--- In i-...@yahoogroups.com, "Ikhwan Sopa" <ikhwan.s...@...> wrote:
Terimakasih untuk responnya. Respon Bapak sangat membantu proposal Islamic NLP, khususnya terkait dengan ungkapan "saya lebih menghargai pendapat anda pribadi". NLP, dalam perkembangannya dipenuhi kontroversi terkait dengan berbagai kritik yang ditujukan kepadanya. Berbagai kritik itu datang dari dua kelompok utama yaitu : 1. Kalangan ilmuwan (scientist) yang mewakili dunia materialis di mana mereka mempertanyakan status keilmiahan NLP. Sebagian di antaranya mengkategorikan NLP sebagai "pseudo-science", alias berada di antara ilmu dan bukan ilmu. Sebagian lagi, mengkategorikan NLP sebagai "proto-science", alias calon ilmu yang sedang dipertimbangkan sebagai ilmu. Kalangan ilmuwan ini mempertanyakan berbagai hal yang dianggap "tidak ilmiah" di dalam NLP terutama: - Penggunaan metafora, analogi, pengibaratan dan permisalan. - Penggunaan mata sebagai petunjuk akses ke dalam memori dan pengetahuan. Para pendukung NLP menyatakan bahwa NLP adalah "modelling" dengan berbagai tools yang sebagian berasal dari dunia science dan sebagian berasal dari fenomena yang bisa diamati seperti panca indera, reaksi fisik, ekspresi emosional, dan ungkapan linguistik. 2. Kalangan agamawan khususnya agama-agama samawi di mana mereka melihat keterkaitan antara NLP dengan aliran "new age" yang melarikan diri dari agama dan menciptakan berbagai fenomena yang mengaburkan eksistensi Tuhan. Di tingkat yang ekstrem, aliran new age ini bisa bergeser ke fenomena "freemasonry" (satanic) yang jelas-jelas memusuhi semua agama yang ada di dunia. Para pendukung NLP, menyatakan bahwa satu-satunya kesamaan antara NLP dan New Age adalah bahwa keduanya berangkat dari titik "ketidakmutlakan realitas" yang dengan demikian faktor internal manusia - disebut dengan "human potential" - dianggap memegang peranan penting untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kebahagiaan umat manusia. Namun demikian, ada perbedaan mendasar antara NLP dan New Age: New Age mengatakan bahwa satu-satunya "realitas" adalah manusia itu sendiri. Selebihnya adalah ciptaan manusia. NLP mengatakan bahwa "realitas" itu ada dua, yaitu realitas internal dan realitas eksternal. Realitas internal adalah representasi yang terdegradasi dari realitas eksternal, akibat keterbatasan panca indera, syaraf, dan bahasa, di mana manusia bereaksi berdasarkan representasi yang terdegradasi tersebut. Berbagai teknik dan tools di dalam NLP, sebagian besar digunakan untuk memperkaya "representasi" (realitas internal) dan untuk mengklarifikasi berbagai pernyataan linguistik sehingga kedua realitas itu bisa mendekati "kongruen". New Age mengatakan bahwa "manusia adalah penguasa mutlak" di alam semesta. NLP mengatakan bahwa "manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan dunia internalnya sendiri" yang dengan kemampuan itu, bisa membuatnya lebih fleksibel berhadapan dengan dunia nyata yang eksternal. New Age mengatakan bahwa "all is god". NLP tidak mengklaim hal semacam itu sekalipun materi pembelajarannya juga memasukkan unsur spiritualitas di tingkat syaraf (god spot, neurological level, trance dan sebagainya). Dalam perkembangannya, beberapa hal telah menjadi catatan sejarah: Ada praktisi NLP yang mulai merambah wilayah spiritual dengan memasukkan berbagai pendekatan ala New Age ke dalam training-trainingnya seperti yang dilakukan Tad James dengan metode Huna/Kahuna. Uniknya, di sisi yang lain partner Tad James yang sama-sama mengembangkan timeline therapy, yaitu Wyatt Woodsmall, justru memeluk Islam pada pertengahan 2007. Ada pula praktisi New Age yang memanfaatkan NLP untuk kepentingan menyebarluaskan ajaran new age-nya. Hal ini menunjukkan bahwa NLP tidak dipelajari oleh para murid new age, melainkan digunakan oleh para guru new age untuk mengajarkan new age. Fenomena itu bisa kita lihat dari metode pengajaran berbagai training yang biasa digolongkan sebagai LGAT (Large Group Awareness Trainings). Dalam konteks ini, NLP bukanlah materinya, melainkan "alat" untuk menyampaikan materi, apapun materi itu. Bahwasanya LGAT yang ada saat ini bisa sedemikan menjamur di seluruh dunia, itu juga menunjukkan betapa NLP sangat efektif sebagai "alat" dalam konteks berikut ini: - Communication and persuasion excellence - Flexible behaviuor - Positive changes - Modelling tool - Congruenity map - Manual for the brain Dari contoh perkembangan di atas, kita bisa melihat adanya "NLP" dan "aplikasi NLP" yang dengan itu kita bisa mengatakan bahwa NLP pada awalnya adalah netral yang kemudian diaplikasikan untuk berbagai kepentingan. Sebagai praktisi NLP, kita diajarkan kemampuan untuk melakukan re-framing. Maka, sebagai praktisi dan pembelajar NLP yang muslim, kitapun mestinya bisa melakukan re-framing agar NLP tetap bermanfaat dalam konteks "alat" di atas dan pada saat yang sama tetap mampu menjaga akidah. Contoh re-framing yang Islami adalah sebagai berikut: 1. Bahwasanya realitas dunia ini adalah "fana" dan hanya "bersifat sementara". Bahwasanya "dunia yang sesungguhnya adalah setelah hari akhir". Bahwasanya manusia adalah "sebaik-baik bentuk" yang selalu ditantang akalnya agar membenarkan Al-Quran. Bahwasanya dengan kelebihan akal itu tetaplah "tidak diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit". Dan bahwasanya manusia "tidak memiliki kekuasaan melainkan sesuai kehendak-Nya". 2. Bahwa dalam faktanya ada keseimbangan antara pernyataan "NLP works" dan "NLP doesn't work". Di dunia pengembangan diri dan di dunia bisnis, kita malah lebih banyak menemukan bahwa yang berlaku adalah pernyataan yang pertama. 3. Apa yang disebut dengan "scientific" menurut para ilmuwan, cenderung didasarkan pada berbagai teori dan data. Semua itu tidak lantas membuat "science" bisa dijadikan sebagai dasar kemutlakan dan kebenaran. Apa yang disebut dengan "ilmiah", tidak selalu benar atau bisa dibenarkan dalam frame akidah, seperti konsep yang diusung oleh Fraud dalam ilmu psikologi atau teori evolusi Charles Darwin dalam ilmu biologi. 4. Di dalam Islam, penggunaan metafora, analogi, pengibaratan, permisalan (yang dianggap "tidak ilmiah" itu) justru merupakan hal penting dalam akidah dan pengajaran Islam (qiyas, amtsal, perumpamaan). 5. Berkaitan dengan "petunjuk mata", NLP dengan konsep "eye accessing cue"-nya bisa menjelaskan tentang "perintah menundukkan mata" di mana NLP secara sistematis bisa memahami hubungan antara "penglihatan" dengan "perasaan", "emosi", "perbuatan", dan "perilaku". Contoh lainnya bisa dibaca pada posting "dangerous anchors" atau "trance saat shalat jumat". NLP di dalam Islam, ditempatkan semata-mata sebagai "alat" untuk memahami diri sendiri, yang dengan pemahaman itu "diri sendiri" diharapkan memiliki kemampuan yang lebih baik agar semaksimal mungkin kongruen dengan akidah. Selebihnya, adalah hak Allah SWT. Kita hanya bisa memaksimalkan upaya sesuai perkembangan akal manusia. Dalam konteks dakwah, NLP adalah memahami orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri. Alias hubungan sesama manusia. NLP, bahkan mungkin bisa menjelaskan bagaimana dampak silaturahmi bisa terjadi, bagaimana dampak adab bertentangga, bertamu dan sebagainya dengan konsep rapport-nya. Di satu sisi secara membabi buta mentaati ajaran dapat digolongkan sebagai "taqlid" buta, sementara di sisi lain mengutamakan akal tanpa batas adalah seperti new age atau mu'tazilah. Sesuai perkembangan zaman, kemampuan akal telah berkembang sedemikian jauh, namun demikian tetaplah harus bermuara pada keimanan. Di sinilah seorang muslim harus berjalan dengan tetap menjaga akidah. Contoh nomor 5 di atas dapat menggambarkan bahwa ajaran Islam adalah memang "masuk akal" sehingga memantapkan akidah (dengan alat bantu yang disebut "NLP"), namun pada saat yang sama akal seorang muslim tetap harus meyakini bahwa ia "tidak diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit" dan bahwa "akalnya adalah untuk keimanan" (agar tidak terjerumus ke "new age", "mu'tazilah", atau "atheisme"). Menurut NLP dan New Age, manusia memiliki "human potential" yang bertanggung jawab penuh untuk kemajuan, kebahagiaan, dan kesejahteraan dirinya sendiri sehingga "human potential" itu harus dimaksimalisasi. Menurut akidah Islam, manusia adalah "sebaik-baik bentuk" yang diharapkan menggunakan akal untuk memahami berbagai fenomena "pada diri mereka sendiri" namun tetaplah "tidak berkuasa atas dirinya sendiri kecuali sesuai kehendak-Nya" dan "tidak diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit", serta mengarahkan akalnya untuk membenarkan Al-Quran. Sebagai contoh, ada perbedaan antara menjadi kaya raya versi "Anthony Robbins", "Donald Trump", atau "Kiyosaki" dan versi "Ustadz Lihan". Bisa jadi, dalam me-model kita dapat menggali berbagai strategi dari ke-empatnya, namun dalam orientasi kita mungkin lebih baik memilih ala "Ustadz Lihan". 6. Berkaitan dengan ungkapan Bapak tentang "saya lebih menghargai pendapat anda pribadi", NLP menyebutnya sebagai "quoting". Dalam cara pandang NLP, "quoting" bisa terjadi dengan asumsi bahwa orang yang meng-quot sedang berupaya untuk "tidak bertanggung jawab" dengan pernyataannya yang menisbatkan ungkapan kepada kepada pihak lain. Dalam NLP dan New Age, fenomena "quoting" dapat dianggap bertentangan dengan konsepsi dasar tentang "maksimalisasi potensi manusia" yang bertanggung jawab pada diri sendiri. Di dalam NLP, dasarnya adalah presuposisi bahwa "semua sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan tertentu sudah ada di dalam diri sendiri". Di dalam Islam, "quoting" justru merupakan hal yang dianggap penting dalam rangka menjaga akidah. Saat kita meng-"quot" Al-Quran atau Hadits, itu disebut dengan "ber-hujjah" atau "ber-dalil". Di tingkat berikutnya bisa disebut dengan "meriwayatkan". Di tingkat berikutnya, "quoting" tetap perlu dilakukan agar "apa yang dikomunikasikan memang sampai sebagaimana yang dimaksud" dan demi kehati-hatian akibat ketidakpahaman. Apa yang saya lakukan dengan "quoting" dalam tulisan "Orientasi Ilmu Pengetahuan" adalah bagian dari kehati-hatian saya untuk tidak menabrak akidah karena ketidakpahaman saya tentang ilmu agama. Tentunya, sumber yang di-quot adalah pihak yang paham ilmu agama. Kebetulan saja, saya meng-quot dari seorang Syekh di Arab sana. Buat saya, bukan dari mananya, melainkan siapa yang mengatakannya. Dalam hal ini, Syekh itu saya anggap kompeten karena bukunya merupakan rujukan dunia modern dalam ilmu Al-Quran. Kesimpulan saya. Dari uraian di atas, kita bisa melihat adanya "NLP" dan "aplikasi NLP". Dari contoh re-framing "NLP ke dalam konteks Islam" di atas, kita bisa melihat bahwa pola-pola yang terjadi bukanlah semata-mata "aplikasi NLP", melainkan "aplikasi NLP terhadap NLP sendiri" alias "menimbang ulang NLP". Sekali lagi, konsekuensinya adalah: 1. Meninggalkan NLP (atau bahkan mengharamkannya), dengan kerugian hanya bisa melihat bagaimana NLP termanfaatkan oleh "orang lain" - secara sengaja atau tidak sengaja - dan berdampak merusak atau melemahkan akidah (lihat berbagai tayangan di televisi dan di bioskop sebagai contoh. Itu semua adalah praktek yang bisa dipahami salah satunya dengan NLP). Dengan hanya menjadi penonton, tentunya memperkecil peluang untuk berkreasi menciptakan pola-pola pertahanan. Padahal NLP, bisa menjadi salah satu "alat" untuk memahami, mengkounter, dan membangun pertahanan. 2. Tetap mempelajari NLP dengan melihat manfaat positifnya (dalam memahami berbagai fenomena misalnya contoh-contoh diatas dan dalam komunikasi dakwah) dengan tetap berpegang teguh pada akidah Islam. Sejauh ini, saya masih melihat bahwa NLP bermanfaat sepanjang kita tetap menjaga akidah. NLP itu pada dasarnya mudah, namun demikian tidak sesederhana itu mempelajari NLP dalam konteks diri sebagai muslim. Kita tidak bisa begitu saja "Better to leave off the word "Islamic" and just learn more about NLP." So... there is a thing such Islamic NLP. Mohon koreksi jika ada kesalahan. Ikhwan Sopa http://islamic-nlp.blogspot.com --- In bicara@yahoogroups.com, hartanto bambang <harbambang@> wrote: > > kalo saya boleh sumbang saran,Bukan ilmu NLP, hypnosis, atau gendam........tapi semua ilmu..... > baik ilmu fisika, matematika lanjut, quatum , nuklir........bisa menjauhakan kita dari agama........tapi juga bisa mendekatkan kita pd agama.......................Siapa punya ilmu seperti punya pedang yg tajam.............pedang itu bisa digunakan u/ kebaikan...... > bisa digunakan u/ kejahatan....So mr sopa.......make it simple........Ahli kimia........dia bisa bikin obat u/ menyembuhkan penyakit....tp dia juga bisa bikin drug.....ekstasi.....yg bikin umat teler......oleh karena itu.......Mari kita "jaga" orang2 pinter Islam kita..............mereka keblinger.....krn ekonomi saja.... (kebanyakan).Karena masyarakat kt sekarang...orang dihargai karena hartanyaBukan karena Taqwanya....So mr sopa ....saya lebih menghargai pendapat anda pribadi....kutipan2 dr ustad indonesia......drpd dr luar......mari kt beli buku.....karya anak bangsa sendiri..... berarti kt tdk scr langsungmenghargai......membuat kaya mereka......pr dai kt....para DAI yg membuat pinter anak kita sendiri....karena dialah yg menjaga ahklah.......kita semuasemoga bermanfaat bg semua.... --- End forwarded message ---