mungkin saja memiliki umur panjang.
Ya, kematian adalah kepastian yang tak pasti. Soal mati, kita harus menumbuhkan 
dua sikap penting. Pertama, kematian adalah keniscayaan.. Suka tidak suka, 
manusia pasti mati. “Di mana pun kalian berada, kematian pasti mengejar kalian, 
sekalipun kalian berada di puncak benteng yang kokoh” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 78). 
“Katakanlah, ‘Kematian yang kalian hindari itu pasti menemui kalian”’ (Q.S. 
Al-‘Imrân [3]: 145)
Kedua, menyadari, kita tidak tahu kapan ajal menjemput kita. Ia mungkin saja 
bulan depan atau beberapa tahun dari sekarang, namun kita tidak mengetahuinya 
dan tidak dapat memastikannya. Ketentuan hidup sepenuhnya di tangan Allah. 
Ibarat buah kelapa, bila telah matang, maka ia akan jatuh sendiri, ke tanah 
tempat asalnya. Ada yang jatuh sewaktu masih berbentuk putik, ada yang jatuh 
setelah tua. “Manusia tidak mengetahui kapan dan di mana ia akan mati” (Q.S. 
Luqmân [31]: 34). 
 
Kematian: Serial Kehidupan Baru
Kemanakah kita setelah mati? Pertanyaan ini mengguncang akal manusia sepanjang 
masa. Maka tak heran bila Alquran pun mengabadikan pertanyaan ini:
Dan manusia berkata, “Betulkah apabila aku telah mati, bahwa aku 
sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali?” Dan tidakkah manusia 
itu memikirkan bahwa Kami sesungguhnya telah menciptakannya dahulu sedang ia 
tidak ada sama sekali?(Q.S. Maryam [19]: 66-67).
Banyak yang menganggap kematian sebagai kelenyapan, akhir dari segalanya. 
Akibat pandangan demikian, tak sedikit orang menebarkan kerusakan di muka bumi 
ini. Mereka hidup sesukanya. Tak ada yang perlu dipertanggungjawabkan. 
Sebaliknya, tak jarang pula yang frustasi, fatalistik, dan hampa makna.  
Karena, mati begitu menakutkan. Kematian dipandang kekuatan mahadahsyat yang 
siap merenggut eksistensi seseorang kapan saja dan di mana saja. Setelah itu, 
berakhirlah riwayatnya. 
Menakutkan? Ya, setidaknya ada tiga alasan mengapa mati begitu mengerikan. 
Pertama, seperti dibincangkan di atas, karena manusia tidak tahu apa yang akan 
terjadi setelah mati. Memasuki belantara gelap dan senyap di dunia ini saja 
begitu mencekam, bagaimana ia memasuki alam kubur yang sempit? 
Kedua, bagi kita yang merasa dimanjakan oleh kenikmatan duniawi, kematian 
adalah akhir dari sekian banyak kenikmatan yang telah kita peluk selama ini. 
Maka, memasuki hari tua berarti memasuki fase penyesalan. Dan, kematian 
merupakan puncak kekalahan dan penderitaan. 
Ketika Imam ‘Alî k.w. ditanya mengapa orang takut mati, ia menjawab, “Karena 
kalian memakmurkan duniamu dan menghancurkan akhiratmu! Bagaimana mungkin 
kalian mau pindah dari kemakmuran menuju kehancuran?” Ya, mati seakan pindah 
dari istana ke penjara.
Ketiga, karena merasa banyak dosa—lebih banyak amal kejahatannya daripada 
kebaikannya. Inilah ketakutan yang dirasakan orang saleh. Kalau kita takut mati 
karena keterikatan kita kepada dunia, orang saleh takut mati karena merasa 
belum cukup bekal. Inilah rasa takut yang dianjurkan. Seperti ‘Alî Zayn 
al-‘Âbidîn, berdoalah dengan khusyuk,  “Ya Allah, kepada-Mu aku berlindung dari 
habisnya usia sebelum siap sedia!”
Kembali pada pertanyaan di atas, kalau “dunia hanyalah persinggahan”—demikian 
lirik lagu Rhoma Irama—begitu pula kematian. Kematian bukanlah akhir dari  
kehidupan. Ia garis transisi (barzakh), fase perkembangan manusia.  Sementara 
perkembangan kita sebelum dilahirkan lebih bersifat fisik,  perkembangan kita 
setelah lahir lebih bersifat moral dan spiritual (baca: Q.S.. [23]: 12-16; 
[22]: 5; [40]: 67). Sementara lahirnya kita dalam kehidupan ini benar-benar 
merupakan manifestasi kematangan fisik kita di dalam rahim, kebangkitan kembali 
kita di akhirat benar-benar merupakan manifestasi kematangan spiritual kita di 
dunia. 
Karena itu, kita mendapati gambaran simbolis hari pembalasan (pascamati) yang 
menunjukkan bahwa perbuatan moral dan spiritual kita di dunia ini akan 
dimanifestasikan oleh badan kita di akhirat. Amal-amal kita akan dipasang di 
leher kita (Q.S. [17]: 13;  [34]: 33; [36]: 8)’ lidah, tangan, dan kaki kita 
akan bersaksi terhadap perbuatan kita (Q.S. [24]: 24; [36]: 65); kita akan 
makan buah perbuatan kita (Q.S. [37]: 39-68); orang yang buta spiritual di 
dunia ini akan buta pula di akhirat kelak (Q.S. [57]: 12; [66]: 8); setiap 
perbuatan kita akan mendapatkan balasannya (Q.S. [99]: 7-90).
Dengan demikian, bagi orang yang dalam hidupnya telah banyak berbuat baik, 
kematian adalah gerbang memasuki kehidupan baru yang lebih indah, alam 
keabadian (akhîrat), tempat memanen kebahagiaan sejati. Ibarat anak sekolah, 
arwah orang yang hidup penuh kesalehan akan dinaikkan kelasnya lewat kematian. 
Pendeknya, kematian hanyalah salah satu fase perkembangan manusia menuju Yang 
Maha Tak Terbatas. Ia fase yang pasti ditempuh semua makhluk dalam siklus 
Ilayhi Râji‘ûn—kepada-Nya semua kembali. Semuanya pasti kembali. Tapi, ada yang 
kembali dengan terpaksa, tanpa kesadaran, (idlthirârî), ada pula yang dengan 
suka rela, penuh kesadaran, penuh persiapan (ikhtiyârî), bahkan penuh kerinduan 
tak terkira-kira untuk segera berjumpa dengan-Nya (liqâ’ Allâh). 
Aku mati sebagai mineral dan menjelma tumbuhan
Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatang
Aku mati sebagai binatang dan kini menjadi manusia.
Suatu hari nanti, aku akan mati sebagai manusia,
dan melambung bersama para malaikat
Bahkan setelah menjelma malaikat, aku harus mati lagi
Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini,
Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami
                                                                        --Rûmî
 
 
Mengingat Mati, Menghargai Hidup
Ketika Nabi tahu bahwa ajal mengahampirinya, beliau mengumpulkan 
sahabat-sahabat terdekatnya.. Mereka sangat sedih. Banyak di antara mereka yang 
merasa dirinya tidak dapat hidup tanpa bimbingan dan petunjuk beliau. Nabi 
menghibur mereka dengan berkata, ”Aku tinggalkan kepada kalian dua guru: yang 
satu berbicara, yang lainnya bisu.” Saat para sahabat mulai mengira-ngira 
identitas guru tersebut, Nabi menambahkan, ”Guru yang berbicara adalah Alquran, 
dan guru yang bisu adalah kematian.”
Jadi, kita dinasihati sang guru yang bisu tidak dengan kata-kata, melainkan 
lewat kejadian nyata. Kita belajar darinya dengan cara merenungkannya. 
Nyatanya, merenungi kematian adalah sarana luar biasa dalam mengeluarkan kita 
dari kebiasaan dan perilaku lama. Memikirkan kematian adalah sebuah latihan 
untuk menjadi lebih peka akan masa kini. Ia adalah jalan untuk memulai proses 
pertumbuhan diri.
Maka, mengingat mati tidak berarti lalu pasif, melainkan justru lebih serius 
menjalani hidup, mengingat fasilitas umur yang teramat pendek. Ibarat orang 
lomba lari, maka ia akan berpacu karena adanya batas waktu dan garis finis. 
Justru karena umur manusia terbatas, hidup lalu menjadi sangat berharga. 
Bukankah Tuhan menciptakan kematian dan kehidupan untuk mendorong manusia agar 
berkarya dengan sebaik-baiknya, ahsanu ‘amalâ (Q.S. al-Mulk [63]: 2). Dia 
menunjukkan jalan yang baik dan jalan yang buruk, dan manusia diberikan 
kebebasan untuk memilih salah satu jalan itu. 
Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala 
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan pula 
kepadanya pahala akhirat. Dan kami akan memberikan balasan kepada orang-orang 
yang bersyukur. Barang siapa menghendaki keuntungan, di akhirat, akan Kami 
tambahkan keuntungan itu baginya, dan barang siapa menghendaki keuntungan di 
dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada 
baginya bagian sedikitpun di akhirat. (Q.S. al-Syûrâ [42]: 20). 
 
Sebagai penutup, cukuplah kita renungkan pesan ini:
Adadua macam kematian: kematian yang membuat dirinya istirahat dan kematian 
yang membuat orang lain istirahat. Bagi seorang mukmin, kematian memberinya 
peluang untuk beristirahat di tempat yang penuh kedamaian. Buat pendurhaka,  
kematian membuat semua makhluk beristirahat dari gangguannya



      

Kirim email ke