Ketika Etika Hilang Seketika

"Jadikan hidup Anda lebih bermakna, walau hanya sehari sekalipun, 
dengan mengedepankan etika, bukan hanya mengikuti peraturan belaka." 
-- Wayne Dyer, pembicara dan penulis asal Amerika

IBARAT pasar saja. Begitulah keadaan di zaman sekarang, saat 
pemilihan umum akan bergulir dalam jangka waktu yang tidak lama 
lagi. Partai-partai menata diri, lebih wangi, lebih kinclong, dan 
ehm, lebih glamor. Lihat saja para pemain sinetron yang biasa mewek 
di layar kaca, biasanya yang cakep kebagian peran protagonis yang 
kemudian bahagia di akhir cerita, tiba-tiba fasih berbicara tentang 
kemakmuran rakyat. Eh, penyanyi dangdut tanggung, yang nyaris tidak 
pernah punya hits, tiba-tiba maju menjadi calon wakil bupati. Begitu 
juga pemain sinetron yang berwajah tampan, selalu menjadi tokoh 
utama, maju pula menjadi calon legislatif. 

Alhasil, partai yang semula adem ayem mendadak riuh. Mereka, para 
politisi kader yang merangkak dari bawah, tiba-tiba kecewa karena 
posisi mereka didepak dengan kehadiran politisi wangi bau kencur itu.

Siapa yang salah? Ah, politik sih di mana-mana selalu begitu. Coba 
telaah arti dari politik itu sendiri, yang berarti jalan untuk 
mencapai sesuatu yang dicita-citakan. Nah, partai politik dimanapun, 
haruslah memiliki cita-cita menjadi partai penguasa. Kalau bukan itu 
yang menjadi cita-cita mereka, yah, mendingan bubar jalan dan 
membentuk arisan saja.

Hanya saja, masalahnya bagaimanakah soal menenggang pengorbanan, 
perjuangan, dan juga kerja keras yang sudah dilakukan para pekerja 
partai tersebut. Kesalahan memang tak melulu harus ditimpakan kepada 
para artis yang dituding menyerobot lahan para kader. Yang mengajak 
mereka juga perlu dipertanyakan. Kok ujug-ujug orang luar yang 
didahulukan, bukannya dari kader yang diutamakan. Pada akhirnya, ini 
menjadi persoalan etika alias menakar kepatutan. Gara-gara itu pula, 
etika pun hilang seketika.

Lihat juga yang terjadi berikutnya. Aktivis partai yang semula 
berkoar-koar tentang kehebatan platform dan perjuangan partai tiba-
tiba saja wuzzzz, pindah kantor, ganti jas seragam, dan juga 
berganti ideologi. Tak ada yang salah. Namun, isme atau ideologi 
bukan baju atau ponsel yang ketika kita sudah bosan bisa diganti 
semaunya.  Ada ukurannya, dan yang paling gampang membaca mereka, 
para konstituennya. Akuntabilitas politiklah yang seharusnya 
dikedepankan. Janji mereka di awal kepada konstituen, seharusnya 
menjadi acuan dalam bertindak dan bersikap.

Halah, kenapa jadi bicara politik? Basi banget. Sekarang, mari kita 
bicara dalam konteks pekerjaan misalnya. Dalam kasus yang berbeda, 
toh lompat pagar, bukan semata milik kaum politisi saja. Para 
karyawan suatu perusahaan pun dapat melakukan hal yang sama. 
Karyawan, karena satu dan lain hal, pindah kerja ke perusahaan lain, 
yang kadang merupakan perusahaan pesaing sebelumnya dimana ia 
bekerja. Apakah hal itu dapat dibenarkan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita harus mengetahui 
dulu, mengapa para karyawan tersebut pindah kerja. Marcus Buckingham 
dan Curt Hoffman, penulis buku First Break All the Rules mengatakan, 
bahwa para pekerja sesungguhnya meninggalkan manajer atau direktur, 
bukan perusahaannya. Dengan alasan apapun juga, para manajer dan 
direktur adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam suatu 
organisasi. 

Tapi pertanyaan berikutnya, apakah pindah ke perusahaan pesaing 
dapat dibenarkan? Walaupun para atasan mereka sebelumnya dijadikan 
alasan mengapa mereka berhenti, secara etika, hal itu tidak 
dibenarkan. Mengapa? Tentu saja para karyawan yang pindah tersebut 
membawa rahasia perusahaan, pengetahuan, pengalaman, dan relasi 
mereka ke perusahaan pesaing mereka. Seandainya mereka pindah ke 
perusahaan dengan posisi dan usaha yang berbeda, sangat mungkin 
tidak menjadi masalah.

Jadi sekali lagi, masalah etikalah yang menjadi pokok persoalan 
disini. Oleh karena itu, etika menjadi bagian yang penting bagi 
setiap individu, terutama mereka para karyawan yang bekerja di 
perusahaan. Untuk mengatur etika para karyawannya, termasuk para 
petinggi mereka, pihak perusahaan menerbitkan kode etik atau biasa 
kita kenal sebagai code of conduct. Hal yang sama juga berlaku di 
partai politik, lembaga pemerintahan, organisasi, termasuk asosiasi 
profesi sekalipun.

Bicara etika, sesungguhnya bukan bicara soal 'boleh' atau 'tidak 
boleh'. Karena soal 'boleh' atau 'tidak boleh', hal itu sudah diatur 
dalam peraturan. Bila Anda melanggar, Anda akan dikenakan sanksi. 
Tetapi bila bicara etika, maka kita bicara 'patut' atau 'tidak 
patut', 'pantas' atau 'tidak pantas'. Dalam hal ini, etika lebih 
tinggi dari peraturan. 

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita bersinggungan dengan 
etika, walau kadang tidak menyadarinya. Misalnya saja, ketika kita 
berulang tahun dan berencana mengajak rekan kerja untuk makan 
bersama, ternyata pada saat yang bersamaan, sseorang rekan mengalami 
musibah kematian, ada keluarganya yang meninggal. Tentu saja dalam 
konteks ini, merayakan ulang tahun dengan makan bersama menjadi 
tidak tepat lagi. Akan lebih elok, bila uang yang tadinya 
direncanakan digunakan untuk mentraktir, diberikan kepada sang teman 
yang mengalami musibah tersebut untuk sedikit meringankan beban. 

Atau dalam suatu forum, ketika pada waktunya Anda mendengarkan, Anda 
malah keluar karena menerima panggilan telepon. Bisa juga dalam 
suatu jamuan makan bersama, karena sudah tak tahan, Anda malah 
bersendawa.

Dalam lain kesempatan, ketika Anda sedang makan enak, datanglah 
pengemis yang kelaparan. Tak ada aturan dalam pasal manapun di 
undang-undang yang mengharuskan Anda menolongnya. Anda berhak untuk 
meninggalkan dan mengacuhkannya. Kualitas perilaku Anda, jelas 
ditentukan oleh bagaimana Anda bersikap dalam menghadapi kenyataan 
tersebut.

Pada akhirnya, derajat kemanusiaan seseorang akan terlihat dari 
perilakunya dalam menjaga etika, lebih dari sekedar menaati aturan. 
(250808)

Sumber: Ketika Etika Hilang Seketika oleh Sonny Wibisono, penulis, 
tinggal di Jakarta 


Kirim email ke