Menjadi Manusia Beneran Yuk!

"Kehidupan sehari-hari kita adalah tempat ibadah kita yang 
sebenarnya."
-- Khalil Gibran, penyair, 1883-1931
 
SIAPA bilang menjadi orang terkenal itu enak dan nyaman? Lihatlah 
apa yang ada di layar kaca, di acara infotainment adegan seperti ini 
bejibun. Seorang wanita cantik dikelilingi enam orang yang wajahnya 
berbeda seratus delapan puluh derajat. Mukanya terlihat garang, 
bodynya kekar, tangannya kadang terkepal. Mereka itulah para 
bodyguard. Dua di kanan, dua di kiri, satu di depan dan satu di 
belakang. Wajah para bodyguard jauh dari senyum, terlihat tidak 
ramah. Seakan-akan siap hendak menyergap siapapun yang berani 
mendekat ke artis tersebut. 
 
Wanita cantik tersebut akhir-akhir ini memang menjadi pusat 
pemberitaan mass media. Gerak langkahnya selalu menjadi incaran 
nyamuk pers. Ke mana pun ia melangkah, ke salon, ke pusat 
perbelanjaan, atau sekadar makan, kecuali ke rest room tentunya, 
selalu saja diikuti. Nah, satu bukti menjadi orang terkenal tidak 
selamanya membuat nyaman.  
 
Coba kita lihat Mang Iyus. Lelaki biasa saja yang tinggal di Jakarta 
Timur. Hampir tiap hari dia bepergian ke luar rumah dengan santai, 
rileks, tanpa perlu pengawalan. Hidupnya benar-benar menyenangkan. 
Dia bisa pergi ke mal, pasar, atau ke kantornya dengan berjalan 
lenggang kangkung.
 
Dua dunia yang berbeda tentu saja. Satu manusia biasa saja, satu 
lagi mungkin manusia luar biasa. Biaya yang dikeluarkan dua jenis 
yang berbeda ini, tentu saja berbeda. Nah, semua itu merupakan 
pilihan.
 
Menjadi orang terkenal pun sebenarnya bisa tampil biasa-biasa saja. 
B' aja tak perlu nyeleb. Begitu istilah anak muda sekarang. Kalau si 
wanita cantik itu merasa harus tampil dengan cantik, menor, atau 
dikawal dengan bodyguard, ya silakan saja, toh itu adalah pilihan 
yang dia ambil. Begitu pula dengan Mang Iyus, yang memilih tampil 
apa adanya.
 
Bagaimana sebenarnya kita harus berlaku dalam keseharian? Mari kita 
simak pengalaman Gede Prama. Motivator kondang asal Bali menuturkan 
kisahnya ketika bersua dengan Mar'ie Muhammad, mantan Menteri 
Keuangan, di dalam pesawat dan kebetulan duduk secara bersebelahan. 
 
Gede Prama berkisah: `Ketika pertanyaan bagaimana Pak Mar'ie bisa 
bertahan lama dalam lingkungan Orba dilontarkan, tokoh yang 
senantiasa bersemangat inipun menjawab sederhana, "Lingkungan memang 
menentukan, tetapi kitalah yang paling menentukan dalam hidup kita 
sendiri!" Ada angin kekaguman yang berdesir di dalam sini ketika 
mendengar jawaban seperti itu. Lebih-lebih ketika berjalan 
meninggalkan pesawat, Pak Mar'ie menentengkan tas seorang Ibu yang 
menggendong dua tas dan membawa seorang anak.' Demikian seperti yang 
dituturkan oleh Gede Prama. 
 
Apa yang dilakukan seorang Mar'ie Muhammad menunjukkan bahwa, walau 
ia seorang tokoh pun, ia juga seorang manusia biasa yang senantiasa 
dapat memberikan pertolongan kepada sesamanya, baik ketika 
dibutuhkan atau tidak. Ada sisi kemanusiaan yang hadir di sana. Hal 
ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai hubungan secara horizontal 
terhadap sesamanya yang tak bisa hilang sama sekali. Bahwa sejatinya 
seorang manusia akan selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitar. 
 
Penerimaan seorang manusia adalah ketika ia mampu menempatkan 
dirinya dimana ia berada. Ketika ia meninggalkan segala atribut yang 
disandangnya. Jika manusia dibawa ke sifat dasarnya, sejatinya ia 
akan selalu berusaha untuk berbuat baik, menolong sesama, 
berinteraksi dengan lingkungan sekitar, berkomunikasi dengan 
keluarga, teman dan handai taulannya tanpa batas. Karena pada 
dasarnya orang ingin menjadi dirinya sendiri.  
 
Setiap manusia, baru dapat dikatakan memanusiakan dirinya sendiri 
bila ia dapat tampil pada saat dan waktu yang tepat. Dengan tampil 
pas, hal itu akan menempatkannya pada situasi yang lebih 
menguntungkan bagi dirinya. Semua orang pun tahu, kalau ia seorang 
pejabat, artis, tokoh, atau bahkan orang ngetop sekalipun. Bahkan 
seandainyapun orang lain tak mengenalinya ketika ia berjalan-jalan 
di pasar misalnya, mestinya ia malah bersyukur karena ia dapat 
melakukan aktivitasnya dengan bebas.
 
Setiap manusia, baru dapat dikatakan memanusiakan dirinya bila ia 
memberi dan menerima apa adanya. Seorang manusia hanyalah 
menjalankan satu peran sosial saja ketika ia berada dalam satu 
komunitas tertentu. Ketika seorang artis beraksi di panggung, ia 
hanya memainkan satu peran sosial sebagai artis. Seorang atasan, 
tetap menjadi atasan ketika ia berada di kantor. Tetapi ketika 
berada di luar, siapapun juga, tetap akan menjadi seorang ayah atau 
ibu dari anak-anaknya, menjadi sahabat dari teman-teman lainnya, 
menjadi tetangga bagi lingkungan sekitarnya, atau menjadi warga 
masyarakat di daerahnya.
 
Satu profesi tertentu merupakan bagian dari peran-peran sosial yang 
ada. Dan hal itu hanyalah satu capaian dari sekian banyak peran 
sosial yang ada. Ia merupakan satu dimensi sisi kemanusiaan dari 
dimensi manusia lainnya yang lebih luas. Bahwa mencapai suatu 
profesi tertentu merupakan suatu capaian, hal tersebut tetap harus 
diimpresi. Harus dihargai, bahwa untuk mencapainya kadang tidak 
mudah, dan butuh pengorbanan. Tetapi yang harus segera dipahami 
ialah dimensi manusia lebih luas dari sekedar peran-peran tersebut. 
Dan jangan hanya berhenti pada satu peran tersebut saja. 

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sesungguhnya mempunyai dan 
memainkan multi peran. Dimana peran-peran tersebut tak hanya dapat 
dibingkai pada satu peran saja. Bila berpuas diri hanya pada satu 
peran saja, yang ada hanyalah stempel sesaat. Kadang manusia lupa 
bahwa stempel tersebut hanya berlaku pada situasi kondisi tertentu. 
Tak berlaku selamanya. Bila ia hanya berpuas pada satu peran 
tersebut, yang terjadi pada akhirnya ia akan merasa teralienasi. 
Merasa terasing terhadap dirinya sendiri. Sayang sekali jika itu 
terjadi. Padahal seperti kata sang penyair, Khalil 
Gibran, "Kehidupan sehari-hari kita adalah tempat ibadah kita yang 
sebenarnya." (171108)

Sumber: Menjadi Manusia Beneran Yuk! oleh Sonny Wibisono, penulis, 
tinggal di Jakarta


Kirim email ke