Hore,
Hari Baru!
Teman-teman. 

Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang sebuah masyarakat 
tradisional yang beramai-ramai melakukan eksodus. Semua orang 
dikampung itu meninggalkan tanah kelahirannya begitu saja. Tahukah 
anda apa yang menyebabkan mereka melakukannya? Teka-teki itu 
mengarahkan dugaan para ahli arkeologi kepada kemungkinan adanya 
hewan buas yang mengancam keselamatan. Namun, ternyata bukan. Ada 
wabah penyakit yang mematikan? Bukan. Tahayul yang sangat menakutkan? 
Juga bukan. Lantas apa? Rupanya, mereka pergi karena sudah selama 
bertahun-tahun tidak turun hujan. Padahal, hujanlah satu-satunya 
sumber kehidupan yang menumbuhkan tetumbuhan, dan menghidupkan 
binatang-binatang buruan. Dengan ketiadaan hujan, tak ada lagi yang 
bisa menghidupi mereka. Maka, hengkanglah mereka dari tempat itu. 

Sudah sejak beratus-ratus tahun lamanya sang kepala suku memimpin 
ritual upacara meminta hujan. Dengan diiringi nyanyian dan puji-
pujian serta tari-tarian; dia memanjatkan doa. Meminta supaya sang 
penguasa langit bersedia menurunkan hujan. Dan penguasa bumi mau 
mengubah sosok hujan itu menjadi sumber kehidupan. Maka, selama 
ratusan tahun itu pula mereka selalu mendapatkan hujan yang 
diharapkan. Namun, beberapa tahun terakhir ini, ritual itu sudah 
tidak seampuh dulu lagi. Hujan tidak lagi kunjung tiba, meski ritual 
dan doa-doa itu terus dikumandangkan. Ketika sirna segala harapan, 
maka pilihan terakhir yang mereka bisa lakukan adalah; pergi 
meninggalkan tempat itu. Meninggalkan tempat penuh kenangan. 
Meninggalkan segala peradaban yang pernah mereka bangun selama 
beratus-ratus tahun.  

Bertahun-tahun kemudian, seseorang datang ke desa yang tidak lagi 
bertuan itu. Kemudian, dia menurunkan tongkat kayu yang digunakan 
untuk menyangga bungkusan bekal dipundaknya. Lalu, dia menggunakan 
tongkat kayu itu untuk menggali. Setelah sekian lama menggali dalam 
susah dan payah, akhirnya dia menemukan tanah yang basah. Wajahnya 
berubah menjadi cerah. Ada seberkas harap tersamar disana. Dia terus 
menggali. Sekarang, dia menemukan tetesan-tetasan air. Dia terus 
menggali. Sekarang ada sebuah lubang kecil dimana air itu memancar. 
Dia terus menggali. Sekarang lubang yang digalinya sudah berkembang 
menjadi kubangan. Dia menggali lagi. Waaah, sekarang, kubangannya 
telah berubah menjadi sebuah sumur! 

Mungkin kita mengira bahwa orang-orang primitif itu kurang cerdas. 
Mereka tidak cukup pintar untuk berpikir tentang menggali sumur. 
Sehingga, mereka percaya bahwa ritual doa yang sudah digunakannya 
selama beratus-ratus tahun itu adalah satu-satunya cara untuk 
mendapatkan air kehidupan. "Yah, namanya juga orang primitif," 
barangkali kita menganggap demikian. Tapi, tidakkah kita ingat bahwa 
kita yang mengklaim diri sebagai manusia modern ini sering sekali 
bertindak dan bersikap layaknya manusia-manusia primitif? 

"Maksud eloh?"
Maksud saya; kita sering ingat untuk berdoa, namun sering lupa untuk 
menggali. Kita meminta sesuatu, tapi lupa bahwa untuk mendapatkannya 
kita harus bersedia membayar harganya. Kita mengira bahwa semua hal 
yang kita inginkan dimuka bumi ini bisa didapatkan hanya dengan 
sekedar meminta. Padahal. Tidak. Oleh karena itu, tidak mengherankan 
jika begitu banyak hal yang kita dambakan, tetapi tidak kunjung kita 
dapatkan. Kita sering merasa patah arang karenanya. Tapi, kita jarang 
sadar, bahwa kita harus mengimbangi permintaan kita itu dengan usaha 
yang pantas. Yang bisa menjadi dasar kuat agar keinginan kita itu 
terkabulkan. 

Kepada Tuhan kita berdoa; "Tuhan, berikanlah kepadaku ini dan itu." 
Tetapi, tindakan kita tidak menunjukkan bahwa kita pantas 
mendapatkannya. Padahal, jika kita tahu Tuhan itu maha adil, itu 
berarti bahwa Tuhan akan memperlakukan manusia sesuai dengan 
kontribusi masing-masing bagi hidupnya. Tidak mungkin yang maha adil 
memberi lebih banyak dan lebih berkah kepada orang-orang yang 
berusaha lebih sedikit. 

Kepada perusahaan, kita mengajukan tuntutan:"Naikkan gajiku sepuluh 
persen." Tetapi, kualitas kerja kita tahun ini tidak ada bedanya 
dengan yang tahun lalu. Kita tidak menaikkan kinerja kita tahun ini 
sebesar 10% dari tahun lalu. Padahal, jika kita tahu perusahaan itu 
bukan badan amal, itu berarti perusahaan hanya akan sanggup menaikkan 
gaji karyawan jika pendapatannya juga ada peningkatan. Tidak mungkin 
perusahaan yang untungnya tidak bertambah, harus menanggung beban 
pembayaran semakin besar.  

Kepada negara, kita meminta;"Penguasa. Penguasa. Beeerilah hambaamu 
uuuang. Beri hamba uangÂ…. Beri hambaaa uuuuaaaaang." Tetapi, 
kesempatan yang kita miliki sehari-hari tidak digunakan untuk 
melakukan tindakan produktif. Kita tidak datang dengan inisiatif. 
Padahal, jika kita tahu mereka itu penguasa, itu berarti bahwa mereka 
bukan abdi rakyat. Tidak mungkin yang bukan abdi rakyat mengabdi 
untuk rakyat. 

Kita ini mirip manusia-manusia primitif. Ingat berdoa kelangit 
diatas, lupa menggali ketanah dibawah. Kita sering mengawang-awang 
dengan angan-angan dan keinginan yang menjulang. Namun, jarang ingat 
bahwa kaki kita menginjak tanah dimana usaha dan kerja keras 
diperlukan. Mungkin, itulah sebabnya guru mengaji saya dimasa kecil 
berkata;"Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka 
sendiri benar-benar melakukan perubahan-perubahan yang 
diinginkannya."  

Apakah itu bararti bahwa Tuhan berlepas tangan? Tuhan telah membuat 
hukum yang berlaku universal. Dan, alam sudah menandatangani naskah 
hukum itu. Jadilah dia hukum milik alam. Kita menyebutnya hukum alam. 
Dengan hukum itu, alam berjanji kepada Tuhan; jika suatu benda 
dijatuhkah dia akan meluncur ke tanah. Jika hutan digunduli, air 
tidak meresap kedalam tanah. Jika lingkungan dirusak, bencana alam 
merangsek. Alam juga berjanji bahwa; orang yang bekerja lebih baik, 
mendapatkan hasil yang lebih baik. Mereka yang menggunakan systemnya 
secara lebih efisien, menghasilkan kinerja yang lebih memuaskan. 
Manusia yang menggunakan waktunya untuk hal-hal positif, memperoleh 
hasil positif. Menurut pendapat anda; Kepada mahluk yang menyia-
nyiakan hidupnya, alam akan memberikan apa?

Dengan hukum itu, Tuhan memberi manusia begitu banyak pilihan. Kamu 
mau jadi orang baik, silakan. Kamu mau jadi orang buruk juga boleh. 
Anda memilih untuk sukses, itu bagus. Anda lebih suka menjadi manusia 
gagal, tak ada halang rintang. Anda ingin menjadi pemenang? Selamat 
berjuang. Anda memilih menjadi pecundang? Siapa yang bisa melarang? 
Ya, Tuhan. Ternyata, Dia memberi manusia kesempatan untuk melakukan 
apa saja. Belok kiri. Atau belok kanan. Putar balik. Atau terus lurus 
kedepan. Bukankah itu yang kita sebut sebagai kemerdekaan? 

Kemerdekaan yang tidak melulu soal bule-bule yang ngacir karena tidak 
tahan dengan ketajaman si bambu runcing.  Kemerdekaan yang tidak 
semata-mata peringatan setahun sekali saat tujuh belasan, seperti 
hari ini. Dan upacara rutin di tahun-tahun sebelumnya. Ini tentang 
kemerdekaan individu yang sengaja diberikan Tuhan. Kepada setiap 
insan. Kemerdekaan untuk menjadi diri sendiri. Kemerdekaan untuk 
mengeksplorasi potensi diri. Kemerdekaan untuk berlomba menjadi 
manusia terbaik. Kemerdekaan untuk berkontribusi. Kemerdekaan. Untuk 
mengubah. Nasib. Diri sendiri.

Kemerdekaan untuk memilih hitam atau putih. Putih. Atau merah. Merah 
atau putih? Atau merah dan putih. Merah dicampur putih. Menjadi merah 
dan putih. Merah itu darah yang mengalirkan energi kehidupan. Putih 
itu hati yang bersih. Memilih merah dan putih, berarti memilih untuk 
menjadi manusia yang dipenuhi oleh energi untuk kehidupan, dengan 
disertai hati yang bersih. Sehingga dengan merah dan putih itu, kita 
berani memproklamirkan diri sendiri sebagai manusia yang mampu 
memberi makna positif bagi kehidupan. Karena, setiap tindak tanduk 
dalam hidup, selalu dibarengi dengan hati yang putih bersih. Merah 
saja tanpa putih, hanya menjadikan kita manusia yang berdaya saing 
tinggi, tapi tidak punya nurani. Putih saja tanpa merah, hanya 
menjadikan kita manusia pasrah yang tidak menghasilkan pencapaian 
bermakna. Merah dan putih memang harus disatukan. Menjadi satu warna 
utuh; merah putih. Lalu kita memeluknya erat. Hingga dia melebur 
dengan jiwa dan raga kita. Agar didalam dada kitalah. Sang merah 
putih itu. Berkibar.

Hore, 
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/ 

Catatan Kaki: 
Kita terlampau sering berbicara tentang kemerdekaan dalam konteks 
negara. Sehingga, kita sering lupa bahwa sebagai individu, kita juga 
sudah merdeka.


Kirim email ke