Sudah lama saya tidak baca email, dan 2 minggu terakhir sy mulai baca baca 
karna inbox sy sudah penuh bgt.
 
Senang banget ketemu email dari pak lukas, email yg penuh sentilan, motivasi 
dan bagus buat pembelajaran. Please keep posting, bpk akan jd salah 1 penulis 
favorite sy.
 
Salam,
Erlin

--- On Wed, 1/27/10, lukas <lukas648...@yahoo.com> wrote:


From: lukas <lukas648...@yahoo.com>
Subject: BC @ HABITUS ORANG KAYA
To: 
Date: Wednesday, January 27, 2010, 12:24 PM


  



HABITUS ORANG KAYA 
 
http://www.info- lukas.blogspot. com/
 
Manusia membangun habitus secara perlahan. 
Dan kemudian habitus itu membentuk nasibnya. 
~ Pandir Karya 
  
”Apakah habitus orang kaya yang paling umum?” tanya saya kepada sejumlah kawan. 
”Mereka super pelit,” kata Iin. 
”Orang kaya yang saya kenal banyak yang sombong,” jawab Toni. 
”Selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat,” kata Herlina. 
”Tidak suka berhutang,” ujar Didi. 
”Suka menawar harga barang yang ingin dibelinya,” jelas Diah. 
”Mereka suka memamerkan kekayaannya,” kata Rudy. 
”Cenderung serakah dan asosial,” gagas Yuyun. 
”Hanya membeli barang-barang bermerek terkenal,” ujar Lilik. 
”Hidup hemat, cenderung pelit, dan tidak suka menunjukkan kemampuan mereka yang 
sebenarnya,” papar Dewi. 
”Suka bangun siang dan tidur dini hari,” kata Indra. 
  
*** 
  
”Habitus (Latin) bisa berarti kebiasaan, tata pembawaan, atau penampilan diri, 
yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan 
dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau 
berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat… bersifat spontan, tidak disadari 
pelakunya apakah itu terpuji atau tercela, seperti orang tak sadar akan bau 
mulutnya. Ia bisa menunjuk seseorang, tapi juga kelompok sosial,” demikian 
antara lain penjelasan B. Herry-Priyono (Kompas, 31 Desember 2005). 
  
Perhatikan bahwa habitus ”...telah menjadi insting perilaku yang mendarah 
daging”, ”bersifat spontan”, ”tidak disadari pelakunya”, dan bisa menunjuk 
kepada ”kelompok sosial” tertentu. Nah, dengan pemahaman ini, mari kita coba 
pikirkan, apa sajakah habitus kelompok sosial ekonomi atas (baca: orang-orang 
kaya dan super kaya) yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, 
bersifat spontan, dan tidak disadari pelakunya (baca: bersifat reflek)? 
  
Dari studi literatur tentang kecenderungan perilaku orang-orang kaya di Amerika 
dan Asia, serta dari pengamatan pribadi mengenai perilaku sejumlah kawan yang 
kaya di Indonesia, sekurang-kurangnya bisa disebutkan beberapa habitus yang 
saling kait mengait satu sama lain sebegai berikut. 
  
Habitus pertama, dan boleh jadi ini yang terpenting, mereka menikmati hidup 
dengan standar jauh dibawah kemampuan mereka yang sebenarnya. Artinya, secara 
keuangan mereka lebih kuat dari apa yang nampak oleh mata lingkungannya. Mereka 
lebih kaya dari apa yang mungkin dipikirkan orang lain di sekitar mereka 
(tetangganya) . Bila mereka sesungguhnya mampu membeli rumah seharga Rp 10 
miliar, maka mereka senang memilih rumah seharga Rp 1 miliar. Jika mereka mampu 
membeli mobil seharga Rp 2 miliar, mereka senang memilih mobil seharga Rp 600 
juta saja. Sekalipun mereka lebih dari mampu membeli barang-barang yang 
dipajang di butik-butik eksklusif atau pertokoan mewah macam Sogo Departemen 
Store, mereka tidak sungkan untuk berbelanja di pusat belanja grosir seperti di 
ITC Mangga Dua. 
  
  
Seorang kawan yang saya duga memiliki harta kekayaan bersih lebih dari Rp 20 
miliar dan tinggal di kawasan Karawaci, Tangerang, pernah mengatakan kepada 
saja bahwa, ”Saya menganut pandangan bahwa apa pun yang kita gunakan dan nampak 
oleh orang lain seharusnya tidak lebih dari sepertiga kekuatan kita yang 
sesungguhnya. Dan kalau saya bisa menggunakan sepertigapuluh atau bahkan 
sepertigaratus dari kemampuan finansial saya untuk hidup nyaman, itu sudah 
cukup. Saya tidak suka dikenal terutama sebagai orang kaya. Saya lebih suka 
dikenal sebagai orang yang berkarya”. Pernyataan ini dengan tegas menunjukkan 
bahwa ia menikmati hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya. 
  
Karena terbiasa hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya, maka 
mereka—orang-orang kaya tersebut—selalu memastikan bahwa biaya konsumsi mereka 
jauh dibawah penghasilan rutin yang mereka peroleh. Itulah habitus kedua. Jika 
mereka memperoleh penghasilan rutin (katakan saja) Rp 30-40 juta per bulan, 
maka mereka telah membiasakan diri untuk hanya menggunakan sekitar Rp 10-15 
juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan bulanan keluarganya. Dan ketika 
penghasilan mereka meningkat menjadi Rp 60-70 juta per bulan pun, mereka tidak 
merasa perlu untuk mengubah pola konsumsi mereka. Dalam hal ini yang meningkat 
secara langsung adalah jumlah tabungan untuk investasi, karena biaya konsumsi 
relatif tetap. 
  
Habitus yang ketiga adalah kebiasaan menyisihkan dana untuk tabungan dan 
investasi dulu, dan menyisakan yang lainnya untuk konsumsi rutin setiap 
bulannya. Jadi bukannya menggunakan penghasilannya untuk konsumsi dan kalau 
akhir bulan masih tersisa baru ditabung dan diinvestasikan. Dengan kata lain, 
mereka terbiasa untuk mencurahkan cukup banyak waktu untuk memikirkan soal 
kemana dan bagaimana uang mereka ditabung dan diinvestasikan agar berkembang 
lebih maksimal. Mereka tidak memberikan banyak waktu untuk memikirkan cara-cara 
menggunakan uang secara konsumtif, untuk berbelanja berlama-lama di pusat-pusat 
pembelanjaan. Sebaliknya, mereka memberikan banyak waktu untuk memikirkan 
hal-hal yang membuat harta mereka menjadi makin produktif, tumbuh dan 
berkembang, sehingga mereka menjadi mapan secara keuangan. 
  
Setiap kali saya mengingat sejumlah perbincangan ketika berkesempatan 
mewawancarai atau sekadar mendengarkan nasihat orang-orang seperti Mochtar 
Ryadi, Ir. Ciputra, Bob Sadino, Jonathan L. Parapak, dan Soen Siregar, saya 
merasakan bagaimana ketiga habitus yang disebut di atas telah terpatri menjadi 
bagian dari tarikan nafas orang-orang tersebut. Tentu saja masih banyak lagi 
habitus orang-orang yang mapan secara finansial itu. Namun tiga yang telah 
dipaparkan di atas adalah habitus yang paling umum. 
  
Karena itu saya bisa memastikan bahwa kawan-kawan saya yang lebih suka 
menampilkan gaya hidup seperti orang kaya, membiasakan diri untuk berbelanja 
lebih dulu dan menabung belakangan, serta senang menghabiskan banyak waktu 
untuk memikirkan barang-barang konsumsi (gonta-ganti mobil baru tiap 1-2 tahun 
sekali, mengenakan pakaian-pakaian bermerek yang dibeli secara kredit, makan 
minum di tempat-tempat mahal, dan sebagainya), pastilah tidak akan pernah 
menjadi orang yang mapan secara keuangan. Orang muda yang suka foya-foya, 
hampir pasti akan hidup susah di usia senja. Sepasti matahari tenggelam di ufuk 
barat. 
  Kalau tak percaya, silahkan mencoba dan rasakan akibatnya!

Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat - Rasakan Yahoo! Mail baru yang Lebih 
Cepat hari ini! http://id.mail. yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]









      

Kirim email ke